Minggu, 04 April 2010

LCS Team



MAMAN KHOTAMAN

UYUNG

JARWOK

DIPIE

MIKE

DEVEN



Selengkapnya...

Materi dasar caving

1. A. SPELEOLOGI

Speleologi adalah ilmu yang mempelajari tentang gua. Diambil dari kata-kata yunani spelation = gua dan logos = ilmu. Namun gua tidak bisa berdiri sendiri, tetapi terdapat struktur alam yang melingkupi. Jadi speleologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gua beserta lingkungannya.

Di indonesia ilmu ini berkembang tahun 1980-an. Sedangkan di inggris dan jerman sudah dipelajari secar intensif mulai pertengahan abad 19. Sebelum membicarakan speleologi lebih lanjut, harus kita ketahui defisi dari “gua “ itu sendiri,

1. Menurut ius (internasional union of speology) yang berkedudukan di wina, austria. Gua adalah setiap ruangan di bawah tanah, yang dapat dimasuki orang
2. Menurut dr r. K. T. Ko (ketua hikespi,1985). Gua adalah suatu lintasan sungai di bawah tanah yang masih mengalirnya (khususnya daerah batu gamping)

Gua memiliki ciri khas dalam mengatur suhu udara di dalamnya, yaitu pada saat udara di luar panas, maka udara di dalam gua akan terasa sejuk, begitu sebaliknya.

Sifat tersebut menyebabkan gua dipergunakan tempat berlindung. Jenis gua di indonesia kebanyakan batuan gamping/karts.

Lahirnya ilmu speleologi
secara resmi ilmu speleologi lahir pada abad 19 an berkat ketekunan edward alferd martel, sewaktu kecil ia memasuki gua hahn di belgia dengan ayahnya seorang ahli paleontologi, kemudian mengunjungi gua pyrenee di swiss dan italia.

pada tahun 1888 ia memulai memperkenalkan penelusuran gua menggunakan alat, pada musim panas ia dan teman-temannya mengunjungi dengan membawa gerobak yang isinya peralatan untuk penelusuran gua (martel, alat pengukur, kompas, alat p3k dan makanan) karena kegigihan dia dalam meneliti gua maka edward ini disebut barak speleologi.



lahirnya speleologi di indonesia, berkembang pada tahun 1980 dan olah raga alam ini masih tergolong baru dibandingkan rafting, mountenering dan panjant tebing. Pada tahun ini terdapat club yang berkecimpung masalah keguaan yaitu specavina yang didirikan oleh norman edwin dan dr r.k.t ko ketua hikepsi sekarang. Namun dengan perbedaan pendapat maka terpecahlah ada yang masih mendirikan hekespi dengan ketuanya dr. R.k.t ko dan norman e mendirikan club yang berpusat di jakarta yaitu garba bumi. Kemudian tahun tersebut muncul club-club penyusur gua diantaranya :

1. Bsc : bogor speleological club
2. Dsc : denpasar speleological club
3. Scala : speleo club malang
4. Sss : salamander speleo surabaya
5. Jsc : jakarta speleo club
6. Asc : acintyacunyata speleoligical club

Dari beberapa club di atas yang masih ksis yaitu asc yang lain sudah tinggal nama.

1. B. Sejarah Penyusuran Gua

Penyusuran gua pertama kali dilakukan oleh John Beaumont, seorang ahli bedah dari Somerset, England pada tahun 1674. namun penyusuran tersebut tidak dilandasi oleh tujuan yang jelas, sehingga pelaksanaannya kurang matang.


Sedangkan orang yang berjasa dalam mendeskripsikan gua-gua dengan tujuan ilmiah adalah Baron Johan Valsavor (Slovenia) sekitar tahun 1670 – 1680. Ia berhasil memasuki 70 gua, membuat peta, sketsa dan menyusun buku setebal 2800 halaman.

Sedangkan penelusuran gua di Indonesia sendiri, mulai muncul pada tahun 1980 dengan berdirinya “Specavina” oleh Norman Edwin dan Dr. R.K.T. Ko, yang selanjutnya bercabang menjadi “Gerba Bumi”, yaitu sekelompok penelusur gua yang berkiblat ke petualangan dan olah raga, serta “Hikespi” yaitu kelompok penelusur gua yang berakibat pada penelitian ilmiah dan konservasi.

Gua adalah bentukan lorong, sumuran, ruangan yang ada didalam tanah. Menurup IUS (International Unio of Speleology) berkedudukan di Wina, Australia, gua adalah sebuah ruang di bawah tanah yang bisa dimasuki oleh manusia.

Ilmu yang mempelajari tentang gua dan lingkungannya disebut speleology. Berasal dari bahasa Yunani yaitu spelalion = gua, dan logos = ilmu, lingkungan sekitar gua dapat berupa aliran lava yang membeku, batu pasir (sandstone), batu gamping (karts), gletser dan sebagainya.

Ada juga istilah spelunca (bahasa latin dari gua). Di Indonesia istilah yang paling sering dipakai adalah penelusuran gua (caving) tanpa merujuk tujuannya masuk gua.

1. C. Pengetahuan Tentang Gua

Menurut proses terbentuknya, gua dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :

1. Gua Lava, yaitu gua yang terbentuk akibat aktifitas vulkanik dari gunung berapi. Ketika terjadi letusan, lava yang dimuntahkan mengalir kebawah membentuk alur-alur memanjang. Ketika bagian atas/permukaan lava sudah membeku, laca yang dibawah permukaan masih mengalir terus sehingga menimbulkan rongga atau lorong.
2. Gua Littoral, yaitu gua yang terbentuk didaerah tebing pantai, akibat pengikisan yang dilakukan oleh angin dan gelombang laut.
3. Gua Kapur atau Limenstone, yaitu gua yang terjadi didalam daerah batuan kapur/limenstone, akibat dari pengikisan air terhadap batuan kapur di dalam tanah. Gua kapur inilah yang menjadi obyek penelusuran dan ekspoitasi bagi pecinta alam atau penelitian yang tidak habis-habisnya oleh para ilmuwan. Hal ini disebabkan karena banyak daerah atau kawasan hunian yang berstruktur batuan kapur, sehingga gua-gua yang ada disekitarnya, bagaimana pun juga mempunyai pengaruh positif maupun negatif bagi masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

Proses Terjadinya Gua Kapur

Batuan kapur terbentuk dari kalsium karbonat yang tidak mudah larut oleh air. Tetapi air hujan yang mengandung karbondioksida (hasil penyerapan udara dan tanah) dapat melarutkannya. Batuan kapur mempunyai karateristik yang khas yaitu banyak retakan-retakan horizontal maupun vertikal. Dan ketika air hujan masuk ke celah tersebut terjadi pelarutan sehingga celah/retakan tersebut makin lama makin membesar.

Semua aktifitas diatas terjadi di lapisan bawah tanah dari batuan kapur, disebut zona seturasi, yaitu zona yang berada di bawah muka air bebas (water table), seturasi berarti daerah itu jenuh dengan air. Sedangkan water table adalah batas permukaan dari zona seturasi.

Aktifitas pelarutan semakin lama semakin membesar, sehingga timbul lorong vertikal atau horizontal bahkan ruangan yang semuanya terisi air, dan pada beberapa tempat mereka saling bertemu sehingga membentuk suatu jaringan. Pada suatu waktu, water table turun akibat adanya pergerakan bumi, sehingga lorong-lorong tersebut menjadi gua-gua yang kering (dry caves), dimana air masih ada/mengalir. Pada beberapa tempat menjadi kolam ataupun sungai di bawah tanah.

Setelah tahapan di atas, gerakan bumi yang terjadi serta erosi yang dilakukan air bawah tanah dan proses air hujan melalui retakan di sepanjang dinding gua, merubah bentuk dan struktur gua. Kemudia beberapa bentuk khas dari gua mulai terjadi, antara lain :

1. Stalaktit, yaitu ornamen gua yang membetuk ujung tombak memanjang dan meruncing ke bawah, menempel pada atap gua. Ini terjadi karena air yang mengandung larut yang tinggi menetes melalui titik kecil pada atap gua. Sebelum air menetes jatuh, mengalami penguapan sehingga larutan kapur yang terkandung di dalamnya menempel pada atap gua dan proses ini berjalan terus-menerus hingga akhirnya menjadi bentukan yang menyerupai pipa kecil dengan lubang straw. Pada tahap tertentu terjadi penyumbatan pada lubang-lubang sehingga air tidak lagi mengalir melalui ujung pipa tersebut, tetapi kembali merembes melalui pangkal pipa dan melewati bagian luar pipa menuju ujung pipa kembali dan menetes ke bawah. Akhirnya, bagian luar dari daerah pangkal pipa paling banyak mendapat tumpukkan atu tempelan larutan kapur, sehingga timbul bentukkan yang menyerupai kerucuk terbalik (stalaktit).
2. Stalakmit, terbentuk dari proses terjadinya stalaktit. Ketika air menetes jatuh ke lantai gua, terjadi penguapan air, maka timbul penumpukkan larutan kapur yang membetuk kerucut memanjang dan meruncing ke atas.

Stalaktit dan stalakmit yang ujung-ujungnya menyatu, menyerupai pilar/tiang disebut Column.

1. Drapery/korden, proses terjadinya hampir sama dengan stalaktit, hanya saja perembesannya terjadi pada sebuah celah (crack) yang memanjang pada atap gua, sehingga bentukan yang tumpul menyerupai tirai-tirai seperti korden jendela yang menggantung pada atap menuju ke bawah dengan lekukan-lekukannya.

1. Flowstone, terjadi karena penumpukkan larutan kapur pada celah memanjang yang horizontal pada dinding gua, sehingga membentuk satu gundukan berbentuk separuh bola yang permukaannya/lapisan luarnya seperti air mengalir.

1. Gourdam (dam), bentuknya seperti kolam kecil yang saling menyambung dan menumbuk sehingga membentuk jaringan persis daerah persawahan. Terjadi karena permukaan dari lantai gua tidak rata, sehingga pada suatu tempat kapur yang terlarut air mengalir ke dasar gua terhambat dan membentuk dinding sesuai dengan alur lantai yang menahannya dan terjadi secara berulang-ulang.

1. Helektite, yaitu bentuk stalaktit yang aneh karena bisa bercabang sejajar dengan atau gua, bahkan pertumbuhannya kadang tidak ke bawah tetapi ke atas menuju atap seperti melawan daya tarik bumi (gravitasi). Ada beberapa teori yang muncul tentang terbentuknya helektite, sebagai berikut :

1). Pada tekanan udara tertentu pertumbuhan menjadi horizontal arahnya.

2). Angin membuat pertumbuhan tidak vertikal ke bawah.

3). Ada beberapa molekul tertentu maupun bakteri yang mempengaruhi pertumbuhan.


1. D. Habitat Gua

Semua makhluk yang menghabiskan sebagian atau seluruh hidupnya di dalam gua disebut troglodyte. Habitat troglodyte berdasarkan kondisi lingkungan yang mendukung kehidupan komunitasnya dapat dibagi menjadi empat zon, yaitu :

1. Zona terang, daerah yang merupakan mulut gua, cahaya masih sama seperti di luar gua.
2. Zona senja, merupakan daerah di dalam gua dimana tumbuhan hijau masih bisa tumbuh. Cahaya pada daerah ini pada senja hari.
3. Zona gelap dengan suhu berubah, merupakan daerah gelap total yang dicirikan dengan suhu dan kelembaban yang masih bisa berubah setiap saat sesuai dengan perubahan keadaan cuaca luar.
4. Zona gelap dengan suhu tetap, merupakan daerah yang terjauh dari mulut gua dengan suhu dan kelembaban yang selalu tetap.

Binatang dalam gua dapat dibagi menjadi tiga macam kelompok, yaitu :

1. a. Troglopile, yaitu binatang yang menyukai kegelapan, tetapi masih mencari makan di gua tersebut. Contohnya ; kelelawar dan burung walet. Sekalipun tempat tinggal mereka sudah termasuk dalam zona gelap total, tetapi fluktuasi suhu dan kelembaban masih konstan. Jadi troghopile memanfaatkan gua sebagai tempat tinggal dan tempat berlindung.

1. b. Trogloxine, yaitu binatang yang hanya secara kebetulan ada didalam gua, karena sebenarnya binatang itu asing bagi kehidupan gua tersebut. Contohnya ; musang, ular, dan sebagainya. Binatang ini biasanya terdapat pada mulut gua sampai zona senja.

1. c. Troglobion, yaitu binatang yang seluruh siklus kehidupannya sudah dilakukan di dalam gua, sehingga memiliki sifat yang berbeda dengan binatang sejenisnya di permukaan tanah. Contohnya ; seekor ikan yang sudah sekian lama hidup dan berkembang biak dalam gua pada zona tertentu mengalami perubahan fisik menjadi tidak berpigmen, penglihatan tidan berfungsi dan alat peraba menjadi lebih telanjang. Hal demikian dapat terjadi setelah melalui waktu yang lama dan habitanya sudah benar-benar terisolasi dari pengaruh luar.

1. E. Menagement Penelusuran

Management penelusuran terbagi dalam beberapa tahapan, sebagai berikut :

1. 1. Sebelum penelusuran
1. a. Non teknis

1). Pengumpulan data dan informasi mengenai gua

2). Perajinan dan surat jalan yang dibutuhkan

1. b. Teknis

1). Perlengkapan/logistik yang dibutuhkan

2). Jumlah personil yang memadai (minimal 3 orang)

3). Meninggalkan pesan kepada orang lain tentang pelaksanaan kegiatan

1. 2. Selama penelusuran

Ada pembagian tugas dan wewenang dalam team selama kegiatan berlangsung sehingga terkoordinir dengan baik.

1. 3. Setelah penelusuran
1. a. Cheeking peralatan
2. b. Perawatan peralatan
3. c. Evaluasi kegiatan
4. d. Pembuatan laporan kegiatan

1. F. Perlengkapan Penelusuran Gua

Perlengkapan/peralatan penelusuran gua dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Perlengkapan pribadi (personal equipment), berupa :
1. a. Pakaian, terbuat dari bahan yang tembus air tetapi mudah menguap bila basah, untuk menjaga suhu tubuh agar tidak terlalu berbeda dengan suhu lingkungan. Pakaian yang ideal digunakan adalah coverall/wervak.
2. b. sepatu, biasanya digunakan sepatu boot, karena medan yang dihadapi biasanya berlumpur.
1. c. Helm boom, untuk menjaga/melindungi kepala dari runtuhan atau antukkan batu.
2. d. Survival kit, berbeda dengan survival kit di gunung hutan karena yang dikhususkan pada perlengkapan ini adalah bagaimana menghadapi keterbatasan di gua. Biasanya diutamakan adalah cahaya, logistik serta obat-obatan, baru menyusul lainnya.
3. e. Single Rop Technique (SRT), merupakan teknik untuk melintasi lintasan vertikal yang berupa satu lintasan tali. Tekni ini mengutamakan keselamatan dan kenyamanan saat penelusuran gua vertikal. Dalam pelaksanaannya digunakan alat berupa SRT set yang terdiri dari :

1). Seat harness, digunakan untuk mengikat tubuh yang dipasang pada pinggang dan paha.

2). Ascender, digunakan untuk naik atau memanjat lintasa. Ascender dibedakan menjadi hand ascender digunakan untuk dipegang di tangan dan chest ascender digunakan untuk diikatkan di dada.

3). Descender, digunakan untuk menuruni lintasan. Ada beberapa macam descender, tetapi umumnya yang sering digunakan adalah capstand. Ada dua jenis capstand, yaitu simple stop descender (bobbin/non auto stop) dan auto stop descender.

4). Mailon Rapid (MR), ada dua macam, yaitu Delta MR (besar), digunakan menyambung (dua loop) sent harness, ada dua bentuk yaitu Delta dan Semi Cireular. Dan Oval MR (kecil), digunakan untuk menyambung chest ascender dengan Delta MR atau Semi Circular MR.

5). Chest harness, digunakan untuk mengikatkan seat harnes dengan dada, biasanya menggunakan weebing.

6). Cowstail, dibuat dengan tali dinamik dan simpul dengan salah satu cabangnya lebih pendek. Cabang yang pendek digunakan sebagai pengaman saat akan mulai/selesai melintasi tali atau berpindah lintasan. Cabang yang panjang digunakan untuk menghubungakan hand ascender dengan tubuh. Pada kedua ujung cowstail dipasang carabiner no screw.

7). Foot loop, digunakan untuk pihakan kaki dan dihubungkan dengan ascender. Ada beberapa bentuk foot loop yang biasa digunakan, yaitu single foot loop, double foot loop dan stirup.

1. Perlengkapan Tim (team equipment), berupa :
1. a. Tali, digunakan sebagai lintasan yang akan dilalui, biasanya menggunakan karmantel rop jenis static rop yang mempinyai kelenturan 8 – 12 %.
2. b. Carabiner, digunakan sebagai pengait atau penghubung.
3. c. Webbing (sling), digunakan sebagai penghambat terhadap anchor.
4. d. Pengaman sisip, digunakan sebagai anchor bila tidak menemukan tambatan alam (natural anchor), dapat berupa chock, hexentric, frien.
5. e. Piton atau paku tebing, fungsinya sama dengan pengaman sisip yaitu sebagai anchor.
6. f. Driver atau hand drill, seabgai bor batuan.
7. g. hammer, fungsinya sebagai palu.
8. h. Spit, pengaman yang ditanam ke batuan dan dapat dilepas kembali.
9. i. Hanger, dihubungkan dengan spit yang telah tertanam. Jenisnya adalah plate, ring, twist, cloen, asimetric.
10. j. Tas, biasanya digunakan tackle bag yang terbuat dari bahan yang kuat dan berbentuk simpel.
11. k. Ladder atau tangga tali, digunakan sebagai lintasan manakala lintasan yang ada tidak terlalu dalam.

1. G. Teknik Penelusuran Gua
1. 1. Gua Horizontal

Medan pada gua horizontal sangat bervariasi, mulai pada lorong-lorong yang mudah ditelusuri sampai lorong yang membutuhkan teknik khusus untuk melewatiya.

1. Lumpur

Untuk lorong yang berlumpur dapat dilewati dengan berjalan biasa bila lumpurnya tidak terlalu tebal. Bila lumpurnya tebal, misal sedalam lutut atau lebih, dapat dilalui dengan posisi seperti berenang. Dengan posisi ini akan lebih mudah bergerak dan menghemat tenaga.

1. Air

Dilorong yang berair, terutama gua yang belum pernah dimasuki dibutuhkan fasilitas pendukung untuk bisa melewatinya karena kedalaman air tidak diketahui, demikian juga kondisi di bawah permukaan air. Untuk keselamatan sebaiknya semua anggota team dibelay atau juga dengan moving together dimana semua anggota team terhubung dengan tali. Pada kondisi tertentu, bila dibutuhkan dan dimungkinkan dapat memakai pelampung atau perahu karet.

Untuk lorong yang sempit dan hampir semua terpenuh air dapat dilewati dengan teknik ducking, yaitu kepala menengadah dan kaki sebagai peraba medan di depan. Ini dilakukan agar bila ada perubahan medan secara drastis, si penelusur masih dapat mundur.

Pada lorong yang selurunya terisi air (sump), untuk melaluinya harus dengan menyelam (diving). Penyelamatan di gua (cave diving) sangat berbahaya dan memiliki ratio kematian 60 %. Dengan ratio sebesar ini sebaiknya tidak meneruskan penelusuran bila peralatan tidak standar.

Pembagian team untuk melewati medan air juga harus disesuaikan, misalnya leader tidak boleh membawa beban berat karena harus membuat lintasan dan mempelajari kondisi medan.

1. Climbing

Teknik climbing juga sering digunakan dalam penelusuran gua. Misalnya bila kita menemui water fall, waktu lintasa (rigging), melewati calcite floor atau oolith floor.

1. 2. Gua Vertikal

Single Rope Technique (SRT) adalah teknik untuk melewati lintasan vertikal, yang berupa atau satu lintasan tali. Tekni ini digunakan untuk menelusuri gua-gua vertikal. Ada beberapa jenis teknik SRT seperti Texas System, Rope Walker System, Mitchele System, Floating Cam System, Jumar System, Fro Rig dan lain-lain. Namun di Indonesia khususnya di Yogyakarta memakai sistem frog rig, adapun peralatan yang digunakan dalam sistem ini, yaitu seat harness, ascender (hand ascender dan chest ascender), descender, mailon rapid (MR), chest harness, cowstail, foot loop dan kermantle rope.

Pengorganisasian SRT set pada sistem ini yaitu seat harness dihubungkan dengan MR delta atau semu circular, didalam MR dirangkaikan peralatan lainnya, palang kiri cowstail yang dihubungkan dengan jummar (hand ascender) dan foot loop pada cabang yang panjang, oval MR dihubungkan dengan chest ascender terus descender, dan paling kanan carabiner bebas sebagai pengatur laju tali yang melalui descender.

Karena lorong vertikal tidak merata dan berbeda-beda, maka untuk keselamatan dan kemudahan saat melewati lintasan, maka ada beberapa variasi lintasan sebagai konsekuensinya, yaitu :

1. Lintasan lurus, yaitu lintasan yang mulus ke bawah tanpa ada gesekan lintasa dengan dinding gua.
2. Lintasan intermediate, bertujuan untuk menghilangkan gesekan tali dengan dinding gua, dengan membuat anchor pada titik gesekan.
3. Lintasan deviasi, berguna untuk menghilangkan friksi tali dengan dinding gua, dibuat dengan cara menarik tali kearah luar gesekan.
4. Lintasan sambungan, dipakai pada lintasan dimana satu buah tali terpaksa disambung untuk mencapai dasar picth.

1. H. Bahaya Penelusuran Gua

Kegiatan penelusuran gua adalah aktifitas yang mengandung resiko tinggi (right risk activity). Hal itu disebabkan karena gua mempunyai medan yang berbeda dengan yang kita hadapi sehari-hari. Bahaya penelusuran gua dapat dibagi menjadi :

1. Antroposentrisme, yaitu bahaya terhadap manusia (penelusur gua). Dapat disebabkan oleh faktor :
1. Faktor manusia, bahaya ini dapat berupa tergelincir, terjatuh, terantuk, kejatuhan, tersesat, tenggelam, kedinginan, dehidrasi, gigitan binatang berbisa, dan lain-lain.
2. Perlatan yang digunakan, setiap penelusur gua harus terampil dalam penguasaan dan penggunaan alat. Pemakaian peralatan merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan setiap penelusur gua. Karena pemakaian peralatan dengan cara yang salah selain merusak alat tersebut, juga bisa berakibat fatal. Ini sangat berbahaya mengingat penelusur gua sangat tergantung pada alat. Pemasangan pengamanan atau beban yang berlebihan juga harus diperhatikan oleh penelusur gua.
3. Faktor gua, dapat menimbulkan bahaya karena kemungkinan yang tak terduga seperti runtuhan atap/dinding karena gempa, juga karena adanya gas beracun dalam gua tersebut.

1. Speleosentrisme, yaitu bahaya terhadap gua yang disebabkan oleh manusia (penelusur gua). Diakui atau tidak, kegiatan penelusuran gua bagaimana pun juga akan memberikan kerusakan terhadap gua itu sendiri, kerusakannya dapat berupa rusaknya ornamen-ornamen yang ada dalam gua, terganggunya biota dalam gua dan lain sebagainya. Tinggal bagaimana komitmen dari para penelusur gua untuk dapat meminimal terjadi kerusakannya tersebut.

Kecelakaan lain yang sering terjadi adalah keracunan atau kekurangan oksigen (hipoksia). Tanda-tanda kadar oksigen :

1. a. 20 % : udara normal
2. b. 16 % : lilin tidak menyala
3. c. 15 % : pada raut muka terdapat gejala hipoksia
4. d. 12 % : hipoksia serius
5. e. 8 – 10 % : lampu karbit tidak menyala
6. f. 7 – 8 % : kesadaran menurun drastic diikuti kematian

Kekurangan oksigen biasanya terjadi dilorong-lorong sempit, ducking, juga sump. Pemakaian obor dan lampu petromak tidak dianjurkan karena menambah kadar karbondioksida (CO2). Gas CO sangat menghantui para cavers karena cepat mematikan, disamping itu tidak berbau dan tidak berwarna.

Gas CO dapat timbul akibat peledakan dinamit dan penyalaan api unggun pada gua, ketika bernafas dapat menghisap asap diluar gua. Beberapa macam gas didalam gua, diantaranya :

1. Gas Nitro, menyebabkan bibir dan kulit kebiruan, nyeri pada kepala dan tekanan darah menurun drastis. Gas ini tidak berwarna hitam dan tidak berbau.
2. Gas Sulfur, terdapat pada daerah gunung berapi (gua lava), berbau seperti telur busuk dan tidak berwarna. Dapat diatasi dengan masker industri atau bauan kopi.
3. Udara gua yang penuh debu, membuat sesak nafas, sakit saat bernafas dan batuk kering. Dapat diatasi dengan masker, biasanya terdapat pada gua-gua yang kering atau gua-gua yang tidak aktif lagi pembentukkannya.
4. Udara gua yang mudak meledak atau terbakar, gas metan, gua ini sangat berbahaya jika menggunakan lampu karbit atau korek api.

1. I. Kode Etik Penelusuran Gua
2. Setiap penelusuran gua menyadari bahwa gua merupakan lingkungan yang sangat sensitif dan mudah tercemar, karena itu penulusur gua harus :
1. a. Tidak mengambil sesuatu kecuali potret (take nothing but pictuter)
2. b. Tidak meninggalkan sesuatu kecuali jejak (leave nothing but footprint)
3. c. Tidak membunuh sesuatu kecuali waktu (kill nothing but time)
3. Setiap penelusur gua sadar bahwa setiap bentuk alam didalam gua, terjadi dalam waktu ribuan tahun.
4. Setiap usaha merusak gua, mengambil/memindahkan sesuatu dari dalam gua tanpa tujuan yang jelas dan ilmiah selektif akan mendatangkan kerugian yang tidak dapat ditebus. Setiap menelusuri gua dan menelitinya diusahakan seefektif dan seefesien mungkin.
5. Dalam hal menelusuri gua para penelusur tidak memandang rendah keterampilan dan kesanggupan sesama penelusur. Penelusur dianggap melanggar etika bila memaksakan dirinya untuk melakukan tindakan-tindakan yang diluar batas kemampuannya.


1. J. BIOSPEOLOGI

Biospeologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kehidupan beserta kondisi lingkungan hidup organisme di dalam gua. Aspek utama yang dipelajari dalam biospeologi meliputi studi tentang organisme yang hidup di dalam gua, material organic dalam sedimen yang menyediakan makanan dasar bagi organisme, variable lingkungan (temperatur, kelembaban yang mempengaruhi distribusi, dan kelimpahan organisme), serta hubungan antar organisme atau organisme dengan lingkungan gua.

1. 1. Karakteristik lingkungan gua


Meski di dalam gua kondisi lingkungan beragam, tetapi bila dibandingkan Caving_Repel_Pic_thumbdengan kondisi fisik lingkungan di luar gua akan mempunyai keragaman yang lebih kecil. Beberapa parameter fisik yang berkaitan dengan kondisi fisik gua antar lain :

1. a. Suhu di dalam gua mendekati rata-rata suhu tahunan daerah di luar gua.
2. b. Kelembaban yang sangat tinggi mencapai lebih dari 90% dan jarang dibawah 80 %
3. c. Secara kimiawi air gua dicirikan dengan kadar alkali dan pH yang relatif tinggi.
4. d. Pada aliran sungai di gua, kosentrasi oksigen biasanya tinggi, tapi dalam kolom Rimstone yang airnya berasal dari rembesan dan resapan, kandungan oksigennya bisa rendah.
5. 2. Zona lingkungan gua

Moore dan Sullivan, 1978 membagi lingkungan gua menjadi 3 bagian, yaitu :

1. a. Zona terang ( Twilight Zone)

Merupakan daerah yang dekat dengan mulut gua yang memungkinkan mendapat sinar matahari secara langsung. Zona ini memiliki densitas organisme yang tinggi.

1. b. Zona peralihan ( Middle Zone)

Zona ini dicirikan dengan adanya daerah gelap total, tetapi memiliki kelembaban dan temperature yang berfluktuasi pada siang dan malam hari. Zona ini masih bisa mendapatkan cahaya matahari walaupun tidak secara langsung, yaitu melalui pantulan.

1. c. Zona gelap (Totally Dark Zone)

Merupakan cirri gua yang memiliki kegelapan abadi, dimana secara alami tidak ada cahaya matahari yang bisa masuk. Temperaturan dan kelembaban relative konstan sepanjang tahun, kalaupun ada variasi mempunyai fluktuasi kecil.

Sejalan dengan perubahan zonasi diatas, tekanan atmosfer dan temperature dalam gua akan semakin menurun. Adanya penurunan diatas mengakibatkan aliran udara didalam gua sangat kecil.

1. 3. Adaptasi biota gua

Guna menjaga kelangsungan hidupnya dan kelestarian generasinya, maka organisme gua melakukan bentuk-bentuk adaptasi guna menghadapi kondisi lingkungan guayang sangat ekstreem dan spesifik. Adapun bentuk adaptasi yang dilakukan oleh biota-biota tersebut secara garis besar dibagi 4, yaitu :

1. a. Kompensasi sensori (Alat perasa)

Sensor terhadap cahaya (penglihatan) mengalami kemunduran / reduksi dan digantikan dengan sensor terhadap gerakan dan perabaan yang mengalami peningkatan menjadi sangat peka. Peningkatan kepekaan alat perasa pada saatnya akan menghasilkan pertambahan anggota tubuh yang berfungsi sebagai alat perasa.

1. b. Adaptasi terhadap kelembaban tinggi

Organisme gua yang hidupnya di daerah tidak berair (terrestrial) harus beradaptasi dengan udara yang jenuh dengan uap air. Ada batas maksimum toleransi terhadap kelembababan hewan gua yang masuk Arthropoda terrestrial yang hidup di permukaan tanah. Howarth (1983) menyatakan bahwa hewan-hewan gua mampu melakukan mekanisme ekskretori (pengeluaran) air yang efektif sehingga akan meningkatkan permeabilitas kutikuler dengan cara mereduksi kutikula.

1. c. Metabolisme Ekonomi

Karena maknan sangat jarang di dalam gua, hewan gua akan menurunkan laju metabolisme yang bertujuan menghemat energi yang memungkinkan hewan untuk bertahan terhadap kelaparan. Selain itu, hewan akan mempunyai cadangan energi untuk keperluan yang lebih penting seperti reproduksi.

1. Neoteni

Kondisi keterbatasan tersedianya makanan menyebabkan hewan gua harus mengembangkan strategi tertentu untuk mengatasinya. Strategi adaptasi tersebut adalah neoteni (perlambatan pertumbuhan tubuh). Hal ini juga dimaksudkan untuk mengalihkan penggunaan energi untuk reproduksi. Hewan akan menunjukkan morfologi masih muda (juvenile) seperti ukuran badan dan kepala meskipun mereka telah dewasa, bentuk yang demikian dinamakan Paedomorph.

Berdasarkan tingkat adaptasi dan tingkat siklus hidupnya, Moore & Sullivan (1978) membagi biota gua menjadi 3 kelompok :

1). Trogloxene

Kelompok biota ini tidak pernah melengkapi siklus hidupnya di dalam gua. Biasanya mereka tinggal di mulut gua untuk mencari tempat istirahat dan perlindungan sementara. Setelah keadaan membaik/sesuai, mereka meninggalkan gua. Contoh hewan yang hidup di daerah ini ialah musang, ular, dan sebagainya.

2). Troglophile

Biota di dalam kelompok ini biasanya hidup di zona gelap, walaupun bisa hidup di luar guaapabila lingkungannya tidak jauhberbeda. Adaptasi yang telah dilakukan menyebabkan mereka dapat menyelesaikan siklus hidupnya di dalam gua. Contoh hewan yang hidup di daerah ini ialah kekelawar dan burung wallet.

3). Troglobion / Trogobite

Kelompok biota ini adalah hewan yang hidup permanent di dalam gua dan hanya ditemui di dalam gua. Seluruh siklus hidupnya diselesaikan di dalam gua. Biasanya mereka mempunyaio pigmenyang telah mereduksi dan mata yang kecil bahkan tidak ada sama sekali (Moore & Sullivan, 1978).

1. 4. Jaring- Jaring Makanan di Dalam Gua

Jaring- jarring makanan merupakan perputaran kembali materi-materi organic diantara populasi yang ada di dalam gua. Sebagai contoh jaring makanan yang terjadi di dalam gua ialah : Jamur mendapat nutrisi dari proses peruraian dan dengan cara menyerap substansi organik dari materi tersebut atau yang terdapat di dalam kotoran hewan. Serangga pemakan jamur seperti Beetles, Springtail, Mites memakan jamur benang dan bakteri. Hewan akuatik gua dapat mencerna materi organic yang mengapungsecara langsung. Hewan-hewan ini pada gilirannya akan disantap oleh pemangsa yang lebih besar seperti Salamender, Crayfish, dan ikan-ikan. Dalam siklus makanan ikan-ikan ini akan mati dan terurai sehiongga menghasilakn materi organic ke dalam lingkungan gua. Kotoran gua merupakan sumber lain materi organic.

Perputaran makanan di dalam gua seringkali dikatakan sebagai Closed Ecologic System ( Ekosistem Tertutup). Dalam suatu system yang benar-benar tertutup, setiap organisme pemakan organisme lain pada gilirannya akan dimakan oleh organisme lainnya dalam system yang sama. Tetapi system ini tidak bisa terpelihara tanpa adanya bantuan secara tidak langsung dari sinar matahari.

Di dalam gua tidak ada produsen primer kecuali beberapa bakteri Autotrof Khemosintetic yang menggunakan besi dan sulfur sebagai donor elektron. Jadi secar umum komunitas gua hanya terdiri dari dekomposer dan predator. Sumber makanan/energi untuk biota gua berasal dari luar ekosistem gua , yaitu berupa :

1. Faeces/kotoran (guano) dan sisa makanan dari kekelawar dan hewan trogloxene lain.
2. Detritus/ sisa tumbuhan yang terbawa masuk pada gua yang mempunyai aliran sungai
3. Akar tanaman yang masuk melalui rekahan dinding gua yang mempunyai aliran sungai organik dan mikroorganisme.

Dalam ekosistem gua dapat dibagi 2 komunitas yaitu komunitas langit(atas) dan komunitas lantai (bawah). Komunitas langit terdiri dari kekelawar dan burung, komunitas ini penting artinya bagi komunitas lantai karena merupakan sumber makanan utama (guano). Komunitas lantai terdiri dari jamur, milipedes, jangkrik gua, dan amblyphygi serta hewan-hewan akuatik. Pada komunitas lantai terjadi rantai makanan yang sesungguhnya, dimana terjadi proses makan dimakan dan predasi. Bangkai dari bita gua akan menjadi sumber makanan baru daam jaring-jaring makanan gua (Whitten, 1996).

1. K. KARSTOLOGI

Karst merupakan batuan gamping yang telah mengalami proses pelarutan oleh asam karbonat dan beberapa jenis asam lainnya sebagai hasil pembusukan sisa tananman di atas batu gamping. Batuan gamping yang mengalami proses karstifikasi akan menunjukan morfologi yang unik baik dipermukaan tanah yang disebut fenomena eksokartstik dan di bawah permukaan tanah yang disebut fenomena endokartstik seperti timbulnya sistem aliran bawah tanah, gua-gua batu gamping dengan dekorasinya. (speoleothom).

Fenomena kawasan karst di atas permukaan tanah antara lain :

1. Doline

Adalah cekungan tertutup (Closed Depression) yang memiliki ke dalaman 2-100 meter dengan diameter 10-100 meter.

1. Uvala

Cvijik (1901) mendiskripsikan istilah slovenic / uvala ini untuk cekungan dan dasar yang luas dan tidak rata sedangkan Lehmann (1970) mengartikan unyuk lembah menjang, kadang-kadang berkelok-kelok dan biasanya dasar berbentuk cawan di daerah karst.

1. Singking Creek

Ialah sungai yang mengalir di daerah karts akn tetapi menghilang karena mengalir masuk ke aliran bawah tanah.

1. Sink

Ialah tempat sungai permukaan itu lenyap, air menghilang secara defuse melalui material alluvium

1. Swallow Hole

Apabila permukaan sungai hilang melalui lubang yang nyata terlihat.

1. Poljes

Depresi di daerah karst yang luas areanya berkelok-kelok dan dasarnya tertutup depositalluvium atau residu oleh pelapukan.

1. Danau Karst

Letaknya biasanya terdapat di cekungan, terbentuk karena adanya lapisan kedap air pada dasar danau, akibat akumulasi dari Lumpur atau bahan residu pelapukan yang kedap air.

1. Natural Bridge

Suatu fenomena yang menyerupai jembatan di daerah karst.

1. 1. Aspek-aspek Eksternal dan Internal

Aspek eksternal yang paling penting dalam mempercepat proses karstifikasi yaitu

1. a. Penyediaan air permukaan yang besar
2. b. Zona tanah dengan humus dan material organikyang memproduksi CO2 sehingga pH dari air perlokasi menjadi lebih rendah.
3. c. Suhu yang tinggi.

Sedangkan aspek-aspek yang mempercepat proses karatifikasi secara internal, ialah:

1). Batu gamping berkristal dengan celahan dan pecahan batu halal.

2). Formasi batu gamping tebal dengan arah infiltrasi luas.

1. 2. Hidrologi karst

Menurut Hondl (1089) Hidrologi dari suatu batuan karbonat hanya dapat dipahami bila kita melakukan observasi teliti dari sifat-sifat fisik dan distribusi dari bantuan itu. Hidrologi karet sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :

1). Geologi, termasuyk deomorfologi karat, sratigrafi litologi, poronitas/kesarngan, pemeabilitas/kesarangan bantuan karbonat sistem patahan, dan geser

2). Iklim

3). Penutup kawasan karst

1. a. Zone hidrologi karat meliputi :

1). Zona aerasi

Air perlokasi akan bergerak mengikuti gara berat

2). Zone Fluktuasam

Menurut iklim zone ini sifatnya tradisional bila permukaan air turun, zone ini masuk ke dalam zone aerasia.

3). Zone Saturasi

Air karst bererak sepanjaang tahun

4). Zone Sirkulasi

Air tanah tidak dipengaruhi oleh dijumpai rongga-rongga atau gua-gua yang terjadi karena proses apoleogenosis. Goa yang menempati lapisan endokarsttik merupakan suatu system yang tak dapat dipisahkan dari ekosistem di atasnya.

1. L. SPELEOGENESIS

Batuan kapur dan marmer (batu kapur yang dikristalisasi dengan panas dan tekanan) yang terdiri dari material kalsit (Ca7 CO 3) merupakan batuan pembentuk gua. Batuan-batuan tersebut terbentuk pada zaman lautan purba jutaan tahun yang lalu oleh tumbuhan dan hewan laut yang mengekstraksi kalsium karbonat (Ca CO3) dari air laut. Butir-butir pasir yang mengandung fragment-fragment dari organisme tersebut, bersama-sama dengan material hasil aktifitas mikroorganisme akan memadatkan karena tekanan dan mengalami sementasi menjadi batuan padat. Akhirnya suatu kekuatan dasyat mengangkat batuan sediment dari dasar laut ke daratan.

Umur suatu gua kecil hubungannya dengan umur dari batuan yang menutupinya. Kebanyakan gua umurnya lebih muda dibandingkan umur batuannya. Pada umumnya umur batuan yang ada di dunia ini sekitar ratusan juta tahun akan tetapi umur gua sendiri sekitar 10 juta tahun.

Goa batuan kapur terbentuk karena proses pengasanman batuan kalsium karbonat. Bahkan asam sangat cair yang terdapat di dalam air permukaan tanah yang mebentuk goa jika diberi waktu cukup. Asam yang sangat berperan dalam proses pelarutan batuan kapur secara alami untuk membentuk gua adalah asam karbonat (H2CO3) yang dihasilkan dari penggabungan air dan CO3.

Asam karbonat termasuk asam lemah walaupun berada dalam kondisi / kosentrasi maksimum. Udara atmosfer hanya 0,03% CO2, tetapi asam karbonat yang dihasilkan terlalu cair sehingga tidak efektif dalam membentuk goa. Kebanyakan CO2 yang berperan aktif dalam pembentukan asam yang melarutan batuan kapur berasal dalam tanah, disana sebagai akibat pengurai humus dapat dihasilkan H2CO3 dalam jumlah yang banyak dan kosentrasi tinggi. CO2 dan air (H2O) bersama-sama mengubah batuan kapur dengan reaksi ganda sebagai berikut :

CO2 + H2O ————— H2CO3

H2CO3 + CaCO3 ———– Ca2+ + 2HCO3

Karbon dioksida bersama air membentuk asam karbonat yang kemudian melarutkan kalsit dan menguraikan menjadi ion-ion terlarut. 1 m3 air yang dibiarkan di udara terbuka yang mengandung 10 % CO2 dapat melarutkan ±250 gram kalsit.

M. SPELEOTHEM

Bentukan atau bangunan yang terbentuk dalam goa karena deposisi mineral-mineral sekunder (stalaktit, stalakmit, dll) yang disebut speleothem. Di zona tanah, sisa-sisa tanaman dengan cepat diuraikan . CO2 yang ada di udara tanah jauh lebih banyak sekitar 10-30 % dari pada yang ada di atmosfer, CO2 bersama dengan air tanah akan membentuk asam karbonik yang kemudian akan melarutkan sebagian dari batu kapur, selanjutnya merembes ke bawah menuju gua. Ketika air yang merembes di udara gua yang pada umumnya mempunyai tekanan parsial CO2 terlarut jauh lebih rendah dari dari udara tanah, menyebabkan perubahan kimia sebagai berikut :

Ca2 + 2HCO3 ————————— CO2 + CaCO3 + H2O

Larutan kalsium

Bikarbonat

Proses di atas merupakan kebalikan dari proses pembentukan gua dari pelarutan batuan gamping.

Kehilangan CO2 tersebut di atas itulah , bukan penguapan air merupakan sebab utama terbentuknya kalsit speleothem. Stalaktit dan speleothem lainnya hampir merupakan kalsit murni (CaCO3) walaupun dari dalam air yang kemudian mengikat CO2 menjadi kalsium karbonattersebut juga terlarut material-material lainnya.

Pertumbuhan Stalaktit dan Speleothem lainnya

Stalaktit dan deposit lainnya yang semacam

Bentukan-bentukan yang berasal yang berasal dari pengendapan di dalam gua, di tentukan oleh bentuk dari tetesan air dan gaya gravitasi yang bekerja padanya sebelum jatuh. Ada beberapa bentukan yang terjadi :

1. a. Tubular Stalaktit

Deposit kalsit yang terjadi berbentuk seperti cincin kecil, cincin demi cincin terbentuk menyerupai silinder berongga yang berdiameter sama dengan tetesan air yang menetes darinya. Air terus mengalir dari ujung stalaktit sehingga stalaktit bertambah panjang.

1. b. Drapery

Bentuk kalsit tipis yang jernih seperti lembaran menggantung dari atap gua. Biasanya 3 meter atau lebih.

1. c. Stalagmit

Adalah kebalikan dari stalagtit, tumbuh dari lantai goa.

1. d. Coloum

Adalah bentukan yang terjadi karena pertemuan antara stalakmit yang tumbuh ke atas dan pertumbuhan stalaktit yang tumbuh ke lantai goa.

1. e. Flowstone

Jika aie mengalir pada dinding goa akan terbentuk lembaran-lembaran kalsit yang secara keseluruhan berbentuk seperti aliran air sehingga disebut flowstone.

1. f. Rimstone dams

Terdapat di lantai goa, merupakan bentukan seperti dinding yang mengurang air atau “damn streams”

1. g. Cave pearl / mutiara gua

Adalah yang paling jarang, karena lepas tidak terikat pada lantai dan dinding gua.

1. h. Pisolites

Mutiara gua yang berbentuk di lautan dengan diameter lebih dari 2mm.

1. i. Oolites

Seperti pisolites tetapi diameternya kurang dari 2 mm

1. Deposit yang terbentuk oleh “seeping water”

Mungkin objek menarik ditemukan di gua adalah yang dibentuk oleh seeping water. Speleothem ini berbentuk aneh, sebagian darinya sangat indah dan lembut menonjol pada dinding gua sedemikian rupa sehingga seakan-akan mereka melawam grafitasi.

1. a. Heliotites

Deposit dengan struktur kecil yang terpuntuir, biasanya mengandung kalsit. Panjang beberapa cm atau lebih dan berdiameter ± 5 mm. Karena heliotites menonjol dari atap, dinding goad an lantai goa dengan sudut yang berbeda-beda, maka beberapa peneliti menyebutkan sebagai “eccentric stalaktes”.

1. Deposit yang dibentuk oleh genangan air
1. a. Cave Rart

Suatu lapisan tipis seperti film dengan tebal kurang dari 0,1 mm, mengapung didukung oleh tekanan permukaan kolam. Biasanya dari kalsit.

1. b. Cave bubble

Tidak pernah berdiameter lebih dari 5 mm, mempunyai dinding yang sangat tipis, dibentuk pada permukaan air dengan mengkristalkan kalsit di sekitar “bubble”
( gelombang )
Selengkapnya...

legua team



hehehe....







hehehehe....

Selengkapnya...



banyak gaya... Selengkapnya...

Kamis, 18 Desember 2008

Speleologi dan Karstologi

SPELEOLOGI ialah sains mengenai GUA dan LINGKUNGANNYA.
Berhubung gua dapat terjadi di macam-macam batu-batuan, kami hendak
membatasi diri pada pembicaraan SPELEOLOGI di daerah karst.
Berhubung daerah batugamping – yang telah mengalami proses karstifikasi –
menjadi Lingkungan Gua, maka mau tidak mau, seorang ahli speleologi harus
memahami karstologi.
Bidang-bidang yang menarik dan relevan dengan Speleologi ialah :
- Karst hidrogeologi.
- Karst geomorfologi dan morfogenesis.
- Karst pedologi.
- Karst erosi dan denudasi dan kimia tanah.
- Karst konservasi.
- Klimatologi.
- Vegetasi dan pengaruhnya terhadap curah hujan di daerah karst.
- Tektonisme di daerah karst.
- Pengaruh vulkanisme di daerah karst.
- Litologi.
- Sedimentologi.
Kesemuanya itu dapat dikelompokkan dalam studi EKSOKARST


Speleologi dan Karstologi
Perkembangannya di Luar Negeri dan Kemungkinan
Pengembangannya di Indonesia
SPELEOLOGI ialah sains mengenai GUA dan LINGKUNGANNYA.
Berhubung gua dapat terjadi di macam-macam batu-batuan, kami hendak
membatasi diri pada pembicaraan SPELEOLOGI di daerah karst.
Berhubung daerah batugamping – yang telah mengalami proses karstifikasi –
menjadi Lingkungan Gua, maka mau tidak mau, seorang ahli speleologi harus
memahami karstologi.
Bidang-bidang yang menarik dan relevan dengan Speleologi ialah :
- Karst hidrogeologi.
- Karst geomorfologi dan morfogenesis.
- Karst pedologi.
- Karst erosi dan denudasi dan kimia tanah.
- Karst konservasi.
- Klimatologi.
- Vegetasi dan pengaruhnya terhadap curah hujan di daerah karst.
- Tektonisme di daerah karst.
- Pengaruh vulkanisme di daerah karst.
- Litologi.
- Sedimentologi.
Kesemuanya itu dapat dikelompokkan dalam studi EKSOKARST.
Sebelum membicarakan Speleologi, maka tentu harus diketahui dulu apa yang
dimaksudkan dengan “GUA”. Gua ialah setiap ruangan di bawah tanah yang
dapat dimasuki orang (definisi IUS).
Nah, apakah definisi dari rekahan-rekahan, celah-celah yang hanya dapat
dimasuki oleh landak, tikus, semut ? Ada yang menamakannya micro caves atau
gua mikro, tetapi kiranya pengkotakkan ilmu speleologi pada batas ukuran dapat
dimasuki atau tidaknya oleh manusia, ialah pengkotakkan yang salah.
Gua pada umumnya tidak merupakan fenomena tersendiri. Di daerah karst, pada
umumnya tidak hanya ditemukan satu gua saja. Biasanya yang dijumpai ialah
suatu sistem perguaan, dimana gua yang satu (yang sudah dikenal) masih
berhubungan dengan gua-gua yang lain (yang belum dikenal atau bahkan yang
belum dapat dimasuki orang, karena belum ada lubang masuk atau keluarnya).
Gua-gua itu kelihatannya terpisah, karena sudah terpotong-potong (truncated),
namun pada saat gua-gua itu dibentuk, jauh di bawah permukaan tanah saat itu,
gua-gua itu masih berhubungan satu sama lain, bahkan terkadang merupakan
suatu jaringan yang rumit (maze caves, maze pattern).

1
Inheren dengan sifat batugamping, hampir di semua lapisannya dijumpai
rekahan-rekahan dan celah-celah. Rekahan-rekahan dan celah-celah itu, besar
kecil, saling berhubungan dan membentuk suatu sistem percelahan tersendiri,
yang pada suatu saat JUGA menyatu dengan lorong-lorong gua.
Itu sebabnya ada kecenderungan menurut kami, untuk membahas bukan saja gua
dan sistem perguaan dalam speleologi, tetapi juga sistem percelahan ini, yang
baru kami jumpai dalam literatur tahun 1983 dengan istilah “Cave and Crack
Systems”.
Di dalam gua sendiri ditemukan begitu banyak obyek studi, yang saling
berkaitan, sehingga tidak mungkin dunia di bawah tanah ini dapat dimengerti
tanpa mempelajari :
- Speleogenesis.
- Speleo morfologi.
- Speleo sedimentologi.
- Speleo mikroklimatologi.
- Speleo hidrologi.
- Speleo meteorologi.
- Biospeleologi.
- Kegunaan dan pemanfaatan gua.
Pokoknya setiap kegiatan atau jenis penelitian di luar gua mempunyai kegiatan
atau penelitian sejenis di dalam gua.
Menurut Walter, 1984 :
• GEOGRAFI- SPELEOGEOGRAFI
• MORFOLOGI- SPELEOMORFOLOGI
• GEOLOGI- SPELEOGEOLOGI
• KARTOGRAFI- SPELEOKARTOGRAFI
• GEODESI- SPELEOGEODESI
• METEOROLOGI- SPELEOMETEOROLOGI
• KLIMATOLOGI- SPELE KLIMATOLOGI
• HIDROLOGI- SPELEOHIDROLOGI
• GLASIOLOGI- SPELEOGLASIOLOGI
• BIOLOGI- SPELEOBIOLOGI
• ZOOLOGI- SPELEOZOOLOGI
• BOTANI- SPELEOBOTANI
• MINERALOGI- SPELEOMINERALOGI
• KIMIA- SPELEOKIMIA
• FISIKA- SPELEOFISIKA
• GEODINAMIKA- SPELEOGEODINAMIKA
• PALEONTOLOGI- SPELEOPALEONTOLOGI
• TERAPI- SPELEOTERAPI
Semua unsur-unsur di dalam gua ini termasuk obyek studi ENDOKARST.

2
Sebagaimana setiap pakar ilmu mengenal superspesialisasi, maka Karstologi
maupun Speleologi juga mengenal superspesialisasi itu. Pada Karstologi dikenal
Micro Karst Forms, atau bentukan-bentukan kecil akibat erosi dan korosi, seperti
Rillen, Rinnen-Spits-Trit-Meander-Round Karren dlsb. Kamenitza, Grikes,
Runnels, Clints, Solution Cups, Solution Pits yang semuanya dianalisa.
Pada ilmu Speleologi dikenal banyak superspesialisasi, mulai dari
Speleokronologi; Paleomagnetisme sedimen gua untuk mengetahui arah aliran
sungai purba; penentuan umur air fosil di dalam zone phreatik dalam; Micro
Speleomorfologi seperti scallops, flutes dan penentuan kecepatan arah sungai
purba di dalam gua yang menimbulkan scallops dan flutes itu (a. l. oleh Rene
Curl, memakai Reynolds number dlsb), dengan ekuasi (perhitungan) matematis
jarak antara flutes dan scallops itu. Juga dikenal Speleoterapi sebagai
pengetahuan khusus. Speleofotogragi, cinematografi, hasil videonya bahkan
dipertandingkan secara internasional sekali setahun.
Fenomena ENDOKARSTIK memang sangat erat hubungannya dengan
fenomena EKSOKARSTIK dan tidak dapat disangkal, bahwa didapatkan
hubungan yang erat sekali antara permukaan bumi dan alam di bawah tanah.
Karenanya dikenal istilah “the surface-subsurface intimate connection and
interrelation”.
Pembagian ruang di atas gua, yaitu di permukaan tanah, menjadi disiplin khusus,
dan ruang di bawah tanah menjadi disiplin ilmu yang terpisah, hanyalah
merupakan ulah manusia. Juga adanya pengkotakkan ketat dalam pakar-pakar
ilmu, seolah-olah ilmu yang satu tidak ada hubungannya dengan ilmu yang lain.
Bahkan ahli disiplin ilmu tertentu akan merasa skeptis atau ironis, apabila ada
ilmuwan lainnya mempelajari bidang ilmunya, padahal pendidikan formalnya
berbeda.
Dalam Speleologi, SEMUA ilmu yang relevan bukan saja berkaitan, tetapi malah
saling mempengaruhi, jalin-menjalin dan saling menunjang. Itu sebabnya,
seseorang dengan pendidikan formal Arkeologi seperti Michel Siffre, juga dapat
menjadi seorang profesional dalam Speleologi, bahkan berhasil menerbitkan
buku-buku bermutu tinggi dalam bidang geologi dan biospeleologi.
Bidang Karstologi, yang di Indonesia belum berkembang, ternyata sudah maju
pesat di pelbagai negara. Hal ini sungguh disayangkan, karena Indonesia terdiri
dari banyak daerah karst. Dan semua daerah karst pada umumnya menghadapi
problema persediaan air minum dan air irigasi. Seperti misalnya di Pulau Sawu,
Sumba, Madura, Kabupaten Gunung Kidul, dlsb.
Dalam pada itu, kegiatan membuat bendungan di daerah karst (Wonogiri,
Pangkalan, dll) tidak terlepas dari studi pendahuluan yang spesialistis tentang

3
hidrogeologi karst, denudasi karst, klimatologi, dan di luar negeri, tentunya juga
ilmu speleologi ……..
Gua-gua perlu ditelusuri dan dipetakan, untuk mengetahui apakah tidak akan
terjadi KEBOCORAN air bendungan. Lorong-lorong gua demikian haruslah
dibuat kedap air. Bila hal ini lepas dari perhatian, maka air bendungan tidak akan
naik, bahkan akan dapat berkurang akibat bocor melalui rekahan-rekahan
batugamping dan gua-gua karst di sekitar bendungan itu. Di Spanyol ada
problematika itu dan telah disajikan makalah dalam Kongres Sedunia Union
Internationale de Speleologie.
Kini terjadi problematika pendangkalan bendungan di Wonogiri oleh proses
pelumpuran, yang katanya telah disurvai oleh tim ahli dari Jepang yang memberi
angka 100 tahun untuk kelangsungan pemanfaatan bendungan itu, tetapi kini
ternyata tinggal 30 tahun saja ! Dimanakah letak kesalahan perhitungan itu ?
Apakah dalam Analisa Dampak Lingkungan dan Studi Kelayakan, data-data
Karstologi itu sudah dikumpulkan dan dianalisa secara cermat ?
Juga data klimatologi (curah hujan, surface run-off), hidrogeologi kawasan
tersebut, dan data perihal kecepatan denudasi karst ?
Kami kira bahwa bila tidak diikutsertakan studi dalam bidang karstologi dan
speleologi di suatu proyek yang menangani kawasan karstik, hal ini sungguh
kurang bijaksana.
Sebagai contoh dapat dikemukakan, bahwa salah satu negara yang paling maju
dalam bidang karstologi ialah RRC, karena memang mempunyai kawasan karst
paling luas di dunia. Sayangnya, ternyata pada tahun 1981 hingga kini, Center of
Karst Studies dari RRC juga kurang memperhatikan Speleologi. Berbeda sekali
dengan Pusat-Pusat Karstologi terkenal di dunia seperti di Postojna-Yugoslavia,
di Austria, di Jerman di mana Herbert Lehman telah berhasil mendirikan School
of Karst Studies, di USA yaitu di Universitas Kentucky dan Indiana, di Pusat
Studi Karstologi Perancis, Czechoslovakia, Bulgaria dan Swiss, yang TANPA
KECUALI melibatkan Speleologi sebagai pakar ilmu yang tidak terpisahkan.
Juga di Inggris dan Italia.
Di Indonesia kami ingin mempromosikan karst sebagai obyek studi spesialistik
dan mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlampau lama dapat didirikan
pula Pusat Penelitian Karst Indonesia, setelah dipromosikan oleh suatu Ikatan
Karstologi Indonesia.
Bagi para ahli geologi, yang segan memasuki gua di Indonesia, sayangnya masih
didapatkan keyakinan, bahwa gua dapat diselidiki dari luar gua. Keseganan
memasuki gua karena takut dan mungkin kurang memahami manfaatnya, masih
menyelimuti banyak para ahli geologi di Indonesia. Karenanya untuk melacak

4
air, cukup diandalkan metode geofisika dan pelacakan air dengan agens-agens
tertentu, daripada menelusuri sungai di bawah tanah secara fisik.
Kiranya cukup jelas uraian kami, bahwa pelbagai aspek endokarstik itu tidak
dapat dipelajari, tidak dapat dikenal apalagi dipahami tanpa menelusuri gua.
Spesialisme SEDIMENTOLOGI gua dengan mengukur ukuran (diameter)
kerikil, yang dapat memberi data tentang bentuk sifon; menentukan umur gua
dengan memilih stalaktit mana yang akan digunakan untuk analisa radioisotopes;
mempelajari hubungan erat antara speleogenesis dan speleomorfologi dan
geomorfologi kawasan karst di atas permukaan tanah; kehidupan binatang di
dalam gua; kesemuanya itu tidak mungkin dapat dipelajari tanpa memasuki gua.
Apalagi untuk memonitori pencemaran lingkungan (antara lain dengan analisa
logam berat di dalam sedimen gua), meneliti potensi suatu gua untuk tujuan
pariwisata, menentukan arah aliran sungai purba dengan metode
paleomagnetisme sedimen gua, kesemuanya itu pun tidak dapat dilaksanakan
tanpa menelusuri gua secara fisik.
Nyata sudah, bahwa Speleologi ialah sains yang berbobot, bahkan setelah
meneliti literatur, banyak sekali ilmu dasar (basic sciences) yang menjadi obyek
studi speleologi dan diterbitkan dalam majalah-majalah CAVE SCIENCE atau
CAVE RESEARCH, yang diterbitkan oleh para ahli Speleologi, Hidrogeologi
Karst, Geomorfologi, Paleontologi, Arkeologi, Biospeleologi.
Gua Holloch adalah gua yang diteliti paling lama dan secara kontinu di dunia.
Penelitinya ialah ahli Geomorfologi Karst, Prof Bogli yang dalam dunia
Speleologi dikenal sebagai sesepuh kontemporer. Umurnya kini 79 tahun, tetapi
masih aktif keluar masuk gua. Di Gua Holloch ini ia telah mengalami kebanjiran
bersama 7 penelusur gua lainnya yang masih muda, selama 9 hari 9 malam.
Gua Holloch ketika itu ialah gua terpanjang. Tetapi kini menjadi gua terpanjang
ketiga, setelah Gua Mammoth dan Flint Ridge Systems dapat dipersatukan. Gua
Holloch kini panjangnya secara total 129 km sedangkan Gua Mammoth-Flint
sudah 450 km.
Di luar negeri tidak ada skeptisisme terhadap penelusur gua amatir. Bahkan
terjalin kerjasama saling menguntungkan antara penelusur gua amatir dan yang
profesional yang telah kami lihat sendiri di AS dan di Austria, yaitu di Pusat
Perhimpunan Speleologi Austria, di Wina tahun yang lalu. Seorang mahasiswa
yang katanya telah menemukan suatu imprint dari ikan yang diduga tapak fosil
dan melaporkannya pada kantor Pusat Perhimpunan itu kepada Dr Mais, ahli
geologi-speleologi, langsung mendapat pengarahan teknis soal paleontologi dan
secara spontan diserahi satu rol film untuk membuat slides disertai kursus kilat
cara membuat fotonya, teknik lightingnya, dlsb.

5
Itu sebabnya pula, mengapa di Wina terkumpul data dan peta dari 5000 gua dari
Austria yang sudah dimasukkan dalam mikrofilm. Di Perancis disimpan data dari
3500 gua dalam komputer, di AS sekitar 2500 gua. Di Indonesia kami baru
dalam taraf memulai memetakan beberapa gua oleh HIKESPI, sedangkan ahli
geologi-speleologi Inggris di Gunung Sewu dalam tahun 1982-1983 dengan
kerja sama resmi dengan Departemen Pekerjaan Umum dapat memetakan sekitar
270 gua hanya dalam jangka waktu 2,5 bulan.
Bahwasanya ilmu speleologi sangat relevan untuk diketahui oleh para penelusur
gua ialah misalnya soal bahaya banjir di dalam gua. Para penelusur seyogyanya
memahami dulu peta curah hujan daerah karst yang mereka kunjungi. Mereka
harus dapat mencatat intensitas hujan sehari atau beberapa hari sebelum mereka
memasuki gua. Kemudian harus meneliti dulu setiap sungai karst yang
autochthonous maupun yang allochthonous. Debitnya, perubahan debitnya,
kekeruhannya, harus diteliti apakah sungai yang keluar dari gua itu suatu sungai
REsurgence atau suatu EXsurgence.
Ada manfaatnya apabila mereka tahu prinsip watertracing menggunakan :
- Dyestuff yang harus biodegradable, non-toxic, murah, non-polutan, efisien
(dapat ditrasir dalam derajat pengenceran sampai 1 : 106). Hingga kini
digunakan bahan kimia zatwarna golongan Rhodamin, Pyranin, Fluorescine.
Tidak cukup dengan hanya melarutkan dan menghanyutkannya, tetapi
diaksentuasi dengan mendeterminasinya memakai activated charcoal, atau
dikombinasi dengan :
- Spora lycopodium, sehingga dua atau lebih swallow holes atau sinking streams
dapat diwarnai berbeda warna, untuk kemudian diteliti kemana mengalirnya.
- Secara bakteriologis, kimiawi, kimia fisik dan radioisotopes dapat pula dilacak
mengalirnya sungai di bawah tanah.
Di luar negeri, kini jauh lebih disukai metode pemakaian zatwarna yang tidak
berwarna, yaitu optical brighteners yang biasa digunakan pada pelbagai merk
detergen (Leucophor, Blankophor, dll). Zat ini bersifat memutihkan bahan
pakaian. Mempunyai afinitas luar biasa terhadap serat kapas atau selulosa, tidak
berwarna pada cahaya terang siang hari, tetapi dapat dipastikan keberadaannya
dengan menyinarinya dengan cahaya ultraviolet. Ia akan berfluoresensi kebiru-
biruan. Bahan ini non-toxic, non-carcinogenetic, biodegradable dan di luar
negeri murah harganya. Juga dipakai pada industri kertas untuk lebih
memutihkan kertas.
Bila ditangkap dalam air oleh serat-serat kapas, maka pengenceran 1 : 106 dapat
dengan jelas terlihat bila memakai sinar ultraviolet.
Yang juga disenangi ialah penggunaan floodpulse. Teknik denyut banjir ini,
karena tidak menggunakan agens-agens kimiawi, tetapi hanya meniru efek dari
banjir oleh hujan lebat, amat digemari oleh mereka yang mendambakan

6
konservasi lingkungan. Dengan membendung air di mulut gua sebelum mengalir
ke dalamnya dengan cara membuat bendungan, kemudian bendungan itu bila
sudah penuh mendadak dibuka, maka karakteristik fisik dan kurva debit air pada
saat sungai itu keluar dari gua, dapat memberi data yang cukup komprehensif
tentang gua itu. Puncak-puncak maksimal jumlah air yang mengalir keluar dapat
memberi keterangan tentang perkiraan jumlah percabangan yang ada di dalam
gua itu.
Namun metode-metode di atas bagi penelusur gua hanyalah merupakan data
pembantu, bukan substitut dari kegiatan menelusuri gua.
Menelusuri gua akan jauh lebih lengkap untuk mengungkapkan sistem sifon-
sifon yang ada di dalam gua.
Namun metode di atas mempunyai nilai tambah edukatif bagi penelusur gua,
bahwa gua memang merupakan lintasan dan dibentuk oleh aliran sungai di
bawah tanah.
Karenanya kami usulkan secara pribadi, bahwa daripada mengikuti definisi IUS
mengenai gua, yang membatasinya menurut ukuran besarnya manusia, sebaiknya
untuk gua batugamping dipakai definisi :
GUA ialah lintasan suatu sungai di bawah tanah yang masih mengalirinya secara
aktif atau pernah mengalirinya.
Hal ini perlu diresapi, karena hampir semua fenomena di bawah tanah, mulai dari
speleogenesis sampai sedimentasi dan morfologi gua, dapat diuraikan oleh
pengertian di atas. Hubungan antara gua dan aliran sungai memang tidak dapat
dipisahkan, karena sungai merupakan faktor pembentuk dan faktor pemodifikasi
lorong-lorong gua.
Apa perbedaan esensial antara sungai di atas permukaan tanah dan sungai yang
mengaliri gua ?
Perbedaan nyata ialah, bahwa sungai di atas tanah itu mengalamai pelbagai
pengaruh luar yang tidak dapat dihindarkan, seperti iklim, dan lintasannya tidak
dapat direkam secara baik oleh proses pelapukan (weathering), erosi, dll.
Sedangkan di dalam gua kita hadapi suatu sungai yang beratap, beriklim hampir
konstan sepanjang tahun, dengan hasil erosi dan lintasan-lintasan fosil yang
terekam dengan baik.
Sedimen di dalam gua, merupakan data historis dari pedologi, proses denudasi,
kesuburan, vegetasi dan iklim masa lampau di luar gua. Semuanya terekam
karena tidak mengalami pelapukan dan erosi hebat oleh faktor-faktor ekstern.
Perbedaan dengan sungai permukaan ialah adanya pembatasan ruangan
alirannya. Sungai permukaan dapat dengan leluasa, di dataran aluvial berkelak-
kelok membentuk meander secara relatif cepat, namun sifat meanderingnya

7
sungai di dalam gua karst akan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama,
dengan melibatkan proses korosi disamping erosi (korasi). Juga akan terjadi
oxbow, bahkan juga dikenal apa yang dinamakan pembajakan aliran sungai
(river pirating), bahkan dalam gua batugamping pembajakan itu sering
berlangsung pada level, tingkat yang berbeda. Sungai di dalam gua sering
menghilang ke dalam lubang pada dasar atau lantai lorong gua, untuk muncul
kembali pada lintasan lain yang terdapat di bawah lintasan semula. Dapat
terbentuk air terjun karenanya.
Pengaruh membanjirnya lorong gua juga merupakan proses yang sangat berbeda
dengan sungai permukaan. Sering debit dapat membengkak hingga 10 – 20 kali.
Lorong bisa penuh sampai ke atap hal mana bisa dibuktikan dengan adanya
ranting, batu-batuan, dlsb pada atap gua.
Lorong yang pernah dialiri dan kini ditinggalkan oleh sungai di dalam gua dapat
terisi kembali oleh air pada saat banjir.
Seirama dengan adanya floodpulse yang puncaknya bisa majemuk, banjir di
dalam gua juga dapat terjadi berulangkali.
Adanya sifon-sifon juga mempengaruhi sifatnya banjir. Sifon relatif (tidak
terendam pada musim kemarau) dan sifat sifon absolut (pada musim kemarau
pun terisi air sampai ke atapnya) berbeda sekali. Juga bentuknya sifon akan
memberi pengaruh, demikian pula panjangnya sifon, terhadap bentuk sedimen,
terutama kerikil yang melintasinya.
Sifon hanya dapat ditelusuri oleh penyelam gua, yang membutuhkan pendidikan
dan tingkat keterampilan yang amat berbeda dengan penyelam laut atau danau.
Ada pula beda yang nyata dengan lintasan air di permukaan tanah, karena cave
breakdown, runtuhnya dinding dan atap gua, dapat memodifikasi bentuk dan
sifat aliran sungai di dalam gua.
Bahkan bentuk gua sejak pertama dibentuk, yaitu pada zone phreatik, akan
mempengaruhi sifat lintasan sungai di dalam gua itu. Salah satu tanda phreatisme
lorong gua ialah adanya lantai yang turun naik tidak beraturan. Sungai gua yang
mengalirinya kemudian, yang dikenal dengan aliran vadose, dan tunduk pada
kaidah gaya berat bumi, terpaksa baru dapat mengaliri lorong itu apabila oleh
proses korosi sudah terbuka alur baginya, menembus lorong-lorong yang
mendaki di depannya. Locus minoris resitententiae dalam bentuk joint/diaclase
atau rekahan bedding plane di lantai lorong mendaki itu, menjadi lokasi dini,
yang akan berevolusi menjadi canyon atau siphon.
Hanyutnya sedimen halus dan kasar mengikuti sungai dari luar, atau masuk ke
dalam lorong pada waktu hujan melalui rekahan-rekahan pada dasar doline
misalnya, akan menambah daya erosif sungai di dalam gua. Namun, walaupun
sungai sudah berupa vadose, tetap ada pengaruh korosi pada pembentukan gua
itu. Apalagi kalau ditambah adanya ion magnesium oleh dolomit misalnya.

8
Berkat efek yang dikenal sebagai “common ion effect” yaitu dari sistem CaCO3
dan MgCO3, atau “ionic strength effect” oleh adanya larutan elektrolit lainnya,
bisa terjadi penghambatan atau peningkatan daya korosifnya air di dalam gua.
Kiranya banyak segi dari morfologi di bawah tanah dapat diterangkan oleh daya
korosif dan korasif (erosif) air yang terdapat di dalamnya, ditambah lagi dengan
sifat kedap airnya sedimen-sdimen halus seperti lumpur residu (residual clay),.
Dengan demikian nyata sudah, bahwa gua ialah suatu lingkungan yang dinamis.
Senantiasa melebar atau memanjang, karena proses erosi dan korosi sungai dan
air yang merembesi atap dan dinding gua menyempit oleh proses sedimentasi;
berubah bentuk oleh proses peruntuhan (incasion) lorong gua. Bahkan terbukti
bahwa beberapa jenis bakteri pun dapat mempengaruhi morfologi di bawah tanah
karena dapat menjadi sebab pelapukan batugamping sehingga dapat
memudahkan terjadinya proses runtuhnya lorong gua dan terbentuk sedimen
yang khas, yang dikenal sebagai Moonmilk.
Pengetahuan tentang eksokarst bisa vital bagi survival suatu tim penelusur gua.
Pengertian akan kawasan tadah hujan (rainwater catchment area), kemiringan
tebing batugamping, vegetasi di atas gua, intensitas hujan, lamanya hujan,
porositas lapisan-lapisan batugamping sekitar gua, kejenuhan akan air dari
lapisan-lapisan itu, adalah penting untuk diketahui.
Misalnya saja pada musim kemarau, lapisan-lapisan batugamping di zone aerasi
dan zone fluktuasi itu kering celah-celahnya. Sehingga bila hujan pertama dari
musim hujan tiba, seluruh kawasan tadah hujan itu dapat menyerap air, tanpa
membanjiri gua. Baru kalau seluruh celah-celah itu jenuh akan air hujan, bisa
timbuk aneka pengaruh pada saat hujan jatuh. Vegetasi dengan sistem perakaran
dan dedaunan, juga memegang peranan penting, karena sebagian besar dari hujan
akan dapat diresap kembali untuk dilepaskan ke udara melalui sistem
evapotranspirasi. Namun yang penting adalah bagaimana sifat penutup lantai
kawasan karst itu (groundcover). Nyata bahwa semak belukar mempunyai efek
yang sangat penting, karena secara langsung akan menghindarkan air hujan
mengerosi dan menyebabkan denudasi karst. Derajat kelandaian perbukitan juga
penting, karena bisa menyebabkan surface run-off yang lebih cepat atau lebih
lambat.
Air ini (surface run-off water) biasanya akan terkumpul dalam doline atau
lembah, dan memasuki celah ke dalam lorong gua di bawahnya.
Luas areal tadah hujan juga mempengaruhi timbulnya banjir. Kawasan tadah
hujan yang luas, akan mengumpulkan air ke dalam gua secara lebih kontinu dan
mungkin lebih banyak, tetapi dengan cara yang tidak mendadak. Dalam hai ini,
sungai-sungai permukaan yang memasuki gua (inflow rivers) yang lebih dari
satu, akan menyebabkan timbulnya intensitas banjir secara tidak serempak, tetapi
dapat berkepanjangan, dengan puncak-puncak penambahan debit pada waktu
yang berbeda-beda. Lain halnya bila kawasan tadah hujannya memang terbatas.

9
Dalam hal ini, curah hujan yang deras dapat menimbulkan peningkatan debit
yang mendadak dan sangat berlipat ganda. Banjir akan tiba hanya dalam waktu
lima menit misalnya, tetapi akan lenyap setelah 20 menit. Pada kawasan tadah
hujan yang luas, puncak banjir (yang kadang-kadang berpuncak banyak) baru
dapat tercapai pada intensitas hujan yang sama, setelah satu jam misalnya, dan
baru mereda (bila hujan berhenti) setelah satu hari.
Intensitas hujan juga punya banyak pengaruh pada banjir di dalam gua. Makin
deras, sehingga melebihi kapasitas porositas atau daya tampung celah-celah
batugamping, makin besar bahaya banjirnya. Waktu hujan yang lama, tidak
begitu mempengaruhi debit air seperti intensitas hujan lebat yang datangnya
mendadak.
Pengetahuan akan biota gua juga dapat merupakan soal mati hidupnya penelusur
gua. Kompetisi dengan jutaan atau ratusan ribu kelelawar akan pemanfaatan zat
asam di dalam gua; dihasilkannya jumlah eksesif gas asam arang oleh
metabolisme jutaan atau ratusan ribu kelelawar di suatu lingkungan yang sudah
tinggi kadar CO2-nya oleh karena inheren dengan lingkungan di bawah tanah
batugamping, akan menjadi penyebab timbulnya hypoxemia, gejala
hiperventilasi, halusinasi, dan tanda-tanda keracunan CO2 lainnya. Belum lagi
tambahan gas CO2 oleh tumpukan guano yang mengalami proses fermentasi.
Atau penambahan CO2, bahkan gas metan, oleh proses pembusukan bahan-bahan
organik yang terhanyut ke dalam gua. Kiranya faktor-faktor di atas perlu
dipertimbangkan masak-masak, agar dapat ditentukan strategi, kapan dapat
memasuki gua dan kapan harus keluar dari gua.
Pengaruh gempa bumi juga perlu dipelajari. Pada umumnya dianut teori, bahwa
besarnya gempa bumi tidak dapat menjadi alasan mengapa gua dapat runtuh.
Bukankah seluruh sistem perguaan dalam batugamping itu bergerak en masse,
dan tidak terpisah-pisah ? Dengan demikian menurut teori itu, gua sedikit sekali
dipengaruhi oleh gempa bumi. Namun menurut kenyataan kami sering melihat
perubahan bentuk lorong gua oleh adanya breakdown (incasion) di beberapa gua
selatan Sukabumi, dimana salah seorang penghuni kawasan itu yang sering
menelusuri gua, dapat memberi kesaksian, bahwa runtuhan itu terjadi setelah
kawasan itu digoncangkan oleh gempa bumi.
Kini akan dibicarakan studi komparatif dari EKSO dan ENDOKARST
Morfologi. Di Eropa, studi ini sudah dilaksanakan sekitar 50 tahun yang lalu,
sedangkan di AS baru dikerjakan satu dekade yang lalu.

10
KORELASI ANTARA SPELEOGENESIS – SPELEO / ENDOKARST
MORFOLOGI DAN MORFOGENESIS EKSOKARST
Observasi dari gua Mammoth dan Crystal Cave dengan Green River di
Kentucky:
Major Cave levels in crystal cave have been determined by pauses in the valley
entrenchment when the Green River lay at or near its base level for lengthy
periods of time, and that variation on geology, structure, stratigraphy, and
climate have had little influence of such levels.
Karenanya korelasi dari speleogenesis dan sejarah erosi-deposisi dari Green
River itu, terungkap.
Pengikisan Green River yang berlangsung lamban, ada korelasinya dengan
bentuk canyon yang lebar pada lorong gua itu. Didapatkannya lumpur merah
(red-clay rich fill) di lorong-lorong itu diduga ada hubungannya dengan sedimen
tabal pada elevasi yang sama di teras sungai itu.
Pengikisan yang berlangsung cepat dan dalam (deep and rapid stream
entrenchment), ada korelasinya pada elevasi yang sama dengan canyon yang
sempit dan dalam, di lorong lain dari gua itu.

11
Di dalam gua kadang-kadang ditemukan lorong-lorong bertingkat tiga atau lebih,
misalnya di gua Mammoth itu pada ketinggian 500, 520 dan 550 kaki, yang
nyata korelasinya dengan teras-teras Green River itu pada ketinggian yang sama.
Ketiga tingkat itu sesuai dengan proses base leveling Green River, walaupun
teras-teras pada lembah Green River itu kini tidak begitu nyata lagi akibat
pengaruh erosi.
Dasar dari canyon-canyon yang ditemukan dalam gua, menunjukkan arah
kemiringan yang jelas menuju dasar lembah, ke sungai permukaan, yang
mengikis lembah di luar gua itu.
Backflooding dari Green River menyababkan lorong-lorong gua itu banjir, sering
ke lorong-lorong fosil di atasnya, sehingga cenderung memperkecil diameter
lorong-lorong tertentu dari gua itu oleh pengendapan lumpur, daripada proses
pembesaran lorong.
Pengikisan sungai permukaan (entrenchment) tidak senantiasa diikuti oleh
pembentukan canyon-canyon di dalam lorong gua yang dialiri sungai. Sungai di
dalam gua dapat juga mengalir, melalui rekahan-rekahan (joints) yang telah
melebar, sehingga terjadi air terjun di dalam gua, yang dilanjutkan dengan sungai
yang mengalir keluar menuju sungai permukaan itu, pada elevasi yang sesuai.
Dalam hal demikian lorong lama tidak dialiri sungai lagi dan ditinggalkan
sebagai lorong fosil. Proses ini dapat diidentikkan dengan stream pirating dari
sungai permukaan, tetapi mengikuti rekahan vertikal (dalam arti kata vertikal).

12
Lorong fosil ini kadang-kadang masih dapat terisi air / dialiri kali, pada saat gua
banjir dan celah / lorong vertikal tidak dapat mengakomodasi air yang berlimpah
itu. Keluarnya air dari mulut gua yang lokasinya di atas, menyebabkan
penggunaan istilah “flood overflow spring”.
Karstologi dan Speleologi hendaknya di Indonesia dikembangkan ke arah
praktis, menuju ke arah pemecahan persoalan yang praktis.
Pertama-tama perlu dipecahkan persoalan penyediaan air minum dan air irigasi
untuk kawasan karst. Sudah menjadi kenyataan, bahwa air adalah kebutuhan
vital disamping udara. Di kawasan karst, kebutuhan akan air ini berlipat ganda di
musim kemarau.
Di kabupaten Gunung Kidul, orang-orang berjalan kaki sampai 3 kilometer lebih
untuk mengumpulkan air ke dalam kaleng-kaleng bekas minyak tanah dengan
menciduknya pakai batok kelapa, dari gua, yaitu air perkolasi yang tertampung
dalam empang-empang di dalam gua.
Sudah menjadi kenyataan pula, bahwa di kawasan karst senantiasa terjadi
problema kelebihan penduduk di sekitar lokasi sumber-sumber air. Itu sebabnya,
maka di Yunani, Syria, Turki, Jamaika, dibentuk komisi-komisi internasional
untuk menangani Karst Water Problems ini dan di Ankara diadakan Simposium
Internasional mengenai Problematika Air Karst ini, pada bulan Juli mendatang.

13
Derap pembangunan di Indonesia sering menimbulkan konfilk kepentingan. Hal
ini nyata terlihat pada keinginan pemerintah daerah memajukan ekonomi
daerahnya dengan mendirikan pabrik semen, atau kebijakan menggampingi
lahan-lahan pertanian, dengan mengorbankan kawasan-kawasan batugamping.
Persoalan kini timbul di kawasan batugamping Serayu Selatan (sebelah selatan
kota Gombong) yang dikenal dengan formasi batugamping Buayan-
Karangbolong. Minat pendirian pabrik semen di kawasan itu sangat kami
tentang, karena seluruh areal batugamping itu merupakan kawasan tadah hujan
yang penting. Oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung
bahkan telah dikirimkan tim yang mengungkapkan fakta, bahwa seluruh
perbukitan batugamping di tempat itu merupakan “tangki air minum raksasa”.
Mengingat sifat sumber-sumber air karst di kawasan itu lokasinya jauh di atas
dataran aluvial (berbeda dengan di Kawasan Karst Gunung Sewu, yang airnya
berada sekitar 100 meter lebih di bawah permukaan tanah dan secara mubazir
keluar di Pantai Baron), maka sumber-sumber air itu secara efisien dapat
mengaliri sawah-sawah di sekitarnya (bahkan pada musim hujan
membanjirinya). Tidak adanya sumber air alternatif lainnya menyebabkan kami
berkesimpulan bahwa kawasan ini tidak boleh dirusak untuk pabrik semen. Hal
ini telah didiskusipanelkan di Karanganyar dan disimposiumkan di Semarang,
pada tahun 1984.
Mengingat Cilacap sebagai kota industri dan kota pelabuhan, yang notabene
lokasinya hanya 5 km sebelah barat “tangki air raksasa alamiah” ini, maka kami
mempromosikan, agar kawasan ini dimanfaatkan untuk airnya, suatu sumber
daya alam penting, bermanfaat, bahkan VITAL bagi kehidupan dan lingkungan
hidup, dan tidak akan habis-habisnya oleh usaha pemanfaatan itu dan tidak akan
mengakibatkan perusakan lingkungan atau pengaruh negatif terhadapnya.
Usaha mempopulerkan penelusuran gua oleh kelompok tertentu atas dasar
avonturisme belaka, apalagi memakai dalih “ilmu pengetahuan” amat kami
sesalkan, karena tanpa didasari ETIKA dan MORAL yang baik, tanpa didasari
PENGETAHUAN SPELEOLOGI dan KARSTOLOGI, terutama tentang
konservasinya, maka publikasi berlebihan tentang gua-gua di Indonesia akan
membantu mempercepat perusakan gua-gua yang kita miliki. Polusi dan
vandalisme adalah akibat yang cepat akan tampak. Belum lagi migrasi kelelawar
yang akan terganggu, padahal kelelawar adalah makhluk bermanfaat yang perlu
dilindungi, karena peranan sebagai pembasmi hama (antara lain wereng) dan
penyerbuk pelbagai pohon buah merupakan fakta yang tidak dapat lagi
dipungkiri.
Karenanya kami sekali lagi menghimbau, agar SPELEOLOGI dan
KARSTOLOGI di Indonesia dapat memperoleh tempat terhormat dalam dunia
ilmu pengetahuan teori maupun terapan.
Semoga!!

14
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Beck B. F. – Proceedings of the eight International Congress of Speleology,
Vol. I, 1982.
2. Bogli A. – Karst Hydrology and Physical Speleology, Springer Verlag,
1980.
3. Glover R. R. – International Seminar on Karst Denudation, 1982 : Optical
Brighteners, a new water tracing reagent.
4. Ko, R. K. T. – Hydrological and Speleological differences between the
Gunung Sewu and South Gombong Tropical Karst.
International Symposium on Karst water resources
(Ankara, 1985).
5. Ko, R. K. T. – Peranan Ilmu Speleologi dalam penyelidikan fenomena
Karstik dan Konservasi sumber daya tanah dan air
(Ceramah di Pusat Penelitian Tanah, Bogor, 1984).
6. Mais, K. et al – Akten Internationalen Symposium zum Geschichte der
Hohlen Forschung, Wien, 1979.
7. Miotke F. D. & Palmer A. N. – Genetic Relationship between Caves and
Landforms in the Mammoth Cave
National Park Area.
8. Siffre M. – Les Animaux des Gouffres et des Cavernes, 1979.
9. Siffre M. – Grottes, Gouffres et Abimes, 1981.
10. Sweeting M. M. – Karst Landforms, Columbia University Press, New York,
1980.
Ditulis oleh dr.R.K.T.Ko

Selengkapnya...

Kebersamaan sungguh sangat terasa indah......
aku mengenal kawan 2 legua dengan berbagai macam karakter
dan aku akan tetap terus mencoba memahami mereka....

legua nian

legua nian

light

light
Powered By Blogger

Pilar Bumi

Pilar Bumi

Stalagmit

Stalagmit

interior goa

interior goa
allah menciptakan keindahan dalam kegelapan abadi.

Followers

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by Legua Caving & Speleologi