INTI PERMASALAHAN
Kawasan Karst Maros dan Pangkep yang sejak
sebelum perang dunia ke-II sudah dikenal secara
internasional, a.l. melalui publikasi ahli geografi Danes,
memiliki bentuk alam (geomorfologi) yang amat khas dan
tidak dijumpai di tempat lain. Kumpulan bukit-bukit yang
bentuknya seperti menara-menara yang berdempetan,
dikenal sebagai tower karst. Yaitu bentuk alam kawasan
karst tropika. Menara-menara karst juga ditemukan di RRC,
(Kweilin) yang berhasil menarik jutaan turis selama
bertahun-tahun sejak tahun 1970, namun rupa dan bentuk
menaranya amat berbeda. dengan Maros. Bukit-bukit karst
di Kweilin terpisah dan jauh lebih tinggi.
Demikian pula ditemukan bukit-bukit karst yang
mencuat di atas permukaan laut, di teluk Halong, Vietnam.
Puluhan bukit karst, yang menyerupai menara-menara di
atas permukaan air laut, terpisah satu sama lain. Bukit-bukit
unik ini mula-mula hanya merupakan daya tarik bagi warga
Vietman sendiri. Tetapi setelah diidentifikasi, diusulkan,
diakui dan dinyatakan sebagai bentukalam Warisan Dunia,
pada tahun 2000, Pemerintah Vietnam kewalahan oleh
banjirnya turis mancanegara. Dalam satu tahun telah
didirikan belasan hotel, dengan ratusan kamar tidur, namun
jumlahnya sering tidak cukup untuk mengakomodasi dua
juta wisatawan mancanegara maupun nusantara Vietnam.
Kawasan karst Maros-Pangkep, dilihat dari potensi
keindahan alamnya, secara internasional diakui tidak kalah
dengan obyek wisata kawasan karst manapun di dunia. ltu
sebabnya, pada tahun 1993, dalam Kongres Internasional ke
11, yang diselenggarakan di Beijing, oleh International
Union of Speleology, para ilmuwan dan pemerhati kawasan
karst dan gua dari 34 negara yang hadir, secara aklamasi
menyatakan Kawasan Maros memiliki nilai dunia. Dalam
rapat pleno disahkan surat himbauan dari Presiden dan
Sekretaris Jendral International Union of Speleology kepada
Pemerintah Indonesia, agar kawasan karst Maros
dikonservasi dan diusulkan sebagai bentuk alam Warisan
Dunia.
Bukan hanya bentuk alam, berupa kumpulan bukit
yang begitu khas yang dijadikan alasan mengapa kawasan
karst Maros Pangkep diusulkan sebagai Warisan Dunia.
Kawasan karst ini ternyata memiliki kekhasan, yang tidak
dimiliki oleh karst Teluk Halong di Vietman, maupun
kawasan karst Kweilin di RRC. Di kawasan karst Maros,
hidup begitu banyak spesies kupu-kupu yang tidak ada
duanya di dunia Keanekaragaman kupu-kupu dan flora-
fauna lainnya telah diteliti dan dipublikasi oleh Wallace
(1882), Guillemard (1889). Leefinans (1927). Kawasan
karst Maros-Pangkep juga memiliki kekayaan budaya
tingkat internasional. Banyak sekali gua-gua, dikenal
dengan nama leang-leang di Sulawesi, pernah dihuni
manusia prasejarah. Mereka telah membuat lukisan tapak
tangan pada dinding-dinding banyak goa. Umur lukisan
dinding goa itu belasan ribu tahun.
Nilai ilmiah goa-goa Maros dan Pangkep juga tinggi
sekali. Sejak tahun 1983, para penelusur goa dari Perancis,
yang terdiri dari ahli biospeleologi juga menemukan aneka
spesies binatang khas goa yang tidak dijumpai di tempat
lain.
Ratusan goa yang telah ditelusuri dan
didokumentasi, terutama oleh para penelusur goa, turis
minat khusus dari Perancis, juga menguak potensi kawasan
karst Maros ini sebagai obyek wisata berdaya tarik
wisatawan minat khusus internasional.
Flora yang endemis di kawasan karst Maros-
Pangkep belum semuanya diteliti, karena Indonesia belum
memiliki ahli vegetasi karst. Potensi ditemukannya, atau
didayagunakannya aneka tanaman bernilai ekonomi tinggi
di kawasan ini adalah besar sekali.
Kesemuanya ini membuat para ahli multidisiplin
ilmu yang hadir pada pertemuan karst intemasional di Mulu
(Sarawak) pada bulan Mei 2001 bertekad, untuk
menyatakan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai
Warisan Dunia. Keberadaan para ahli ini di Mulu, ialah atas
prakarsa IUCN dan dihadiri pula oleh pejabat tinggi
UNESCO dan WORLD BANK. Mereka mengevaluasi
kelayakan beberapa kawasan karst di Asia Timur dan Asia
Tenggara untuk dijadikan Warisan Dunia. Pada pertemuan
intemasional ini beberapa Kawasan Karst Indonesia diakui
sebagai Warisan Dunia. Yaitu Karst Maros-Pangkep.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, yang
menginginkan peningkatan besar-besaran Penghasilan Asli
Daerah dari sektor pertambangan, timbul kekhawatiran,
adanya persepsi, bahwa kawasan karst Maros-Pangkep
hanya bernilai tambang semata-mata. Padahal, kegiatan
penambangan pasti menghabiskan sebagian atau seluruh
kawasan karst ini dalam kurun waktu singkat, tanpa
menyisakan nilai tambah bagi rakyat setempat, pemerintah
daerah, wisatawan, ilmuwan, pengusaha hasil hutan,
maupun generasi kini dan yang akan datang. Sekali rusak
akibat pertambangan tidak mungkin dipulihkan kembali.
Usaha penambangan senantiasa memiliki jangka waktu
terbatas. Yang mendapatkan keuntungan senantiasa
sekelompok pemodal dan usahawan hasil tambang.
Bukan rakyat, penduduk setempat.
Sebaiknya dicari paragdigma lain. Dilakukan
identitikasi nilai-nilai tambah di luar pertambangan. Yaitu
kegiatan yang memberi hasil berkelanjutan, tanpa merusak
bentuk alam, ekologi, flora-fauna, tata air, kesuburan tanah,
dan budaya masa lalu yang memiliki nilai dunia. Nilai-nilai
non-tambang inilah yang wajib diprioritaskan, karena
menjanjikan hasil financial lebih besar dari pertambangan,
bersifat lama, bahkan tidak ada akhimya bila dikelola
secara profesional ltu sebabnya urgen sekali untuk
mengungkapkan potensi nontambang ini oleh semua pihak
terkait. Tidak terbatas pada para peneliti, atau ilmuwan,
tetapi harus didukung penuh oleh Pemerintah Daerah, dan
disadari pula oleh rakyat setempat yang wajib diberi
pengertian sejak dini dan dilibatkan dalam setiap tahap
pengembangan dan pengelolaan Lembaga Swadaya
Masyarakat juga wajib memiliki visi ke depan, yaitu
menjaga keutuhan alam, flora-fauna dan ekologi, agar
dapat memberi manfaat terus-menerus, baik bagi
Pemerintah Daerah, Penyandang Dana dan terutama, rakyat
setempat.
Sayangnya pihak Pemerintah Pusat maupun Daerah
dan para ilmuwan, terutama dari Universitas Hasanuddin
belum memiliki konsep yang disusun seeara holistik
menyeluruh cara bagaimana mendayagunakan kawasan
karst Maros dan Pangkep, antara lain sebagai Obyek wisata
alam dan ekowisata serta obyek wisata budaya bertaraf
internasional. Lebih-lebih karena sudah diakui sebagai
Warisan Dunia yang potensial mendatangkan jutaan turis
nusantara maupun mancanegara.
Pusat Studi Lingkungan Universitas Hasanudin
pemah beberapa kali mengadakan seminar, dilengkapi
dengan kunjungan lapangan,.untuk mengidentifikasi aneka
nilai tambah non-tambang dari kawasan karst Maros-
Pangkep. Sayangnya hingga kini seminar-seminar itu
belum menghasilkan keputusan Pemerintah daerah maupun
Pusat untuk mendayagunakan nilai non-tambang kawasan
ini. Penambangan untuk semen dan marmer berjalan terus
tanpa didahului AMDAL secara menyeluruh dan dibuat
oleh tim interdisiplin dan multidisiplin terpadu. Tanpa
adanya zonasi penambangan atau dilineasi yang benar-
benar siap diterapkan oleh Pemerintah Daerah, sulit untuk
menentukan daerah mana yang boleh ditambang, dan
kawasan mana yang harus dikonservasi Usaha membuat
peta-peta dengan dilineasi areal pertambangan, tanpa
implementasi di lapangan, adalah usaha sia-sia belaka.
Akan dibahas satu per satu potensi Karst Maros
Pangkep ditinjau dari aneka sudut pandang secara holistik
A. POTENSI PERTAMBANGAN
Kawasan karst terdiri dari batuan karbonat yaitu kalsium
karbonat dan dolomit. Kalsium karbonat dibutuhkan antara
lain untuk industri semen dan aneka industri lainnya yang
membutuhkan mineral kalsium, seperti industri kosmetika,
cat dan baja. Industri "marmer" juga membutuhkan
bongkahan-bongkahan batugamping yang digergaji
menjadi lempengan-lempengan. Perlu diketahui bahwa
yang dimaksudkan dengan marmer adalah batu malihan
yang sifatnya keras dan tidak mudah dilarutkan oleh
asam."Marmer" adalah kalsium karbonat yang mudah larut
bila tertetes asam seperti cuka. Harganya lebih murah dari
marmer asli.
Untuk indutri semen, kecuali dibutuhkan bahan baku
kalsium karbonat murni, juga dibutuhkan lempung, pasir
besi, pasir kuarsa dan gipsum. Bahan-bahan ini harus
terdapat tidak jauh dari lokasi pabrik. Dolomit yang berisi
mineral magnesium tidak dapat digunakan untuk bahan
baku pembuatan semen. Yang menjadi permasalahan
adalah persyaratan AMDAL yang hampir tidak pemah
dilaksanakan sesuai persyaratan. Tim yang melakukan
AMDAL biasanya hanya terdiri dari para ahli geologi,
pertambangan, dan ekonomi. Tidak pemah dipekerjakan
ahli speleologi dan karstologi yang memahami pendataan
dan pemetaan goa, ekosistem karst, biospeleologi, dan
hidrologi karst. Tim AMDAL selalu memperkerjakan ahli
hidrologi non karst. Mereka menggangap bahwa hidrologi
karst identik dengan hidrologi nonkarst. Kesimpulannya
selalu fatal, karena hidrologi karst tidak mengikuti kaidah-
kaidah atau rumus-rumus yang berlaku pada hidrologi
kawasan bukan karst. Dalam AMDAL selalu terbaca
digunakannya rumus LAPLACE dan HUKUM DARCY
hal mana sama sekali tidak berlaku dalam hidrologi karst.
Hidrologi karst mengikuti kaidah tata air melalui suatu
sistem percelahan, rekahan, dan perguaan. Rumus-rumus
yang digunakan sangat berbeda, antara lain rumus
BERNOULLI, D' ARCY WEISBACH EQUATION,
HAGEN POISEULLE EQUATION. Sudah menjadi
kewajiban pula untuk melakukan penelusuran goa yang ada
di suatu kawasan karst yang hendak di tambang.
Penelusuran goa ini amat penting dilaksanakan untuk
mengungkap aneka nilai yang terkandung dalam goa
tersebut antara lain nilai ilmiah (biospeleologi,
sedimentologi, hidrologi, arkeologi, paleontologi dll) nilai
budaya, nilai ekologi (bila dihuni oleh kalelawar dan
burung walet) juga untuk menentukan luas interior sistem
pergoaan yang ada didalam kawsan karst tersebut, karena
hal ini jelas mengurangi estimasi jumlah cadangan batu
kapur yaitu bahan untuk industri semen. Juga akan
terungkap nilai estetika gua-gua yang ada di kawasan karst
tersebut yang secara potensial dapat dikembangkan sebagai
objek wisata.
Wajib dilaksanakan AMDAL pula untuk usaha
penggalian lempung, pasir kuarsa, pasir besi dan gypsum.
Menjadi kenyataan pahit bahwa AMDAL senantiasa
dilakukan oleh tim tidak lengkap tersebut, untuk lokasi
penggalian dan pabrik semen pada tahap pertama. Bila
kemudian ternyata dilakukan ekstensifikasi penggalian
bahan baku maka biasanya tidak dilakukan AMDAL lagi.
Perlu dipahami bahwa bahan baku yang diperlukan ialah
CaC03 yaitu batu gamping. Batu gamping ada yang sudah
mengalami proses karstifikasi, ada yang belum. Yang
menjadi permasalahan ialah batu gamping yang sudah
mengalami proses karstifikasi YAITU YANG TERDIRI
DARI SISTEM PERCELAHAN, REKAHAN,
PERGUAAN SEBAGAI TANDA LARUTNYA BATU
GAMPING TERSEBUT OLEH AIR HUJAN YANG
TINGGI KANDUNGAN C02 NYA. Adalah jauh lebih
tepat untuk memilih kawasan berbatu gamping yang belum
mengalami proses karstifikasi atau masih merupakan
kawasan karst muda, yaitu yang belum memiliki gua-gua
dan sumber air. Masalah lain ialah geomorfologi yaitu
bentukan yang khas seperti Maros Pangkep yang
merupakan hasil proses karstifikasi selama ratusan ribu
sampai jutaan tahun. Apabila digali, hal ini identik dengan
mempermiskin keindahan alam, ilmu, ekosistem maupun
budaya bangsa. Masalah lain ialah ada tidaknya aneka
tanaman dan hewan yang sifatnya endemis di kawasan
tersebut. Setiap kawasan karst memiliki keanekaragaman
hayati yang unik, dan hanya terdapat dikawasan tersebut.
Usaha penambangan tidak tepat, kalau tidak
mengikutsertakan ahli flora dan fauna karst dan ahli
ekosistem karst.
Polusi udara oleh industri semen dapat diperkecil dengan
menggunakan alat penyaring debu yang sangat mahal tetapi
sering tidak dipakai atau bila digunakan hanya pada siang
hari. Sistem basah industri semen, juga menghasilkan
banyak gas C02 serta membutuhkan banyak sekali air
sehingga sistem ini sudah tidak digunakan lagi di industri
semen di kawasan ASEAN (Malaysia, Muangthai,
Vietnam).
Di Indonesia sistem basah yang tidak efisien dan
berpolusi tinggi yang masih digunakan.
Tidak direncanakan sistem reklamasi, rehabilitasi,
relandscaping, lahan pasca penambangan walaupun hal
tersebut dipersyaratkan pada setiap usaha penambangan.
Hal ini disebabkan karena belum ada ahli rehabilitasi
kawasan karst pasca tambang. Di Inggris yang menjadi
ahlinya ialah Prof. John Gunn yang juga menjadi nara
sumber di UNESCO dan WORLD BANK.
Fosfat dalam gua atau diluarnya juga merupakan komoditi
hasil tambang yang bernilai ekonomis demikian pula guano.
Batugamping oleh rakyat secara masal juga digali, baik
dengan tangan maupun dengan tehnik peledakan dinamit
untuk dibakar menjadi kapur. Karena tidak dikendalikan,
dibatasi arealnya, dan diarahkan, maka sebagian besar
kawasan karst yang sudah dieksploitasi oleh rakyat
setempat, keadaannya kini rusak berat.
Yang menjadi permasalahan ialah digunakannya kayu
bakar dalam proses pembuatan kapur tersebut. Mula-mula
sejumlah pohon dikawasan karst itu ditebang habis, disusul
dengan penebangan pohon dari kawasan bukan karst di
sekitarnya. Sering dijumpai pencurian kayu secara besar-
besaran, penebangan secara ilegal dari kayu jati atau kayu
karet untuk mensuplai tungku-tungku pembakaran kapur.
Jadi perusakan lingkungan tidak terbatas pada kawasan
karst tersebut yang dieksploitasi, tetapi merusak vegetasi
dan ekosistem kawasan bukan karst di sekitarnya.
Sebaiknya dilakukan pembakaran dengan bahan
minyak (alat blower).
Kini disinyalir adanya niat pemilik modal, untuk
mengembangkan industri semen dilokasi yang dekat
dengan sarana transportasi darat maupun laut. Yaitu untuk
menghemat dana transportasi untuk pasar domestik
maupun eksport. Ada kabar bahwa di pulau Batam yang
tidak memiliki kawasan batugamping, akan dibangun
pabrik semen dengan bahan baku dari Maros yang begitu
jauh letaknya. Masalah ini perlu diselidiki lebih lanjut dan
dikaji secara cermat bagaimana dampak sosioekonomi,
sosiobudaya dan ekosistem serta hidrologi kawasan karst
Maros.
Solusi yang diusulkan ialah, untuk segera melakukan
identifikasi aneka nilai kawasan karst Maros Pangkep
secara menyeluruh holistik, oleh suatu tim terpadu, yang
terdiri dari ilmuwan Indonesia dan ahli karst negara maju.
Disusul dengan DELINEASI ketat, kawasan mana yang
boleh ditambang dan kawasan mana yang tidak boleh
ditambang.
B. POTENSI EKOSISTEM KARST
Kawasan karst Maros Pangkep memiliki nilai unik yang
belum seluruhnya terungkap. Sudah banyak ahli kelelawar
internasional (Belanda, Australia dan Amerika Serikat),
ahli ikan (Swiss), ahli biospeleologi (perancis, Belanda,),
Ahli kupu-kupu (Rusia, AS, Inggris), ahli anggrek
(Malaysia, Inggris, Belanda) yang pernah meneliti kawasan
ini, namun dirasakan bahwa masih banyak data yang belum
terungkap. Belum ada ahli siput karst yang mengumpulkan
dan mengidentifikasi aneka siput endemik yang berada
dikawasan ini. Di Malaysia terungkap bahwa siput di
kawasan karst begitu site specific sehingga ada yang hanya
hidup pada satu bukit karst dari puluhan yang ada di
sekitarnya. Juga dikenal Slipper Orchid Paphiopedilum
sanderianum di Sarawak yang sangat langka dan harganya
ratusan juta rupiah sebatang.
Aneka hewan darat maupun air yang ditemukan para ahli
biospeleologi Perancis membuktikan adanya eksosistem
khas yang hanya ditemukan di kawasan Karst Maros
Pangkep. Taman Nasional Bantimurung sudah dikenal
sejak abad lalu memiliki koleksi kupu-kupu yang tidak ada
duanya di dunia. Juga di Pangkep (Walace dan lain-lain).
Ada yang harganya ribuan dollar seekor.
Keanekaragaman hayati inilah yang menjadi pertimbangan
dipilihnya kawasan karst Maros sebagai bentuk alam
warisan dunia oleh dunia internasional. Belum cukup
terungkap aneka tanaman bernilai ekonomi tinggi mana,
yang terdapat secara endemis dikawasan ini maupun yang
dapat dibudidayakan.
Di kawasan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur yang sebagian wilayah kering, ternyata dapat
dibudidayakan dua jenis tanaman yang bernilai ekonomi
tinggi, dan dapat diandalkan sebagai komiditi ekspor
bemilai milyaran rupiah. Yaitu:
1. Kayu Cendana (Santalum album)
Kayu yang dijual per gram karena minyak atsirinya
yang dikandung di dalamnya sangat mahal.
2. Kayo Gaharu (Aquilaria malacensis, A filaria) yang
tumbuh di hutan pulau Lombok. Diburu pengumpul
damar karena amat mahal harganya yaitu 2-3 juta
rupiah per kilogram untuk kelas super.
Karena perburuan ilegal ini, Kayu Gaharu mulai langka
dan tidak mudah memperolehnya di Indonesia bagian
Barat, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi.
Perburuan kini makin ganas di Irian Jaya sehingga
dikhawatirkan kepunahan pohon semakin cepat.
Sebagai komoditas eksport, sumbangan gaharu untuk
devisa negara pada 1955 misalnya mencapai 6,2 milayar
rupiah.
Jenis Kayu Gaharu sangat berbeda dari sifat pohon
Cendana yang wangi. Kayu Gaharu yang berwarna putih
dan lunak termasuk bermutu rendah, sehingga tidak
memenuhi syarat untuk bahan bangunan atau perabot
rumah tangga. Kayu gaharu baru punya nilai, jika
mengalami proses pelapukan akibat terinfeksi jamur pada
luka yang terjadi karena alam atau tindakan manusia. Jadi
tanaman yang baik harus dibuat sakit agar bereaksi dan
menghasilkan damar.
Erdy Santoso peneliti dari Laboratorium Mikrobiologi
Tanah Hutan, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam di
Bogor pada tahun 1984 mengisolasi jenis fungi dari
tanaman Gaharu yang wangi. Dari upaya itu Erdy
mengidentifikasi lima jenis fungi yaitu Fusarium
oxysporium, F bulbigenium, F laseritium , Botrydiploida sp
dan Pythium sp. Begitu pula peneliti Universitas Mataram,
Dr. Ir Parman menemukan empat jenis fungi termasuk juga
jenis fusarium.
Dengan pengetahuan itu, paling tidak bisa dicegah
penebangan sia-sia dari pohon yang tidak menghasilkan
damar. Agar perolehan damar lebih pasti, proses pelapukan
tidak dibiarkan tergantung dari alam, tetapi dilakukan
upaya menginfeksi pohon dengan jamur. Jika biasanya di
hutan menunggu 10 tahun untuk mendapatkan hasil, maka
dengan budidaya dapat dihasilkan nilai ekonomi dalam 5
tabun, dengan terbentuknya damar oleh infeksi jamur.
Pengetahuan tentang pembentukan damar Gaharu sudah
lama dikenal oleh masyarakat tradisional seperti orang
Dayak di Kalimantan. Mereka mengoleskan minyak dan
gula pada Gaharu. Gula bisa menjadi media tumbuh fungi
dan minyak sebagai sumber protein yang dibutuhkan pula
oleh fungi tersebut.
Betapa banyaknya tanaman berkhasiat obat di kawasan
Karst Maros Pangkep hanya diketahui secara tradisional
oleh penduduk setempat. Para ilmuwan Indonesia maupun
mancanegara belum sempat meneliti khasiat obat aneka
tumbuhan yang tumbuh secara spesifik di kawasan tersebut.
Terbukti di Vietnam, cukup banyak tanaman berkhasiat
obat dan bernilai ekonomi tinggi yang hidup menempel
pada bukit batugamping di Halong Bay.
C. POTENSI EKOWISATA
Ekowisata di kawasan karst ialah kegiatan wisata
alam minat khusus. Wisatawan melakukan eksplorasi di
kawasan berbatugamping dengan perhatian pada
keindahan alam yang unik (lembah curam, bukit-bukit
terjal, pemandangan yang didominasi oleh bebatuan,
sungai-sungai yang hilang timbul dll), keanekaragaman
hayati (vegetasi dan fauna yang sering endemik),
keanekaragaman non-hayati (geomorfologi) dan sistem
pergoaan
Berbeda dengan kawasan bukan karst, maka
manajemen obyek wisata di kawasan karst, membutuhkan
ketrampilan tinggi dan pengetahuan mendalam tentang cara
bagaimana mendayagunakan bentukan alam karst secara
optimal, tanpa mencemarinya. Akibat adanya sistem
percelahan, rekahan dan perguaan yang senantiasa dijumpai
di kawasan karst, maka pencemaran sangat mudah dan
hampir selalu terjadi. Khususnya pencemaran pada sumber-
sumber air dan sumur-sumur dangkal oleh limbah rumah
tangga (terutama akibat buang hajat), industri, penjual
makanan-minuman, pengunjung yang membuang sampah
sembarangan, peternakan, pertanian yang menggunakan
pestisida dan pupuk buatan dan limbah sarana transportasi
(minyak yang tumpah dll)
Peran serta penduduk setempat, khususnya dalam
upaya pemeliharaan kawasan karst dan sanitasi lingkungan
adalah mutlak perlu. Karenanya, mengelola ekowisata
kawasan karst, dengan wisatawan yang tinggal selama
beberapa hari sampai beberapa minggu di kawasan tersebut,
wajib ditopang aneka ilmu pengetahuan terkait. (ekologi,
sosioekonomi, sosiobudaya, kesehatan, turisme dll) yang
bersifat holistik, multi- dan interdisipliner terpadu.
Khususnya dalam mengembangkan goa sebagai obyek
wisata umum maupun minat khusus.
Hingga kini tidak ada satupun stakeholder yang
memiliki pengertian betapa rapuhnya lingkungan
endokarst. di bawah tanah. Hanya dapat dikembangkan
secara tepat-guna oleh suatu tim terpadu lintas sektoral
dengan perhatian khusus pada ekosistem endo- dan
eksokarst yang saling mempengaruhi. Wajib ditentukan
daya dukung dinamis obyek wisata alam maupun lahan
produktif, periodisasi kunjungan, sirkulasi pengunjung,
akses dan azas kepemanduan gua (cave guiding principles)
yang sudah lama berlaku di negara maju dan secara
periodik diseminarkan, baik secara nasional (AS: Cave
Management Symposia) maupun di tingkat Internasional
(International Meetings on Cave Management for Tourism)
(Department of Cave Tourism International Union of
Speleology)
di beberapa negara maju sudah dikenal pekerja
profesional: Karst and Cave Managers
Sudah cukup sering diadakan lokakarya, seminar dan
pertemuan ilmiah yang membahas ekowisata. Sungguh
disayangkan bahwa di lapangan berulangkali terbukti,
bahwa konsep-konsep, gagasan, petunjuk yang dihasilkan
dalam berbagai pertemuan ilmiah itu hamper tidak ada
yang diimplementasi. Hal ini mungkin disebabkan karena
hingga kini tidak ada satu pun otoritas yang dapat
mendefinisikan secara tepat apa yang dimaksudkan dengan
ecotourism Pada SwissIndonesian forum dengan tema "the
role of tourism in preserving nature and cultural heritage",
ada kelompok kerja dipimpin oleh Koesnadi
Hardjasoemantri. Telah disepakati oleh mereka, bahwa
ecotourism harus memiliki nilai ekonomi, berhubungan
dengan ekologi dan peka terhadap adat-istiadat/budaya.
Ecotourism diakui sebagai pariwisata yang akrab dengan
lingkungan, sehingga prinsip-prinsip ekologi harus
diterapkan secara tepat. Dirasakan perlu adanya undang-
undang, panduan, insentif dan strategi manajemen dalam
pengelolaan ecotourism (1)
Dalarn kamus: The Heritage Illustrated Dictionary in the
English Language, International Edition, istilah ecology
berarti : 1. The science of the relationships between
organisms and their environment. Also called "bionomics"
2. The relationship between organisms and their
environment. Jadi artinya: hubungan antara organisme
dengan lingkungannya.
Prefix "eco" sendiri, secara sederhana berarti lingkungan
hayati dan non-hayati. Dengan demikian, istilah
ecotourism sebaiknya diterjemahkan sebagai wisata
lingkungan hayati dan non-hayati. Ecotourism ialah wisata
minat khusus, yang mengungkapkan interaksi antara
makhluk hidup (flora-fauna) dengan lingkungannya. (2)
Karst ecotourism ialah wisata minat khusus mengunjungi
lingkungan hayati dan non-hayati kawasan karst. Karst
ialah bentangalam batugamping yang telah mengalami
proses pelarutan oleh air hujan. Memiliki topografi khas
berupa lembah-lembah curam, bukit-bukit terpisah, sungai
permukaan yang lenyap ke dalam tanah dan muncul
kembali, cekungan-cekungan (dolina) tanah, sistem
perguaan.
Setiap kegiatan di lingkungan karst, potensial
menimbulkan pencemaran. Ini disebabkan karena kawasan
karst penuh dengan sistem rekahan, percelahan dan
perguaan. Rongga-rongga ini dengan mudah menyalurkan
polutan ke arah sumber-sumber air maupun sungai bawah
tanah yang terlihat mengalir di dalam goa-goa. Itu
sebabnya hampir selalu dapat dibuktikan, bahwa sumber-
sumber air karst dan sumur dangkal penduduk
terkontaminasi oleh kuman coli yang berasal dari tinja
manusia dan hewan ternak. Kuman coli adalah petunjuk
tercemarnya air minum. Merupakan indikator adanya
potensi penularan aneka penyakit melalui air, seperti tifus
(salmonellosis), disenteri (shigellosis), penyakit kuning
(hepatitis), kolera, muntah berak (gastro-enteritits) dll.
Berbeda dengan wisata alam ke kawasan bukan-karst yang
hanya mengenal keindahan alam di atas permukaan tanah,
kawasan karst memiliki dua komponen yang erat berkaitan,
yaitu komponen eksokarst yang ada di atas permukaan
tanah, dan endokarst yang terdapat di bawah permukaan
tanah. Sebagian endokarst dapat dikunjungi, yaitu gua-gua
batugamping. (limestone caves). Begitu erat keterkaitan
ekologi di atas dan di bawah tanah, sehingga dikenal
istilah: the intimate surface-subsurface ecological
connection.
Fenomena ini membutuhkan perhatian lebih dari para
perencana, pengelola dan pemelihara kawasan karst.
Mendayagunakan kawasan karst untuk tujuan apa saja,
membutuhkan pengertian menyeluruh (holistik), lintas
sektoral, multi- dan interdisipliner. Demikian pula, bila
hendak melakukan identifikasi aneka potensi kawasan
karst, analisa mengenai dampak lingkungan, dan
pemantauan kualitas lingkungan, pada setiap kegiatan di
kawasan karst.
Secara internasional disepakati, bahwa dibutuhkan
berbagai ilmuwan, pakar, nara sumber yang
mengkhususkan diri dalam aneka permasalahan karst,
sebelum kawasan ini didayagunakan. Misalnya untuk
pertambangan, ekowisata, wisata goa, reboisasi maupun
eksploitasi hutan kawasan karst, konservasi karst,
pemanfaatan sumber-sumber air karst, transmigrasi ke
kawasan karst, pembangunan fisik (sarana-prasarana) di
kawasan karst.
Di negara maju sudah lama dikenal cave and karst
managers. Mereka adalah sarjana di bidang terkait (ahli
ekologi, biologi, geologi dll). Mereka sudah terlatih
mendeteksi aneka nilai suatu kawasan karst dan aneka
potensi pencemarannya. Mereka tidak saja mempelajari
makro klimatologi di atas permukaan tanah (curah hujan,
fluktuasi suhu, derajat kelembaban udara) tetapi juga
mikroklimatologi endokarst dan pengaruhnya terhadap
biota gua yang juga dikenal sebagai kavernikol (binatang
khas yang hidup dalam lingkungan gelap abadi gua).
Pencemaran air oleh aneka polutan menjadi perhatian
utama mereka, karena polutan dapat mengganggu
kehidupan binatang yang ada dalam air bawah tanah.
Mereka menggunakan aneka indikator biologis untuk
memantau adanya pencemar udara (airborne
pollutants), dan pencemar air (waterborne pollutants).
Pembangunan fisik goa untuk obyek wisata, terutama
pemasangan lampu-lampu dalam goa akan merusak
lingkungan alamiah gua, yang sunyi dan gelap abadi.
Aneka tanaman yang berasal dari luar gua, akan tumbuh di
dalam goa, akibat adanya sumber cahaya yang
memungkinkan terjadinya proses fotosintesa. Aneka lumut
(algae) yang dikenal dengan sebutan lampenjlora dipelajari
efeknya terhadap lingkungan fisik gua. Perubahan suhu di
dalam goa oleh panas badan para pengunjung dan sumber
cahaya, akan mempengaruhi mikroklimatologi. Hal ini
akan memfasilitasi pertumbuhan flora-fauna yang berasal
dari eksokarst. Akibatnya, mikro-ekosistem khas goa akan
terganggu. Kunjungan orang ke dalam interior goa juga
akan menambah kandungan C02, mengurangi kandungan
O2, meningkatkan kelembaban interior gua, memadatkan
tanah di atas lantai yang diinjak. Sering pula
mengintroduksi algae, spora dan bakteri eksokarst ke dalam
endokarst. Pengunjung yang membuang sisa makanan atau
buang hajat dalam goa akan merubah mikroekosistem goa.
Demikian pula kalau membuang sisa karbit atau baterai
dalam goa.
Membangun fasilitas pengisian bahan bakar di kawasan
karst, bisa mencemari seluruh sistem percelahan-rekahan-
goa-goa karst, bila tangki bahan bakar bocor karena karat..
Contohnya, di AS pernah ada goa yang meledak dan
runtuh, ketika ada penelusur goa memasang lampu karbit,
padahal udara di dalam gua mengandung uap bensin oleh
tangki yang bocor. Akibatnya, seluruh bangunan dan
pompa bahan bakar runtuh ke dalam lubang yang
menganga.
Oleh gerakan tanah, berulangkali terbukti bangunan di
atasnya bisa longsor ke dalam cekungan atau lubang yang
secara mendadak bisa timbul di kawasan karst (subsidence
do line). Bangunan penunjang pariwisata juga bisa retak
atau ambruk, bila di bawah fondasinya terdapat lorong goa
yang runtuh. Hal ini dipercepat, bila pembuangan air
limbah atau air hujan berasal dari atap bangunan memasuki
endokarst dan menimbulkan proses piping. (hanyutnya
tanah di bawah permukaan oleh air yang mengalir dengan
akibat timbulnya ruangan bawah tanah yang semakin
melebar/membesar)
Membuang sisa makanan dan minuman di suatu obyek
wisata kawasan karst juga potensial mencemari sumber air
minum. Hal ini terjadi pada tahun 1986, ketika ribuan
wisatawan musim dingin bermain ski di pengunungan karst
bersalju di atas kota Wina. Mereka membuang banyak
sekali kaleng berisi sisa coca cola. Pada musim panas,
selama berminggu-minggu ada rasa coca cola dalam air
minum kota Wina yang bersumber pada air karst.
Di Indonesia masih sangat sedikit sumber daya manusia
yang menguasai permasalahan rumit dan saling terkait di
kawasan karst. Belum ada pendidikan formal dalam bidang
karstologi dan speleologi. Hanya Himpunan Kegiatan
Speleologi Indonesia (HIKESPI) yang mengadakan
puluhan kali kursus speleologi sejak tahun 1983, diikuti
mahasiswa dan beberapa pegawai aneka instansi terkait
(kehutanan, pariwisata, bappeda, lingkungan hidup,
pertambangan, pengairan). Belum ada pengelola
profesional karst dan goa di Indonesia
Walaupun demikian, sudah puluhan tahun kawasan karst
Indonesia dijadikan lokasi penambangan batugamping.
Sejak sepuluh tahun terakhir dibuka gua-gua untuk obyek
wisata, tanpa didahului oleh AMDAL yang
dipersyaratkan, dan tidak melibatkan para ahli terkait.
Tidak satupun pakar dalam bidang speleotourism, yang
dilibatkan dalam pembangunan fisik goa wisata. Hanya
propinsi Maluku, Perum Perhutani dan Pemda Lamongan
dan Trenggalek yang pernah menghubungi HIKESPI untuk
meneliti potensi goa-goa yang akan dijadikan obyek
wisata. HIKESPI melalui Yayasan Speleologi Indonesia
senantiasa membentuk tim terpadu, terdiri dari ahli
karstospeleologi, geologi, arkeologi, paleontologi, tanah,
biologi endokarst, vegetasi, ekonomi pariwisata, konservasi
kawasan karst dan arsitek untuk mengidentifikasi aneka
nilai yang terkandung dalam suatu goa sebelum dijadikan
obyek wisata, menghitung daya dukung dinamis goa,
merencanakan sirkulasi pengunjung dan akses, menghitung
dana yang dibutuhkan dan kapan break even point tercapai,
merencanakan strategi pemasarannya, melakukan reboisasi
dan membuat desain lansekap maupun bangunan fisik,
mengidentifikasi biota goa, mikroekosistem biota goa dan
makroekosistem hewan terbang penghuni goa, meneliti
kualitas dan kuantitas air bersih yang dibutuhkan,
menentukan zonasi dan bila ada indikasi, menutup
sebagian goa untuk tujuan ilmiah (3)
Di negara maju, dibutuhkan paling tidak tiga sampai lima
tahun sebelum suatu goa komersial dibuka untuk
kunjungan umum. Penelitian terfokus pada sedimen goa,
karena merupakan struktur penting sekali yang
mempreservasi sisa aneka flora dan fauna masa lalu.
Dengan demikian dapat dianalisa iklim dan ekologi masa
lalu, yaitu melalui ilmu paleontologi yang meneliti spora
dalam sedimen goa, ilmu paleontologi yang meneliti aneka
fosil hewan purba yang telah lama punah, dan ahli
arkeologi yang meneliti aneka artefak peninggalan manusia
penghuni goa dan peradaban zaman prasejarah.
Di Indonesia, sedimen goa tidak diperhatikan sama sekali.
Dianggap tidak memiliki nilai apapun. Lumpur dalam goa
biasanya dibuang tanpa meneliti segi ilmiah (paleontologi,
palinologi, sedimentologi). Setelah penelitian selesai, baru
boleh dibuat jalan setapak.
Keberadaan hewan kavernikol amat penting untuk ilmu
(untuk mempelajari evolusi dan daya adaptasi). Hewan
terbang penghuni goa juga amat penting untuk menjaga
kelestarian lingkungan di atas goa (peran kelelawar
penghuni goa pemakan serangga, penyerbuk bunga dan
pemakan buah; peran burung walet penghuni goa pemakan
serangga). Di negara maju, interior goa yang dihuni
kavernikol dan hewan terbang ini ditutup untuk umum.
Keberadaan penelusur goa atau wisatawan dalam goa,
sangat mengganggu eksistensi aneka biota gua ini.
Berbagai dekorasi alamiah goa (dikenaI sebagai speleotem,
seperti stalaktit, stalagmit, gourdams, drapery dll) kecuaIi
indah dipandang juga amat penting untuk menentukan
umumya (speleochronology). Goa-goa di Indonesia,
dengan speleotem yang umumya ratusan ribu tahun, pada
saat dikunjungi wisatawan, sering ada yang
mematahkannya untuk dibawa pulang sebagai cindere
mata. Hal ini disebabkan karena tidak ada petugas yang
senantiasa mendampingi dan mengawasi pengunjung atau
penelusur goa seperti di negara maju. Pemandu wisata goa
di Eropa, Australia dan AS, biasanya seorang sarjana. Ada
yang sedang mengikuti pendidikan S3. Mereka dengan
senang hati menjadi pemandu wisata goa, karena mendapat
honor dan tip yang cukup besar. Di Indonesia, HIKESPI
baru mendidik tiga pemandu wisata goa, pegawai Perum
Perhutani. Mereka temyata hanya dipekerjakan selama
maksimal tiga tahun sebagai pengelola goa Buniayu
(Selatan Sukabumi) Mereka kemudian dipindah kerjakan
ke bagian administrasi. Tidak ada kontinuitas. Para
pengelola goa wisata tidak ada yang mendidik pemandu
wisata goa yang mutlak dibutuhkan itu. Pemandu wisata
goa, kecuali mengawasi pengunjung goa, harus berfungsi
pula sebagai pendidik dalam bidang etika, kebersihan
lingkungan dan konservasi alam. Fokus pemerintah daerah
ialah meningkatkan penghasilan asli daerah. Ada yang
ingin membuka sebanyak mungkin goa indah untuk
dijadikan obyek wisata Sungguh tercela, bila belum
mempersiapkan SDM yang dibutuhkan dan tidak
medayagunakan semua pakar terkait. Pemerintah wajib
berkonsultasi dengan seseorang yang sudah terbukti
menguasai pengetahuan holistik perihal ekso- dan
endokarst. Seorang konsultan wisata gua wajib
mempelajari azas pengelolaan wisata goa di negara maju.
la harus menguasai ilmu speleologi dan karstologi. Ia
senantiasa bersedia untuk melakukan penelitian karst dan
goa. secara multi- dan interdisiplin terpadu. Tanpa
kualifikasi di atas, seorang yang mengaku sebagai
"konsultan", akan memberi nasehat, membuat desain
pengembangan goa dan obyek wisata lainnya, yang salah
kaprah.
Aneka permasalahan karst hanya dapat dipelajari secara
holistik lintas batas ilmu. Azas pengelolaannya wajib
didukung literatur yang memadai dan studi lapangan. Di
negara maju, para cave and karst managers mengikuti
berbagai pertemuan ilmiah tentang manajemen goa dan
karst yang dihadiri oleh semua pakar terkait.
Yang wajib didahulukan ialah mendidik sumber daya
manusia untuk menjadi pengelola obyek wisata karst dan
goa. Perencanaan pengembangan, pengelolaan dan
pemeliharaan obyek wisata alam adalah usaha jangka
panjang. Membutuhkan waktu belasan tahun.
Oleh Myra Gunawan (4) telah dikutip kata-kata mutiara
Kwang Chung Tzu, abad ke 7 sebelum Masehi yang
berbunyi:
If you plan for a year, sow seeds
If you plan for ten years, plant trees
If you plan for a life time, develop people
D. POTENSI BUDAYA
Kawasan karst yang memiliki goa-goa cukup sering
bernilai budaya. Beberapa gua pemah dihuni oleh manusia
purba. Mereka di Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan
Kalimantan telah melukis dinding goa berwujud tapak
tangan dan beberapa jenis hewan buruan yang kini ada
yang sudah punah. Pengukuran waktu menunjukkan aneka
artefak itu ada yang umurnya belasan ribu tahun. Studi
banding dengan lukisan goa ditemukan di Filipina dan
Australia mengarah pada terjalinnya budaya antar negara
atau antar pulau yang berlangsung sejak zaman prasejarah
tersebut.
Lukisan dinding goa di Maros dan Pangkep diperkaya lagi
dengan temuan artefak, alat perburuan dan rumah tangga di
dalam sedimen goa. Ini membuktikan bahwa kebudayaan
di kawasan Maros Pangkep sudah mulai berkembang sejak
belasan ribu tahun lalu. Tentu kesemuanya ini harus
dilindungi dari perusakan oleh kegiatan penambangan,
karena jejak budaya bangsa suatu negara, tidak layak untuk
dilenyapkan oleh kegiatan apapun yang merusak bentukan
alam dan lokasi disimpannya warisan budaya yang
umurnya sudah belasan ribu tabun. Di dalam goa-goa karst,
yaitu dibawah sedimen lantai goa, sering pula dijumpai
fosil binatang purba. Contoh fosil rahang kuda Nil yang
ditemukan pada tahun 2001 di Goa Sengok, Karst Gunung
Sewu. Temuan ini amat penting, karena membuktikan
bahwa ribuan tabun yang lalu kawasan karst Gunung Sewu
adalah daerah penuh air, lumpur dan vegetasi.
E. POTENSI HIDROLOGI
Hidrologi kawasan karst sering berbeda dari suatu lokasi
karst dengan lokasi karst lain. Hidrologi kawasan Maros
Pangkep adalah sangat unik, karena kawasan tanah hujan
berupa bukit-bukit kerucut, temyata menyalurkan aimya ke
dataran di sekitarnya sepanjang tahun. Penggundulan
kawasan karst oleh usaha tebang habis apalagi penggalian
pada bukit-bukit karst tersebut akan mengganggu tata air
seluruh kawasan.
ltu sebabnya terjadi fenomena terendamnya beberapa desa
di Kabupaten Maros, yang sebelumnya kekeringan, akibat
banjir mendadak yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hal itu tidak lain disebabkan akibat rusaknya tata air,
sehingga kawasan karst Maros Pangkep tidak bisa
berfungsi lagi sebagai penahan, penampung, penyimpan
dan penyalur air hujan secara optimal.
Sumber-sumber air karst adalah faktor utama penjamin
kehidupan masyarakat penghuni karst. Tanpa air, penduduk
akan menderita pada musim kemarau, hal mana terjadi
setiap tahun di kawasan karst Gunung Sewu. Hal ini
disebabkan karena tata air kawasan karst Gunung Sewu
tidak kondusif untuk mendukung jumlah penduduk yang
terlalu banyak. Air yang dikandung kawasan karst tersebut
berada pada kedalaman 60-100 meter dibawah permukaan
tanah. Hal ini disebabkan, baik karena faktor alam (proses
pengangkatan bagian selatan pulau Jawa oleh gerak
lempeng kerak bumi) dan penggundulan vegetasi oleh
penduduk selama puluhan tahun.
Sebaliknya, kawasan karst Maros Pangkep memiliki tata
air yang kondusif bagi kehidupan penduduk di sekitamya.
Tanahnya subur karena permukaan air tanah tidak begitu
dalam. Bahkan cukup banyak tersebar sumber-sumber air
karst, yang dapat didayagunakan sebagai air minum dan
irigasi.
Setiap usaha penggundulan vegetasi bukit-bukit karst,
apalagi destruksi dari bukit-bukit tersebut pasti akan
berpengaruh buruk pada tata airnya, sehingga tidak
mustahil kawasan karst Maros Pangkep menjadi sekering
Kawasan Karst Gunung Sewu.
KESIMPULAN
Pendayagunaan kawasan karst Maros Pangkep hanya dapat
diharapkan memberi nilai tambah bagi semua pihak, bila
aneka masalah yang telah diuraikan diatas tidak hanya
dibahas dalam seminar, tetapi secepatnya diterapkan secara
integratif, holistik dan penuh pengertian oleh semua pihak
terkait. Harus ditinggalkan sikap berembuk terus menerus
tanpa tindakan nyata apapun. It is a matter of doing and not
of talking anymore. Semoga hal ini disadari oleh semua
orang yang masih peduli akan nasib bangsa dan negara.
Tidak terbatas pada kawasan Maros dan Pangkep saja,
tetapi pada seluruh penghuni bumi, karena terbukti
UNESCO dan WORLDBANK sudah menyatakan Karst
Maros-Pangkep sebagai WARISAN DUNIA. Nah, apa
respons kita?
KEPUSTAKAAN
(1) 1989-Berita dalam KOMPAS.
(2) 1999-Ko, R.K.T., Ekowisata-Bahan kuliah pada Programa Pasca
Sarjana IPB
(3) 1981-Hegedus, G. Cave Closing as a Conservation Method-
Proceedings Eight International Congress of Speleology, USA,
Bowling Green, page 401-402.
(4) 1999-Gunawan, M. -Strategi Pendidikan dalam menyiapkan
sumberdaya manusia yang bergerak di bidang ekoturisme.
Makalah Inti dalam seminar "Prospek dan Menejemen Ekoturisme
memasuki Milenium ke Tiga" di Bogor.
(5) 1980-Boeadi-Catatan tentangkelelawar yang ditemukan dalam gua-
gua Cidolog,Segaranten, Sukabumi. (File A 1980-01 Katalogus
Karst dan Gua HIKESPI)
(6) 1981-Poglsey, Chris-Ecology of the New Zealand Glowworm
Arachnocapma luminosa in caves at Waitomo, New Zealand-
Proceedings Eight International Congress of Spelelology page
483,484,485,486,487,488
(7) 1983-Personal communication with Waitomo Cave Managers
(8) 1981-Personal communication with Carlsbad Cavern Managers
(9) 2000-Ditjen Bangda -Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata
Daerah dan surat edaran nomor 660.1/836N /Bangda.
(10)2000-Gde Ardike-Aspek Kelembagaan dalam Pengembangan dan
Pengelolaan Potensi Ekoturisme.
(11)2000-Usman, Marzuki-Peluang Pengembangan Ekoturisme
Indonesia sebagai Andalan Alternatif Kepariwisataan Nasional.
(12)2000-Arahan dan Kebijaksanaan Pengembangan Pariwisata
Nasional.
(13)1999-Sampurno-Geologi dalam Pariwisata-Kumpulan Makalah
Lokakarya Geowisata sebagai materi kelompok halaman 26 - 27
(14) 1994-Rumusan Panitia Seminar Obyek Wisata Alam - Identifikasi,
pengembangan, pengelolaan, pemasaran obyek wisata alam
(Bogor-HIKESPI)
(15)1994-Ko R.K.T.-Membenahi obyek wisata, untuk menaikkan daya
tariknya. (bahan ceramah DIP ARDA Jawa Barat dan "PUTRI")
(16)2000-Ful- Indonsia dinilai kurang perhatian pada satwa langka-
Kompas 19 Oktober,Halaman 10.
(17)2000-Rachmat, Ade- Pengamatan perilaku dan penyebaran pesut,
serta identifikasi habitatnya di daerah aliran sungai (DAS)
Mahakam, Kalimantan Timur, Tahun 2000-Tesis S2, Fakultas
Kehutanan Universitas Mulawarman.
(18)2000-Pun-Insektisida kimia penyebab pergeseran keseimbangan
ekologis-Kompas 19 Oktober, halaman 10. (19) 198 8-Personal
Communication with Prof Otto Sumarwoto. (20)1985-
Darmokusumo, D.-Pembangunan daerah karst di kawasan
berbatukapur di Kabupaten Gunung Kidul dengan segala
permasalahannya.Kumpulan Makalah Simposium Nasional
Lingkungan Karst 28-29 Juni 1983.
(21)1985-Darmokusumo, D. -Laporan perihal Gunung Kidul-
Katalogus Perpustakaan Hikespi. A-1985-38
(22)1987-Ko R.K.T.-Sistem perizinan memasuki goa belantara-
Majalah Tehnis Pariwisata volume xn No 0125-9024 him 43 sid
49.
Selengkapnya...