Selasa, 11 November 2008

Mengenal Gua

Gua (atau disebut “goa” dalam beberapa media cetak) merupakan sebuah bentukan alami berupa ruangan dibawah tanah baik yang berdiri sendiri maupun saling terhubung dengan ruangan-ruangan lain sebagai hasil proses “pelarutan” oleh air maupun aktivitas geologi yang terjadi pada suatu daerah. Gua yang dikenal secara luas oleh masyarakat umum di Indonesia sebagian besar berupa gua-gua kapur, disebut demikian karena gua-gua ini terbentuk di wilayah yang notabene sebagian besar tersusun oleh batukapur (dalam istilah geologi disebut batugamping). Selain terbentuk di daerah kapur, gua juga dapat terbentuk pada daerah vulkanik (atau daerah yang tersusun oleh batuan asal gunung api), biasanya gua-gua vulkanik ini muncul sebagai lorong-lorong yang dulunya merupakan jalan aktivitas magma yang gagal ketika hendak keluar menuju permukaan.

Gua pada batukapur terbentuk akibat aktivitas air purba, secara mudahnya gua-gua batukapur tersebut ada yang terbentuk ketika suatu tempat lokasi gua tersebut ada masih berada dibawah level air tanah (disebut sebagai zona phreatik) dan ada gua-gua batukapur yang terbentuk setelah lokasinya berada di atas level air tanah (zona vadose).

Kenapa gua-gua ini bisa terbentuk ?

Batugamping tersusun atas mineral-mineral yang oleh ahli kebumian disebut sebagai mineral karbonat (rumus kimianya CaCO3), mineral ini memiliki sifat reaktan terhadap larutan asam (sebagai gambaran sederhana batugamping akan berbuih dan tergerus habis/larut ketika bersentuhan dengan larutan asam). Air yang ada di alam ini selalu mengandung asam meskipun memiliki kadar yang berbeda-beda, termasuk air hujan. Ketika air-air tersebut bersentuhan dengan batugamping, baik di permukaan maupun dibawah permukaan, lambat laun batugamping tersebut akan terkikis sedikit demi sedikit, dan tentunya pelarutan oleh asam ini memiliki nilai percepatan yang berbeda-beda di setiap tempatnya.

Apa yang menyebabkan berbeda ?

Kita perlu mengingat kembali bahwa bumi tersusun oleh lempeng-lempeng, seperti biskuit yang kita letakkan diatas bubur yang kental. Lempeng-lempeng tersebut di bedakan menjadi lempeng benua dan lempeng samudra, perbedaan berat jenis material penyusun kedua lempeng tersebut menjadikan lempeng samudra memiliki berat jenis yang lebih besar dari lempeng benua, sehingga dalam skala horizontal ia selalu terletak dibawah lempeng benua. Lempeng-lempeng penyusun bumi ini tidak diam, mereka bergerak secara dinamis meskipun kita tidak pernah menyadarinya. Lempeng samudra selalu terdorong mendekati lempeng benua sebagai akibat pemekaran lantai dasar samudra, sehingga karena berat jenisnya lebih besar, lempeng samudra akan menyusup kebawah lempeng benua, peristiwa inilah yang disebut sebagai subduksi (dalam bahasan lebih mendalam, subduksi ini yang kemudian menciptakan gunung api), sementara gerakan-gerakan lempeng tersebut di sebut sebagai gerak tektonik.

Batukapur/batugamping selain memiliki sifat mudah larut oleh asam, juga bersifat britle, keras tapi mudah patah (nilai elastisitasnya rendah). Gerakan-gerakan tektonik yang ada di bumi (seperti gempa tektonik misalnya) membuat batugamping ini pecah-pecah dan memiliki banyak retakan-retakan, baik retakan dalam skala besar maupun kecil. Pada tempat-tempat yang banyak retakannya inilah proses pelarutan menjadi lebih cepat dibandingkan tempat-tempat yang tidak cukup banyak memiliki retakan. Retakan pada batugamping ada yang telah mengalami pergeseran, baik kearah vertikal maupun horizontal, retakan yang telah mengalami pergeseran disebut sebagai sesar (sesar ini juga bisa terjadi wilayah manapun yang bukan batugamping) sedangkan retakan yang masih belum mengalami pergeseran disebut sebagai kekar.

Berapa lama proses pembentukan gua?

Secara sederhana proses pembentukan gua tersebut memerlukan waktu ribuan tahun, dengan melakukan penelitian yang lebih intensif kita dapat mengetahui secara pasti kapan rentang waktu sebuah gua mulai terbentuk. Karena melibatkan banyak proses, bagian per bagian gua tentunya akan memiliki nilai waktu yang berbeda-beda. Dalam sebuah penelitian yang pernah penulis ikuti di Liang Bua, Flores, kerjasama tim arkeologi nasional dengan sebuah universitas dari Australia, dengan menggunakan radioaktif dapat diketahui bahwa Liang Bua terbentuk dalam kurun waktu 9.000 – 11.000 tahun yang lalu. Kemudian peneliti yang sama juga meneliti sebuah stalaqmit di Gua Jaran, Jawa Timur memiliki umur sekitar 3000 tahun. Bayangkan betapa lambatnya proses tersebut berjalan? Jika umur rata-rata manusia 60 tahun, sebuah stalaktit yang terbilang muda saja membutuhkan 50 generasi manusia dalam proses pembentukannya.

Lalu bagaimana kita memperlakukan gua?

Banyak diantara gua-gua tersebut telah dibuka dan dikelola pemerintah menjadi tempat-tempat wisata, bahkan kehadiran gua sebagai tempat wisata bagi sebuah wilayah seperti Kebumen (dengan gua Jatijajarnya) atau Tuban (dengan gua Akbarnya) atau juga Pacitan (dengan gua Gong dan Tabuhannya) atau daerah-daerah lain seolah menjadi berkah tersendiri karena mampu mendongkrak PAD dimana gua-gua tersebut berada.

Sayangnya…belum ada satupun dari wisata gua tersebut yang dapat dijadikan percontohan sebagai wisata yang berbasis ekosistem dengan baik (atau ekowisata). Pemerintah dan Pengunjung dalam hal ini sama-sama memegang peranan, pemerintah sebagai pengelola belum mampu menggali potensi gua wisata secara maksimal, hampir semua gua yang “dijual” kepada konsumen hanya bermodalkan keindahan ornamen serta bumbu-bumbu mistis yang dibangun dari generasi ke generasi, belum menyentuh nilai-nilai ilmiah yang mampu menjual pengetahuan tentang gua secara lebih logis kepada pengunjung. Pengelola wisata gua, juga belum menyentuh aspek keamanan pengunjung seperti menyediakan perangkat perlindungan konsumen (helm, sepatu boot, dan senter), pengelola lebih tertarik membuat desain yang “over kill” daripada mempertahankan bentuk asli gua namun meningkatkan kualitas pelayanan terhadap konsumen.

Pengunjung, dalam hal ini wisatawan…juga seringkali lupa diri (atau memang belum tahu nilai historis sebuah gua wisata) hingga berbuat vandalis (kerusakan), seperti mencoret-coret dinding gua, melempar-lempar lumpur di dinding gua, bahkan mengambil ornamen tertentu sampai meninggalkan sampah sembarangan.

Alangkah bahagianya jika suatu saat kita membawa anak istri kita berwisata ke sebuah gua, dimana lingkungan guanya masih asli dengan perlengkapan perlindungan diri yang memadai, serta ditemani dengan guide profesional yang mampu memenuhi kebutuhan ilmiah (rasa keinginantahuan) anak kita tentang bagaimana gua tersebut bisa terbentuk, tentang ornamen-ornamen, tentang binatang-binatang gua, dengan disisipi cerita-cerita mistis sebagai bahan selingan selama penelusuran.

“MAMPUKAH ANGAN-ANGAN KECIL INI TERWUJUDKAN…?”
Diposkan oleh AB Rodhial Falah

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by Legua Caving & Speleologi