Sebagai lingkungan yang asing bagi manusia, gua tentu saja menyimpan berbagai potensi bahaya yang harus diwaspadai oleh siapa saja yang hendak menelusurinya, tak terkecuali oleh mereka yang paling berpengalaman sekalipun. Berbagai faktor bahaya yang sering dikemukakan dalam berbagai teori kegiatan alam bebas selalu ber-unsur pada 2 hal yang secara umum dikenal sebagai Objektif Danger (bahaya yang berasal dari lokasi kegiatan) dan Subyektif Danger (bahaya yang berasal dari diri sendiri). Kenyataan dilapangan membuktikan bahwa potensi bahaya yang berasal dari diri sendiri memiliki perbandingan lebih besar terjadi daripada potensi bahaya yang berasal dari gua sebagai lokasi kegiatan, namun tidak berarti kita boleh memandang remeh potensi bahaya yang di miliki oleh sebuah gua, dalam kegelapan dan kesunyiannya…sebuah gua bisa saja menyimpan sesuatu yang mematikan tanpa kita sadari.
Teknik Penelusuran Wajib Di Miliki & Di Kuasai
Sebagai antisipasi terhadap potensi bahaya yang bisa muncul dari diri sendiri, seseorang yang berniat ingin menelusuri gua hendaknya membekali diri dengan pengetahuan teknik penelusuran gua, baik teknik penelusuran gua horizontal maupun vertikal.
Untuk sekedar bisa memasuki gua dengan aman dan nyaman (tanpa ada misi tertentu seperti pemetaan gua, memotret, membuat film, tindakan penyelamatan, dsb), seorang calon penelusur gua diharapkan menguasai ketrampilan gerak seperti berjalan biasa (walking), berjalan membungkuk (bear walking), merangkak (crawling), merayap (creeping), merayap melewati bongkah besar dilorong sempit (squezing) dan berjalan jongkok (ducking), kelihatannya sepele…namun jangan salah, jika kita tidak biasa melakukannya (atau setidaknya tidak biasa melatih kelenturan otot-otot tubuh kita) dijamin akan merupakan siksaan tersendiri selama melakukan “aktivitas-aktivitas biasa” tersebut di dalam gua, bahkan ketika kita harus melakukannya dalam durasi yang cukup lama, seperti ketika kita harus merangkak atau merayap atau jalan jongkok sejauh 2 kilometer dalam kondisi lorong berlumpur.
Kondisi lorong gua yang bervariasi juga menuntut kita untuk menguasai berbagai gerakan dasar pemanjatan tebing, seperti berjalan diantara celah yang dalam (bridging dan chimneying), juga teknik-teknik pegangan seperti laybacking, undercuting, jamming, mantleselfing hingga kemampuan rock climbing dalam arti sebenarnya.
Ketika gua yang akan ditelusuri berupa lorong-lorong vertikal, ketrampilan SRT (single rope technique) dan simpul harus dilatih sedemikian rupa, hingga semua ketrampilan tersebut menjadi kebiasaan dan gerak reflek kita akan terbentuk serta terarah dengan benar. Dalam kondisi panik dan tertekan, seorang penelusur gua yang sedang bergantung pada seutas tali, tanpa memiliki pengendalian emosi yang baik dan gerak reflek yang terarah dengan benar, sering berbuat sesuatu yang konyol sehingga berakibat buruk bagi keselamatan yang bersangkutan.
Bahkan seorang yang memiliki tingkat mahir sekalipun, sebaiknya melakukan refresing teknik SRT setidaknya sehari atau dua hari sebelum kegiatan penelusuran dilakukan.
Waspada Pada Lorong Berair
Dalam kondisi tertentu, tak jarang seorang penelusur gua menemukan lorong berair berupa kolam-kolam yang tak jelas berapa dalamnya, bahkan sungai-sungai bawah permukaan baik yang berarus tenang maupun berarus liar. Tentu saja kemampuan berenang menjadi kebutuhan vital dalam kasus ini. Jika kita biasanya berenang menggunakan pakaian renang, dalam penelusuran gua berenang akan berubah menjadi sebuah aktivitas yang cukup memakan energi, perangkat keamanan yang kita kenakan seperti sepatu boot, coverall (pakaian penelusuran yang mirip seragam mekanik/wearpack), helm serta alat penerangan tentu saja akan membuat kita sedikit kerepotan. Mengenakan pelampung yang baik dan layak akan menjadi solusi terbaik meskipun kita memiliki kemampuan berenang bagus, bentukan lorong yang sempit dengan atap rendah terkadang membatasi gerakan kita, juga barang-barang yang kita bawa seperti tas (tacklebag) yang berisi logistik maupun box perlengkapan pemetaan atau peralatan fotografi.
Scouting, istilah yang dikenal dalam kegiatan arung jeram ketika membaca arus utama sungai, merupakan salah satu kemampuan yang sebaiknya dimiliki oleh penelusur gua ketika hendak menelusuri sungai bawah tanah yang berarus kuat. Bentukan dinding sungai di dalam gua tidak berbeda jauh dengan sungai di permukaan, istilah undercut yang memiliki arus hidrolik akan banyak ditemui oleh penelusur gua, belum lagi jika ditambah dengan bebatuan runcing yang menjadi ciri khas batugamping ketika tergerus oleh arus sungai. Perahu atau kayak yang sering kita pakai, sebaiknya dikendalikan oleh skipper terlatih jika tidak ingin terkoyak oleh bebatuan runcing tersebut, selain itu stalaktit yang menggantung di atap gua, terkadang menjadi ancaman tersendiri ketika ujung-ujungnya yang tajam menjuntai hingga menyentuh permukaan air.
Banjir, Monster Menakutkan Di Lorong Bawah Tanah
Musim hujan biasanya membuat penelusur gua kebanyakan memilih “gantung coverall” daripada melakukan aktivitas caving. Logikanya sederhana, gua yang semula berfungsi sebagai zona larian air dari permukaan menuju bawah permukaan, akan kembali menjadi fungsinya semula selama musim hujan berlangsung, terutama gua-gua yang memiliki entrance di dasar-dasar lembah. Seberapa besar banjir didalam gua sebenarnya dapat di monitor dari berapa luas daerah tangkapan air hujan dilokasi entrance berada, juga dengan melihat jejak-jejak banjir di dalam gua, biasanya berupa sampah atau ranting-ranting yang menempel di dinding hingga atap gua.
Seorang penelusur, (jika terpaksa caving di musim hujan) sebaiknya melakukan orientasi detail terhadap hal tersebut diatas, juga harus mampu menentukan tempat-tempat yang dirasa aman ketika banjir sewaktu-waktu datang menerjang. Persiapan logistik darurat mesti diperhitungkan, karena kadang ketika banjir datang dan kita terjebak di “tempat aman” bisa jadi akan memakan waktu berhari-hari hingga air kembali normal. Kepekaan intuisi seorang penelusur bisa jadi akan menyelamatkan seluruh anggota tim, seperti mengenali tanda-tanda ketika banjir datang, air yang mulai berubah menjadi lebih keruh, bau lumpur pekat yang menyengat, hingga suara gemuruh yang menciutkan nyali. Namun, terkadang intuisi kita tak mampu memberikan sinyal apa-apa ketika banjir mengancam, hingga semuanya serba terlambat dan kita hanya bisa menyerah pada nasib dan keberuntungan semata.
Batu-Batu Pun Bisa Runtuh
Dinding dan atap gua tersusun atas batuan gamping yang memiliki sifat britle, keras tapi mudah patah, sehingga memiliki pola-pola retakan sedemikian rupa yang tidak semua dari kita menyadarinya. Sebagai bagian dari batuan sedimen, batugamping ada yang bersifat masif (pejal) dan ada yang memiliki bidang-bidang perlapisan, yang membuatnya seperti kue lapis. Ada batugamping yang berlapis tipis-tipis dan sejajar atau dikenal dengan laminasi, tapi ada juga yang berlapis tebal-tebal membentuk bedding. Batuan sedimen penyusun gua ini tidak begitu saja terendapkan tanpa gangguan apapun, Pada daerah yang memiliki banyak struktur geologi, tentunya akan memiliki susunan batugamping yang porak-poranda, misalkan saja pada daerah-daerah yang terpotong oleh sesar.
Kembali pada kedetailan orientasi seorang penelusur, gua yang terletak pada daerah yang memiliki sesar, seorang penelusur akan banyak melihat reruntuhan bebatuan dan banyak diantara boulder atau bongkah batu justru masih tergantung diatap-atap gua atau dinding gua., biasanya bebatuan yang siap jatuh tersebut hanya terganjal oleh bebatuan lain yang lebih kecil, bahkan hanya terganjal oleh lumpur. Kondisi seperti ini juga dimungkinkan ketika gua terbentuk oleh proses runtuhan (collapse doline) dan proses pelarutan (solutional doline)
Jatuhnya bebatuan yang menggantung diatap atau di dinding gua tersebut, bisa dipicu oleh getaran yang cukup besar, seperti gempa, atau bahkan hanya oleh gema suara penelusur yang terlalu berisik.
JANGAN PERNAH MELEPASKAN HELM yang kita kenakan akan menjadi pilihan bijak ketika kita berada dalam gua, jika kita terpaksa akan membuka helm untuk keperluan tertentu, carilah tempat yang benar-benar dirasa aman dari potensi runtuhan.
Dalam beberapa kasus, seorang penelusur yang memegang disiplin tetap menggunakan helm penelusuran, ketika sebuah batu menimpanya, beberapa ada yang selamat tanpa luka sedikitpun, dan beberapa ada yang mengalami luka serius, karena tulang leher dan tulang punggungnya mengalami dislokasi atau patah, karena memang tulang kita tidak didesain untuk menerima beban kejut yang besar dari sebuah batu yang berat.
AB Rodhial Falah
Teknik Penelusuran Wajib Di Miliki & Di Kuasai
Sebagai antisipasi terhadap potensi bahaya yang bisa muncul dari diri sendiri, seseorang yang berniat ingin menelusuri gua hendaknya membekali diri dengan pengetahuan teknik penelusuran gua, baik teknik penelusuran gua horizontal maupun vertikal.
Untuk sekedar bisa memasuki gua dengan aman dan nyaman (tanpa ada misi tertentu seperti pemetaan gua, memotret, membuat film, tindakan penyelamatan, dsb), seorang calon penelusur gua diharapkan menguasai ketrampilan gerak seperti berjalan biasa (walking), berjalan membungkuk (bear walking), merangkak (crawling), merayap (creeping), merayap melewati bongkah besar dilorong sempit (squezing) dan berjalan jongkok (ducking), kelihatannya sepele…namun jangan salah, jika kita tidak biasa melakukannya (atau setidaknya tidak biasa melatih kelenturan otot-otot tubuh kita) dijamin akan merupakan siksaan tersendiri selama melakukan “aktivitas-aktivitas biasa” tersebut di dalam gua, bahkan ketika kita harus melakukannya dalam durasi yang cukup lama, seperti ketika kita harus merangkak atau merayap atau jalan jongkok sejauh 2 kilometer dalam kondisi lorong berlumpur.
Kondisi lorong gua yang bervariasi juga menuntut kita untuk menguasai berbagai gerakan dasar pemanjatan tebing, seperti berjalan diantara celah yang dalam (bridging dan chimneying), juga teknik-teknik pegangan seperti laybacking, undercuting, jamming, mantleselfing hingga kemampuan rock climbing dalam arti sebenarnya.
Ketika gua yang akan ditelusuri berupa lorong-lorong vertikal, ketrampilan SRT (single rope technique) dan simpul harus dilatih sedemikian rupa, hingga semua ketrampilan tersebut menjadi kebiasaan dan gerak reflek kita akan terbentuk serta terarah dengan benar. Dalam kondisi panik dan tertekan, seorang penelusur gua yang sedang bergantung pada seutas tali, tanpa memiliki pengendalian emosi yang baik dan gerak reflek yang terarah dengan benar, sering berbuat sesuatu yang konyol sehingga berakibat buruk bagi keselamatan yang bersangkutan.
Bahkan seorang yang memiliki tingkat mahir sekalipun, sebaiknya melakukan refresing teknik SRT setidaknya sehari atau dua hari sebelum kegiatan penelusuran dilakukan.
Waspada Pada Lorong Berair
Dalam kondisi tertentu, tak jarang seorang penelusur gua menemukan lorong berair berupa kolam-kolam yang tak jelas berapa dalamnya, bahkan sungai-sungai bawah permukaan baik yang berarus tenang maupun berarus liar. Tentu saja kemampuan berenang menjadi kebutuhan vital dalam kasus ini. Jika kita biasanya berenang menggunakan pakaian renang, dalam penelusuran gua berenang akan berubah menjadi sebuah aktivitas yang cukup memakan energi, perangkat keamanan yang kita kenakan seperti sepatu boot, coverall (pakaian penelusuran yang mirip seragam mekanik/wearpack), helm serta alat penerangan tentu saja akan membuat kita sedikit kerepotan. Mengenakan pelampung yang baik dan layak akan menjadi solusi terbaik meskipun kita memiliki kemampuan berenang bagus, bentukan lorong yang sempit dengan atap rendah terkadang membatasi gerakan kita, juga barang-barang yang kita bawa seperti tas (tacklebag) yang berisi logistik maupun box perlengkapan pemetaan atau peralatan fotografi.
Scouting, istilah yang dikenal dalam kegiatan arung jeram ketika membaca arus utama sungai, merupakan salah satu kemampuan yang sebaiknya dimiliki oleh penelusur gua ketika hendak menelusuri sungai bawah tanah yang berarus kuat. Bentukan dinding sungai di dalam gua tidak berbeda jauh dengan sungai di permukaan, istilah undercut yang memiliki arus hidrolik akan banyak ditemui oleh penelusur gua, belum lagi jika ditambah dengan bebatuan runcing yang menjadi ciri khas batugamping ketika tergerus oleh arus sungai. Perahu atau kayak yang sering kita pakai, sebaiknya dikendalikan oleh skipper terlatih jika tidak ingin terkoyak oleh bebatuan runcing tersebut, selain itu stalaktit yang menggantung di atap gua, terkadang menjadi ancaman tersendiri ketika ujung-ujungnya yang tajam menjuntai hingga menyentuh permukaan air.
Banjir, Monster Menakutkan Di Lorong Bawah Tanah
Musim hujan biasanya membuat penelusur gua kebanyakan memilih “gantung coverall” daripada melakukan aktivitas caving. Logikanya sederhana, gua yang semula berfungsi sebagai zona larian air dari permukaan menuju bawah permukaan, akan kembali menjadi fungsinya semula selama musim hujan berlangsung, terutama gua-gua yang memiliki entrance di dasar-dasar lembah. Seberapa besar banjir didalam gua sebenarnya dapat di monitor dari berapa luas daerah tangkapan air hujan dilokasi entrance berada, juga dengan melihat jejak-jejak banjir di dalam gua, biasanya berupa sampah atau ranting-ranting yang menempel di dinding hingga atap gua.
Seorang penelusur, (jika terpaksa caving di musim hujan) sebaiknya melakukan orientasi detail terhadap hal tersebut diatas, juga harus mampu menentukan tempat-tempat yang dirasa aman ketika banjir sewaktu-waktu datang menerjang. Persiapan logistik darurat mesti diperhitungkan, karena kadang ketika banjir datang dan kita terjebak di “tempat aman” bisa jadi akan memakan waktu berhari-hari hingga air kembali normal. Kepekaan intuisi seorang penelusur bisa jadi akan menyelamatkan seluruh anggota tim, seperti mengenali tanda-tanda ketika banjir datang, air yang mulai berubah menjadi lebih keruh, bau lumpur pekat yang menyengat, hingga suara gemuruh yang menciutkan nyali. Namun, terkadang intuisi kita tak mampu memberikan sinyal apa-apa ketika banjir mengancam, hingga semuanya serba terlambat dan kita hanya bisa menyerah pada nasib dan keberuntungan semata.
Batu-Batu Pun Bisa Runtuh
Dinding dan atap gua tersusun atas batuan gamping yang memiliki sifat britle, keras tapi mudah patah, sehingga memiliki pola-pola retakan sedemikian rupa yang tidak semua dari kita menyadarinya. Sebagai bagian dari batuan sedimen, batugamping ada yang bersifat masif (pejal) dan ada yang memiliki bidang-bidang perlapisan, yang membuatnya seperti kue lapis. Ada batugamping yang berlapis tipis-tipis dan sejajar atau dikenal dengan laminasi, tapi ada juga yang berlapis tebal-tebal membentuk bedding. Batuan sedimen penyusun gua ini tidak begitu saja terendapkan tanpa gangguan apapun, Pada daerah yang memiliki banyak struktur geologi, tentunya akan memiliki susunan batugamping yang porak-poranda, misalkan saja pada daerah-daerah yang terpotong oleh sesar.
Kembali pada kedetailan orientasi seorang penelusur, gua yang terletak pada daerah yang memiliki sesar, seorang penelusur akan banyak melihat reruntuhan bebatuan dan banyak diantara boulder atau bongkah batu justru masih tergantung diatap-atap gua atau dinding gua., biasanya bebatuan yang siap jatuh tersebut hanya terganjal oleh bebatuan lain yang lebih kecil, bahkan hanya terganjal oleh lumpur. Kondisi seperti ini juga dimungkinkan ketika gua terbentuk oleh proses runtuhan (collapse doline) dan proses pelarutan (solutional doline)
Jatuhnya bebatuan yang menggantung diatap atau di dinding gua tersebut, bisa dipicu oleh getaran yang cukup besar, seperti gempa, atau bahkan hanya oleh gema suara penelusur yang terlalu berisik.
JANGAN PERNAH MELEPASKAN HELM yang kita kenakan akan menjadi pilihan bijak ketika kita berada dalam gua, jika kita terpaksa akan membuka helm untuk keperluan tertentu, carilah tempat yang benar-benar dirasa aman dari potensi runtuhan.
Dalam beberapa kasus, seorang penelusur yang memegang disiplin tetap menggunakan helm penelusuran, ketika sebuah batu menimpanya, beberapa ada yang selamat tanpa luka sedikitpun, dan beberapa ada yang mengalami luka serius, karena tulang leher dan tulang punggungnya mengalami dislokasi atau patah, karena memang tulang kita tidak didesain untuk menerima beban kejut yang besar dari sebuah batu yang berat.
AB Rodhial Falah