Kamis, 18 Desember 2008

Speleologi dan Karstologi

SPELEOLOGI ialah sains mengenai GUA dan LINGKUNGANNYA.
Berhubung gua dapat terjadi di macam-macam batu-batuan, kami hendak
membatasi diri pada pembicaraan SPELEOLOGI di daerah karst.
Berhubung daerah batugamping – yang telah mengalami proses karstifikasi –
menjadi Lingkungan Gua, maka mau tidak mau, seorang ahli speleologi harus
memahami karstologi.
Bidang-bidang yang menarik dan relevan dengan Speleologi ialah :
- Karst hidrogeologi.
- Karst geomorfologi dan morfogenesis.
- Karst pedologi.
- Karst erosi dan denudasi dan kimia tanah.
- Karst konservasi.
- Klimatologi.
- Vegetasi dan pengaruhnya terhadap curah hujan di daerah karst.
- Tektonisme di daerah karst.
- Pengaruh vulkanisme di daerah karst.
- Litologi.
- Sedimentologi.
Kesemuanya itu dapat dikelompokkan dalam studi EKSOKARST


Speleologi dan Karstologi
Perkembangannya di Luar Negeri dan Kemungkinan
Pengembangannya di Indonesia
SPELEOLOGI ialah sains mengenai GUA dan LINGKUNGANNYA.
Berhubung gua dapat terjadi di macam-macam batu-batuan, kami hendak
membatasi diri pada pembicaraan SPELEOLOGI di daerah karst.
Berhubung daerah batugamping – yang telah mengalami proses karstifikasi –
menjadi Lingkungan Gua, maka mau tidak mau, seorang ahli speleologi harus
memahami karstologi.
Bidang-bidang yang menarik dan relevan dengan Speleologi ialah :
- Karst hidrogeologi.
- Karst geomorfologi dan morfogenesis.
- Karst pedologi.
- Karst erosi dan denudasi dan kimia tanah.
- Karst konservasi.
- Klimatologi.
- Vegetasi dan pengaruhnya terhadap curah hujan di daerah karst.
- Tektonisme di daerah karst.
- Pengaruh vulkanisme di daerah karst.
- Litologi.
- Sedimentologi.
Kesemuanya itu dapat dikelompokkan dalam studi EKSOKARST.
Sebelum membicarakan Speleologi, maka tentu harus diketahui dulu apa yang
dimaksudkan dengan “GUA”. Gua ialah setiap ruangan di bawah tanah yang
dapat dimasuki orang (definisi IUS).
Nah, apakah definisi dari rekahan-rekahan, celah-celah yang hanya dapat
dimasuki oleh landak, tikus, semut ? Ada yang menamakannya micro caves atau
gua mikro, tetapi kiranya pengkotakkan ilmu speleologi pada batas ukuran dapat
dimasuki atau tidaknya oleh manusia, ialah pengkotakkan yang salah.
Gua pada umumnya tidak merupakan fenomena tersendiri. Di daerah karst, pada
umumnya tidak hanya ditemukan satu gua saja. Biasanya yang dijumpai ialah
suatu sistem perguaan, dimana gua yang satu (yang sudah dikenal) masih
berhubungan dengan gua-gua yang lain (yang belum dikenal atau bahkan yang
belum dapat dimasuki orang, karena belum ada lubang masuk atau keluarnya).
Gua-gua itu kelihatannya terpisah, karena sudah terpotong-potong (truncated),
namun pada saat gua-gua itu dibentuk, jauh di bawah permukaan tanah saat itu,
gua-gua itu masih berhubungan satu sama lain, bahkan terkadang merupakan
suatu jaringan yang rumit (maze caves, maze pattern).

1
Inheren dengan sifat batugamping, hampir di semua lapisannya dijumpai
rekahan-rekahan dan celah-celah. Rekahan-rekahan dan celah-celah itu, besar
kecil, saling berhubungan dan membentuk suatu sistem percelahan tersendiri,
yang pada suatu saat JUGA menyatu dengan lorong-lorong gua.
Itu sebabnya ada kecenderungan menurut kami, untuk membahas bukan saja gua
dan sistem perguaan dalam speleologi, tetapi juga sistem percelahan ini, yang
baru kami jumpai dalam literatur tahun 1983 dengan istilah “Cave and Crack
Systems”.
Di dalam gua sendiri ditemukan begitu banyak obyek studi, yang saling
berkaitan, sehingga tidak mungkin dunia di bawah tanah ini dapat dimengerti
tanpa mempelajari :
- Speleogenesis.
- Speleo morfologi.
- Speleo sedimentologi.
- Speleo mikroklimatologi.
- Speleo hidrologi.
- Speleo meteorologi.
- Biospeleologi.
- Kegunaan dan pemanfaatan gua.
Pokoknya setiap kegiatan atau jenis penelitian di luar gua mempunyai kegiatan
atau penelitian sejenis di dalam gua.
Menurut Walter, 1984 :
• GEOGRAFI- SPELEOGEOGRAFI
• MORFOLOGI- SPELEOMORFOLOGI
• GEOLOGI- SPELEOGEOLOGI
• KARTOGRAFI- SPELEOKARTOGRAFI
• GEODESI- SPELEOGEODESI
• METEOROLOGI- SPELEOMETEOROLOGI
• KLIMATOLOGI- SPELE KLIMATOLOGI
• HIDROLOGI- SPELEOHIDROLOGI
• GLASIOLOGI- SPELEOGLASIOLOGI
• BIOLOGI- SPELEOBIOLOGI
• ZOOLOGI- SPELEOZOOLOGI
• BOTANI- SPELEOBOTANI
• MINERALOGI- SPELEOMINERALOGI
• KIMIA- SPELEOKIMIA
• FISIKA- SPELEOFISIKA
• GEODINAMIKA- SPELEOGEODINAMIKA
• PALEONTOLOGI- SPELEOPALEONTOLOGI
• TERAPI- SPELEOTERAPI
Semua unsur-unsur di dalam gua ini termasuk obyek studi ENDOKARST.

2
Sebagaimana setiap pakar ilmu mengenal superspesialisasi, maka Karstologi
maupun Speleologi juga mengenal superspesialisasi itu. Pada Karstologi dikenal
Micro Karst Forms, atau bentukan-bentukan kecil akibat erosi dan korosi, seperti
Rillen, Rinnen-Spits-Trit-Meander-Round Karren dlsb. Kamenitza, Grikes,
Runnels, Clints, Solution Cups, Solution Pits yang semuanya dianalisa.
Pada ilmu Speleologi dikenal banyak superspesialisasi, mulai dari
Speleokronologi; Paleomagnetisme sedimen gua untuk mengetahui arah aliran
sungai purba; penentuan umur air fosil di dalam zone phreatik dalam; Micro
Speleomorfologi seperti scallops, flutes dan penentuan kecepatan arah sungai
purba di dalam gua yang menimbulkan scallops dan flutes itu (a. l. oleh Rene
Curl, memakai Reynolds number dlsb), dengan ekuasi (perhitungan) matematis
jarak antara flutes dan scallops itu. Juga dikenal Speleoterapi sebagai
pengetahuan khusus. Speleofotogragi, cinematografi, hasil videonya bahkan
dipertandingkan secara internasional sekali setahun.
Fenomena ENDOKARSTIK memang sangat erat hubungannya dengan
fenomena EKSOKARSTIK dan tidak dapat disangkal, bahwa didapatkan
hubungan yang erat sekali antara permukaan bumi dan alam di bawah tanah.
Karenanya dikenal istilah “the surface-subsurface intimate connection and
interrelation”.
Pembagian ruang di atas gua, yaitu di permukaan tanah, menjadi disiplin khusus,
dan ruang di bawah tanah menjadi disiplin ilmu yang terpisah, hanyalah
merupakan ulah manusia. Juga adanya pengkotakkan ketat dalam pakar-pakar
ilmu, seolah-olah ilmu yang satu tidak ada hubungannya dengan ilmu yang lain.
Bahkan ahli disiplin ilmu tertentu akan merasa skeptis atau ironis, apabila ada
ilmuwan lainnya mempelajari bidang ilmunya, padahal pendidikan formalnya
berbeda.
Dalam Speleologi, SEMUA ilmu yang relevan bukan saja berkaitan, tetapi malah
saling mempengaruhi, jalin-menjalin dan saling menunjang. Itu sebabnya,
seseorang dengan pendidikan formal Arkeologi seperti Michel Siffre, juga dapat
menjadi seorang profesional dalam Speleologi, bahkan berhasil menerbitkan
buku-buku bermutu tinggi dalam bidang geologi dan biospeleologi.
Bidang Karstologi, yang di Indonesia belum berkembang, ternyata sudah maju
pesat di pelbagai negara. Hal ini sungguh disayangkan, karena Indonesia terdiri
dari banyak daerah karst. Dan semua daerah karst pada umumnya menghadapi
problema persediaan air minum dan air irigasi. Seperti misalnya di Pulau Sawu,
Sumba, Madura, Kabupaten Gunung Kidul, dlsb.
Dalam pada itu, kegiatan membuat bendungan di daerah karst (Wonogiri,
Pangkalan, dll) tidak terlepas dari studi pendahuluan yang spesialistis tentang

3
hidrogeologi karst, denudasi karst, klimatologi, dan di luar negeri, tentunya juga
ilmu speleologi ……..
Gua-gua perlu ditelusuri dan dipetakan, untuk mengetahui apakah tidak akan
terjadi KEBOCORAN air bendungan. Lorong-lorong gua demikian haruslah
dibuat kedap air. Bila hal ini lepas dari perhatian, maka air bendungan tidak akan
naik, bahkan akan dapat berkurang akibat bocor melalui rekahan-rekahan
batugamping dan gua-gua karst di sekitar bendungan itu. Di Spanyol ada
problematika itu dan telah disajikan makalah dalam Kongres Sedunia Union
Internationale de Speleologie.
Kini terjadi problematika pendangkalan bendungan di Wonogiri oleh proses
pelumpuran, yang katanya telah disurvai oleh tim ahli dari Jepang yang memberi
angka 100 tahun untuk kelangsungan pemanfaatan bendungan itu, tetapi kini
ternyata tinggal 30 tahun saja ! Dimanakah letak kesalahan perhitungan itu ?
Apakah dalam Analisa Dampak Lingkungan dan Studi Kelayakan, data-data
Karstologi itu sudah dikumpulkan dan dianalisa secara cermat ?
Juga data klimatologi (curah hujan, surface run-off), hidrogeologi kawasan
tersebut, dan data perihal kecepatan denudasi karst ?
Kami kira bahwa bila tidak diikutsertakan studi dalam bidang karstologi dan
speleologi di suatu proyek yang menangani kawasan karstik, hal ini sungguh
kurang bijaksana.
Sebagai contoh dapat dikemukakan, bahwa salah satu negara yang paling maju
dalam bidang karstologi ialah RRC, karena memang mempunyai kawasan karst
paling luas di dunia. Sayangnya, ternyata pada tahun 1981 hingga kini, Center of
Karst Studies dari RRC juga kurang memperhatikan Speleologi. Berbeda sekali
dengan Pusat-Pusat Karstologi terkenal di dunia seperti di Postojna-Yugoslavia,
di Austria, di Jerman di mana Herbert Lehman telah berhasil mendirikan School
of Karst Studies, di USA yaitu di Universitas Kentucky dan Indiana, di Pusat
Studi Karstologi Perancis, Czechoslovakia, Bulgaria dan Swiss, yang TANPA
KECUALI melibatkan Speleologi sebagai pakar ilmu yang tidak terpisahkan.
Juga di Inggris dan Italia.
Di Indonesia kami ingin mempromosikan karst sebagai obyek studi spesialistik
dan mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlampau lama dapat didirikan
pula Pusat Penelitian Karst Indonesia, setelah dipromosikan oleh suatu Ikatan
Karstologi Indonesia.
Bagi para ahli geologi, yang segan memasuki gua di Indonesia, sayangnya masih
didapatkan keyakinan, bahwa gua dapat diselidiki dari luar gua. Keseganan
memasuki gua karena takut dan mungkin kurang memahami manfaatnya, masih
menyelimuti banyak para ahli geologi di Indonesia. Karenanya untuk melacak

4
air, cukup diandalkan metode geofisika dan pelacakan air dengan agens-agens
tertentu, daripada menelusuri sungai di bawah tanah secara fisik.
Kiranya cukup jelas uraian kami, bahwa pelbagai aspek endokarstik itu tidak
dapat dipelajari, tidak dapat dikenal apalagi dipahami tanpa menelusuri gua.
Spesialisme SEDIMENTOLOGI gua dengan mengukur ukuran (diameter)
kerikil, yang dapat memberi data tentang bentuk sifon; menentukan umur gua
dengan memilih stalaktit mana yang akan digunakan untuk analisa radioisotopes;
mempelajari hubungan erat antara speleogenesis dan speleomorfologi dan
geomorfologi kawasan karst di atas permukaan tanah; kehidupan binatang di
dalam gua; kesemuanya itu tidak mungkin dapat dipelajari tanpa memasuki gua.
Apalagi untuk memonitori pencemaran lingkungan (antara lain dengan analisa
logam berat di dalam sedimen gua), meneliti potensi suatu gua untuk tujuan
pariwisata, menentukan arah aliran sungai purba dengan metode
paleomagnetisme sedimen gua, kesemuanya itu pun tidak dapat dilaksanakan
tanpa menelusuri gua secara fisik.
Nyata sudah, bahwa Speleologi ialah sains yang berbobot, bahkan setelah
meneliti literatur, banyak sekali ilmu dasar (basic sciences) yang menjadi obyek
studi speleologi dan diterbitkan dalam majalah-majalah CAVE SCIENCE atau
CAVE RESEARCH, yang diterbitkan oleh para ahli Speleologi, Hidrogeologi
Karst, Geomorfologi, Paleontologi, Arkeologi, Biospeleologi.
Gua Holloch adalah gua yang diteliti paling lama dan secara kontinu di dunia.
Penelitinya ialah ahli Geomorfologi Karst, Prof Bogli yang dalam dunia
Speleologi dikenal sebagai sesepuh kontemporer. Umurnya kini 79 tahun, tetapi
masih aktif keluar masuk gua. Di Gua Holloch ini ia telah mengalami kebanjiran
bersama 7 penelusur gua lainnya yang masih muda, selama 9 hari 9 malam.
Gua Holloch ketika itu ialah gua terpanjang. Tetapi kini menjadi gua terpanjang
ketiga, setelah Gua Mammoth dan Flint Ridge Systems dapat dipersatukan. Gua
Holloch kini panjangnya secara total 129 km sedangkan Gua Mammoth-Flint
sudah 450 km.
Di luar negeri tidak ada skeptisisme terhadap penelusur gua amatir. Bahkan
terjalin kerjasama saling menguntungkan antara penelusur gua amatir dan yang
profesional yang telah kami lihat sendiri di AS dan di Austria, yaitu di Pusat
Perhimpunan Speleologi Austria, di Wina tahun yang lalu. Seorang mahasiswa
yang katanya telah menemukan suatu imprint dari ikan yang diduga tapak fosil
dan melaporkannya pada kantor Pusat Perhimpunan itu kepada Dr Mais, ahli
geologi-speleologi, langsung mendapat pengarahan teknis soal paleontologi dan
secara spontan diserahi satu rol film untuk membuat slides disertai kursus kilat
cara membuat fotonya, teknik lightingnya, dlsb.

5
Itu sebabnya pula, mengapa di Wina terkumpul data dan peta dari 5000 gua dari
Austria yang sudah dimasukkan dalam mikrofilm. Di Perancis disimpan data dari
3500 gua dalam komputer, di AS sekitar 2500 gua. Di Indonesia kami baru
dalam taraf memulai memetakan beberapa gua oleh HIKESPI, sedangkan ahli
geologi-speleologi Inggris di Gunung Sewu dalam tahun 1982-1983 dengan
kerja sama resmi dengan Departemen Pekerjaan Umum dapat memetakan sekitar
270 gua hanya dalam jangka waktu 2,5 bulan.
Bahwasanya ilmu speleologi sangat relevan untuk diketahui oleh para penelusur
gua ialah misalnya soal bahaya banjir di dalam gua. Para penelusur seyogyanya
memahami dulu peta curah hujan daerah karst yang mereka kunjungi. Mereka
harus dapat mencatat intensitas hujan sehari atau beberapa hari sebelum mereka
memasuki gua. Kemudian harus meneliti dulu setiap sungai karst yang
autochthonous maupun yang allochthonous. Debitnya, perubahan debitnya,
kekeruhannya, harus diteliti apakah sungai yang keluar dari gua itu suatu sungai
REsurgence atau suatu EXsurgence.
Ada manfaatnya apabila mereka tahu prinsip watertracing menggunakan :
- Dyestuff yang harus biodegradable, non-toxic, murah, non-polutan, efisien
(dapat ditrasir dalam derajat pengenceran sampai 1 : 106). Hingga kini
digunakan bahan kimia zatwarna golongan Rhodamin, Pyranin, Fluorescine.
Tidak cukup dengan hanya melarutkan dan menghanyutkannya, tetapi
diaksentuasi dengan mendeterminasinya memakai activated charcoal, atau
dikombinasi dengan :
- Spora lycopodium, sehingga dua atau lebih swallow holes atau sinking streams
dapat diwarnai berbeda warna, untuk kemudian diteliti kemana mengalirnya.
- Secara bakteriologis, kimiawi, kimia fisik dan radioisotopes dapat pula dilacak
mengalirnya sungai di bawah tanah.
Di luar negeri, kini jauh lebih disukai metode pemakaian zatwarna yang tidak
berwarna, yaitu optical brighteners yang biasa digunakan pada pelbagai merk
detergen (Leucophor, Blankophor, dll). Zat ini bersifat memutihkan bahan
pakaian. Mempunyai afinitas luar biasa terhadap serat kapas atau selulosa, tidak
berwarna pada cahaya terang siang hari, tetapi dapat dipastikan keberadaannya
dengan menyinarinya dengan cahaya ultraviolet. Ia akan berfluoresensi kebiru-
biruan. Bahan ini non-toxic, non-carcinogenetic, biodegradable dan di luar
negeri murah harganya. Juga dipakai pada industri kertas untuk lebih
memutihkan kertas.
Bila ditangkap dalam air oleh serat-serat kapas, maka pengenceran 1 : 106 dapat
dengan jelas terlihat bila memakai sinar ultraviolet.
Yang juga disenangi ialah penggunaan floodpulse. Teknik denyut banjir ini,
karena tidak menggunakan agens-agens kimiawi, tetapi hanya meniru efek dari
banjir oleh hujan lebat, amat digemari oleh mereka yang mendambakan

6
konservasi lingkungan. Dengan membendung air di mulut gua sebelum mengalir
ke dalamnya dengan cara membuat bendungan, kemudian bendungan itu bila
sudah penuh mendadak dibuka, maka karakteristik fisik dan kurva debit air pada
saat sungai itu keluar dari gua, dapat memberi data yang cukup komprehensif
tentang gua itu. Puncak-puncak maksimal jumlah air yang mengalir keluar dapat
memberi keterangan tentang perkiraan jumlah percabangan yang ada di dalam
gua itu.
Namun metode-metode di atas bagi penelusur gua hanyalah merupakan data
pembantu, bukan substitut dari kegiatan menelusuri gua.
Menelusuri gua akan jauh lebih lengkap untuk mengungkapkan sistem sifon-
sifon yang ada di dalam gua.
Namun metode di atas mempunyai nilai tambah edukatif bagi penelusur gua,
bahwa gua memang merupakan lintasan dan dibentuk oleh aliran sungai di
bawah tanah.
Karenanya kami usulkan secara pribadi, bahwa daripada mengikuti definisi IUS
mengenai gua, yang membatasinya menurut ukuran besarnya manusia, sebaiknya
untuk gua batugamping dipakai definisi :
GUA ialah lintasan suatu sungai di bawah tanah yang masih mengalirinya secara
aktif atau pernah mengalirinya.
Hal ini perlu diresapi, karena hampir semua fenomena di bawah tanah, mulai dari
speleogenesis sampai sedimentasi dan morfologi gua, dapat diuraikan oleh
pengertian di atas. Hubungan antara gua dan aliran sungai memang tidak dapat
dipisahkan, karena sungai merupakan faktor pembentuk dan faktor pemodifikasi
lorong-lorong gua.
Apa perbedaan esensial antara sungai di atas permukaan tanah dan sungai yang
mengaliri gua ?
Perbedaan nyata ialah, bahwa sungai di atas tanah itu mengalamai pelbagai
pengaruh luar yang tidak dapat dihindarkan, seperti iklim, dan lintasannya tidak
dapat direkam secara baik oleh proses pelapukan (weathering), erosi, dll.
Sedangkan di dalam gua kita hadapi suatu sungai yang beratap, beriklim hampir
konstan sepanjang tahun, dengan hasil erosi dan lintasan-lintasan fosil yang
terekam dengan baik.
Sedimen di dalam gua, merupakan data historis dari pedologi, proses denudasi,
kesuburan, vegetasi dan iklim masa lampau di luar gua. Semuanya terekam
karena tidak mengalami pelapukan dan erosi hebat oleh faktor-faktor ekstern.
Perbedaan dengan sungai permukaan ialah adanya pembatasan ruangan
alirannya. Sungai permukaan dapat dengan leluasa, di dataran aluvial berkelak-
kelok membentuk meander secara relatif cepat, namun sifat meanderingnya

7
sungai di dalam gua karst akan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama,
dengan melibatkan proses korosi disamping erosi (korasi). Juga akan terjadi
oxbow, bahkan juga dikenal apa yang dinamakan pembajakan aliran sungai
(river pirating), bahkan dalam gua batugamping pembajakan itu sering
berlangsung pada level, tingkat yang berbeda. Sungai di dalam gua sering
menghilang ke dalam lubang pada dasar atau lantai lorong gua, untuk muncul
kembali pada lintasan lain yang terdapat di bawah lintasan semula. Dapat
terbentuk air terjun karenanya.
Pengaruh membanjirnya lorong gua juga merupakan proses yang sangat berbeda
dengan sungai permukaan. Sering debit dapat membengkak hingga 10 – 20 kali.
Lorong bisa penuh sampai ke atap hal mana bisa dibuktikan dengan adanya
ranting, batu-batuan, dlsb pada atap gua.
Lorong yang pernah dialiri dan kini ditinggalkan oleh sungai di dalam gua dapat
terisi kembali oleh air pada saat banjir.
Seirama dengan adanya floodpulse yang puncaknya bisa majemuk, banjir di
dalam gua juga dapat terjadi berulangkali.
Adanya sifon-sifon juga mempengaruhi sifatnya banjir. Sifon relatif (tidak
terendam pada musim kemarau) dan sifat sifon absolut (pada musim kemarau
pun terisi air sampai ke atapnya) berbeda sekali. Juga bentuknya sifon akan
memberi pengaruh, demikian pula panjangnya sifon, terhadap bentuk sedimen,
terutama kerikil yang melintasinya.
Sifon hanya dapat ditelusuri oleh penyelam gua, yang membutuhkan pendidikan
dan tingkat keterampilan yang amat berbeda dengan penyelam laut atau danau.
Ada pula beda yang nyata dengan lintasan air di permukaan tanah, karena cave
breakdown, runtuhnya dinding dan atap gua, dapat memodifikasi bentuk dan
sifat aliran sungai di dalam gua.
Bahkan bentuk gua sejak pertama dibentuk, yaitu pada zone phreatik, akan
mempengaruhi sifat lintasan sungai di dalam gua itu. Salah satu tanda phreatisme
lorong gua ialah adanya lantai yang turun naik tidak beraturan. Sungai gua yang
mengalirinya kemudian, yang dikenal dengan aliran vadose, dan tunduk pada
kaidah gaya berat bumi, terpaksa baru dapat mengaliri lorong itu apabila oleh
proses korosi sudah terbuka alur baginya, menembus lorong-lorong yang
mendaki di depannya. Locus minoris resitententiae dalam bentuk joint/diaclase
atau rekahan bedding plane di lantai lorong mendaki itu, menjadi lokasi dini,
yang akan berevolusi menjadi canyon atau siphon.
Hanyutnya sedimen halus dan kasar mengikuti sungai dari luar, atau masuk ke
dalam lorong pada waktu hujan melalui rekahan-rekahan pada dasar doline
misalnya, akan menambah daya erosif sungai di dalam gua. Namun, walaupun
sungai sudah berupa vadose, tetap ada pengaruh korosi pada pembentukan gua
itu. Apalagi kalau ditambah adanya ion magnesium oleh dolomit misalnya.

8
Berkat efek yang dikenal sebagai “common ion effect” yaitu dari sistem CaCO3
dan MgCO3, atau “ionic strength effect” oleh adanya larutan elektrolit lainnya,
bisa terjadi penghambatan atau peningkatan daya korosifnya air di dalam gua.
Kiranya banyak segi dari morfologi di bawah tanah dapat diterangkan oleh daya
korosif dan korasif (erosif) air yang terdapat di dalamnya, ditambah lagi dengan
sifat kedap airnya sedimen-sdimen halus seperti lumpur residu (residual clay),.
Dengan demikian nyata sudah, bahwa gua ialah suatu lingkungan yang dinamis.
Senantiasa melebar atau memanjang, karena proses erosi dan korosi sungai dan
air yang merembesi atap dan dinding gua menyempit oleh proses sedimentasi;
berubah bentuk oleh proses peruntuhan (incasion) lorong gua. Bahkan terbukti
bahwa beberapa jenis bakteri pun dapat mempengaruhi morfologi di bawah tanah
karena dapat menjadi sebab pelapukan batugamping sehingga dapat
memudahkan terjadinya proses runtuhnya lorong gua dan terbentuk sedimen
yang khas, yang dikenal sebagai Moonmilk.
Pengetahuan tentang eksokarst bisa vital bagi survival suatu tim penelusur gua.
Pengertian akan kawasan tadah hujan (rainwater catchment area), kemiringan
tebing batugamping, vegetasi di atas gua, intensitas hujan, lamanya hujan,
porositas lapisan-lapisan batugamping sekitar gua, kejenuhan akan air dari
lapisan-lapisan itu, adalah penting untuk diketahui.
Misalnya saja pada musim kemarau, lapisan-lapisan batugamping di zone aerasi
dan zone fluktuasi itu kering celah-celahnya. Sehingga bila hujan pertama dari
musim hujan tiba, seluruh kawasan tadah hujan itu dapat menyerap air, tanpa
membanjiri gua. Baru kalau seluruh celah-celah itu jenuh akan air hujan, bisa
timbuk aneka pengaruh pada saat hujan jatuh. Vegetasi dengan sistem perakaran
dan dedaunan, juga memegang peranan penting, karena sebagian besar dari hujan
akan dapat diresap kembali untuk dilepaskan ke udara melalui sistem
evapotranspirasi. Namun yang penting adalah bagaimana sifat penutup lantai
kawasan karst itu (groundcover). Nyata bahwa semak belukar mempunyai efek
yang sangat penting, karena secara langsung akan menghindarkan air hujan
mengerosi dan menyebabkan denudasi karst. Derajat kelandaian perbukitan juga
penting, karena bisa menyebabkan surface run-off yang lebih cepat atau lebih
lambat.
Air ini (surface run-off water) biasanya akan terkumpul dalam doline atau
lembah, dan memasuki celah ke dalam lorong gua di bawahnya.
Luas areal tadah hujan juga mempengaruhi timbulnya banjir. Kawasan tadah
hujan yang luas, akan mengumpulkan air ke dalam gua secara lebih kontinu dan
mungkin lebih banyak, tetapi dengan cara yang tidak mendadak. Dalam hai ini,
sungai-sungai permukaan yang memasuki gua (inflow rivers) yang lebih dari
satu, akan menyebabkan timbulnya intensitas banjir secara tidak serempak, tetapi
dapat berkepanjangan, dengan puncak-puncak penambahan debit pada waktu
yang berbeda-beda. Lain halnya bila kawasan tadah hujannya memang terbatas.

9
Dalam hal ini, curah hujan yang deras dapat menimbulkan peningkatan debit
yang mendadak dan sangat berlipat ganda. Banjir akan tiba hanya dalam waktu
lima menit misalnya, tetapi akan lenyap setelah 20 menit. Pada kawasan tadah
hujan yang luas, puncak banjir (yang kadang-kadang berpuncak banyak) baru
dapat tercapai pada intensitas hujan yang sama, setelah satu jam misalnya, dan
baru mereda (bila hujan berhenti) setelah satu hari.
Intensitas hujan juga punya banyak pengaruh pada banjir di dalam gua. Makin
deras, sehingga melebihi kapasitas porositas atau daya tampung celah-celah
batugamping, makin besar bahaya banjirnya. Waktu hujan yang lama, tidak
begitu mempengaruhi debit air seperti intensitas hujan lebat yang datangnya
mendadak.
Pengetahuan akan biota gua juga dapat merupakan soal mati hidupnya penelusur
gua. Kompetisi dengan jutaan atau ratusan ribu kelelawar akan pemanfaatan zat
asam di dalam gua; dihasilkannya jumlah eksesif gas asam arang oleh
metabolisme jutaan atau ratusan ribu kelelawar di suatu lingkungan yang sudah
tinggi kadar CO2-nya oleh karena inheren dengan lingkungan di bawah tanah
batugamping, akan menjadi penyebab timbulnya hypoxemia, gejala
hiperventilasi, halusinasi, dan tanda-tanda keracunan CO2 lainnya. Belum lagi
tambahan gas CO2 oleh tumpukan guano yang mengalami proses fermentasi.
Atau penambahan CO2, bahkan gas metan, oleh proses pembusukan bahan-bahan
organik yang terhanyut ke dalam gua. Kiranya faktor-faktor di atas perlu
dipertimbangkan masak-masak, agar dapat ditentukan strategi, kapan dapat
memasuki gua dan kapan harus keluar dari gua.
Pengaruh gempa bumi juga perlu dipelajari. Pada umumnya dianut teori, bahwa
besarnya gempa bumi tidak dapat menjadi alasan mengapa gua dapat runtuh.
Bukankah seluruh sistem perguaan dalam batugamping itu bergerak en masse,
dan tidak terpisah-pisah ? Dengan demikian menurut teori itu, gua sedikit sekali
dipengaruhi oleh gempa bumi. Namun menurut kenyataan kami sering melihat
perubahan bentuk lorong gua oleh adanya breakdown (incasion) di beberapa gua
selatan Sukabumi, dimana salah seorang penghuni kawasan itu yang sering
menelusuri gua, dapat memberi kesaksian, bahwa runtuhan itu terjadi setelah
kawasan itu digoncangkan oleh gempa bumi.
Kini akan dibicarakan studi komparatif dari EKSO dan ENDOKARST
Morfologi. Di Eropa, studi ini sudah dilaksanakan sekitar 50 tahun yang lalu,
sedangkan di AS baru dikerjakan satu dekade yang lalu.

10
KORELASI ANTARA SPELEOGENESIS – SPELEO / ENDOKARST
MORFOLOGI DAN MORFOGENESIS EKSOKARST
Observasi dari gua Mammoth dan Crystal Cave dengan Green River di
Kentucky:
Major Cave levels in crystal cave have been determined by pauses in the valley
entrenchment when the Green River lay at or near its base level for lengthy
periods of time, and that variation on geology, structure, stratigraphy, and
climate have had little influence of such levels.
Karenanya korelasi dari speleogenesis dan sejarah erosi-deposisi dari Green
River itu, terungkap.
Pengikisan Green River yang berlangsung lamban, ada korelasinya dengan
bentuk canyon yang lebar pada lorong gua itu. Didapatkannya lumpur merah
(red-clay rich fill) di lorong-lorong itu diduga ada hubungannya dengan sedimen
tabal pada elevasi yang sama di teras sungai itu.
Pengikisan yang berlangsung cepat dan dalam (deep and rapid stream
entrenchment), ada korelasinya pada elevasi yang sama dengan canyon yang
sempit dan dalam, di lorong lain dari gua itu.

11
Di dalam gua kadang-kadang ditemukan lorong-lorong bertingkat tiga atau lebih,
misalnya di gua Mammoth itu pada ketinggian 500, 520 dan 550 kaki, yang
nyata korelasinya dengan teras-teras Green River itu pada ketinggian yang sama.
Ketiga tingkat itu sesuai dengan proses base leveling Green River, walaupun
teras-teras pada lembah Green River itu kini tidak begitu nyata lagi akibat
pengaruh erosi.
Dasar dari canyon-canyon yang ditemukan dalam gua, menunjukkan arah
kemiringan yang jelas menuju dasar lembah, ke sungai permukaan, yang
mengikis lembah di luar gua itu.
Backflooding dari Green River menyababkan lorong-lorong gua itu banjir, sering
ke lorong-lorong fosil di atasnya, sehingga cenderung memperkecil diameter
lorong-lorong tertentu dari gua itu oleh pengendapan lumpur, daripada proses
pembesaran lorong.
Pengikisan sungai permukaan (entrenchment) tidak senantiasa diikuti oleh
pembentukan canyon-canyon di dalam lorong gua yang dialiri sungai. Sungai di
dalam gua dapat juga mengalir, melalui rekahan-rekahan (joints) yang telah
melebar, sehingga terjadi air terjun di dalam gua, yang dilanjutkan dengan sungai
yang mengalir keluar menuju sungai permukaan itu, pada elevasi yang sesuai.
Dalam hal demikian lorong lama tidak dialiri sungai lagi dan ditinggalkan
sebagai lorong fosil. Proses ini dapat diidentikkan dengan stream pirating dari
sungai permukaan, tetapi mengikuti rekahan vertikal (dalam arti kata vertikal).

12
Lorong fosil ini kadang-kadang masih dapat terisi air / dialiri kali, pada saat gua
banjir dan celah / lorong vertikal tidak dapat mengakomodasi air yang berlimpah
itu. Keluarnya air dari mulut gua yang lokasinya di atas, menyebabkan
penggunaan istilah “flood overflow spring”.
Karstologi dan Speleologi hendaknya di Indonesia dikembangkan ke arah
praktis, menuju ke arah pemecahan persoalan yang praktis.
Pertama-tama perlu dipecahkan persoalan penyediaan air minum dan air irigasi
untuk kawasan karst. Sudah menjadi kenyataan, bahwa air adalah kebutuhan
vital disamping udara. Di kawasan karst, kebutuhan akan air ini berlipat ganda di
musim kemarau.
Di kabupaten Gunung Kidul, orang-orang berjalan kaki sampai 3 kilometer lebih
untuk mengumpulkan air ke dalam kaleng-kaleng bekas minyak tanah dengan
menciduknya pakai batok kelapa, dari gua, yaitu air perkolasi yang tertampung
dalam empang-empang di dalam gua.
Sudah menjadi kenyataan pula, bahwa di kawasan karst senantiasa terjadi
problema kelebihan penduduk di sekitar lokasi sumber-sumber air. Itu sebabnya,
maka di Yunani, Syria, Turki, Jamaika, dibentuk komisi-komisi internasional
untuk menangani Karst Water Problems ini dan di Ankara diadakan Simposium
Internasional mengenai Problematika Air Karst ini, pada bulan Juli mendatang.

13
Derap pembangunan di Indonesia sering menimbulkan konfilk kepentingan. Hal
ini nyata terlihat pada keinginan pemerintah daerah memajukan ekonomi
daerahnya dengan mendirikan pabrik semen, atau kebijakan menggampingi
lahan-lahan pertanian, dengan mengorbankan kawasan-kawasan batugamping.
Persoalan kini timbul di kawasan batugamping Serayu Selatan (sebelah selatan
kota Gombong) yang dikenal dengan formasi batugamping Buayan-
Karangbolong. Minat pendirian pabrik semen di kawasan itu sangat kami
tentang, karena seluruh areal batugamping itu merupakan kawasan tadah hujan
yang penting. Oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung
bahkan telah dikirimkan tim yang mengungkapkan fakta, bahwa seluruh
perbukitan batugamping di tempat itu merupakan “tangki air minum raksasa”.
Mengingat sifat sumber-sumber air karst di kawasan itu lokasinya jauh di atas
dataran aluvial (berbeda dengan di Kawasan Karst Gunung Sewu, yang airnya
berada sekitar 100 meter lebih di bawah permukaan tanah dan secara mubazir
keluar di Pantai Baron), maka sumber-sumber air itu secara efisien dapat
mengaliri sawah-sawah di sekitarnya (bahkan pada musim hujan
membanjirinya). Tidak adanya sumber air alternatif lainnya menyebabkan kami
berkesimpulan bahwa kawasan ini tidak boleh dirusak untuk pabrik semen. Hal
ini telah didiskusipanelkan di Karanganyar dan disimposiumkan di Semarang,
pada tahun 1984.
Mengingat Cilacap sebagai kota industri dan kota pelabuhan, yang notabene
lokasinya hanya 5 km sebelah barat “tangki air raksasa alamiah” ini, maka kami
mempromosikan, agar kawasan ini dimanfaatkan untuk airnya, suatu sumber
daya alam penting, bermanfaat, bahkan VITAL bagi kehidupan dan lingkungan
hidup, dan tidak akan habis-habisnya oleh usaha pemanfaatan itu dan tidak akan
mengakibatkan perusakan lingkungan atau pengaruh negatif terhadapnya.
Usaha mempopulerkan penelusuran gua oleh kelompok tertentu atas dasar
avonturisme belaka, apalagi memakai dalih “ilmu pengetahuan” amat kami
sesalkan, karena tanpa didasari ETIKA dan MORAL yang baik, tanpa didasari
PENGETAHUAN SPELEOLOGI dan KARSTOLOGI, terutama tentang
konservasinya, maka publikasi berlebihan tentang gua-gua di Indonesia akan
membantu mempercepat perusakan gua-gua yang kita miliki. Polusi dan
vandalisme adalah akibat yang cepat akan tampak. Belum lagi migrasi kelelawar
yang akan terganggu, padahal kelelawar adalah makhluk bermanfaat yang perlu
dilindungi, karena peranan sebagai pembasmi hama (antara lain wereng) dan
penyerbuk pelbagai pohon buah merupakan fakta yang tidak dapat lagi
dipungkiri.
Karenanya kami sekali lagi menghimbau, agar SPELEOLOGI dan
KARSTOLOGI di Indonesia dapat memperoleh tempat terhormat dalam dunia
ilmu pengetahuan teori maupun terapan.
Semoga!!

14
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Beck B. F. – Proceedings of the eight International Congress of Speleology,
Vol. I, 1982.
2. Bogli A. – Karst Hydrology and Physical Speleology, Springer Verlag,
1980.
3. Glover R. R. – International Seminar on Karst Denudation, 1982 : Optical
Brighteners, a new water tracing reagent.
4. Ko, R. K. T. – Hydrological and Speleological differences between the
Gunung Sewu and South Gombong Tropical Karst.
International Symposium on Karst water resources
(Ankara, 1985).
5. Ko, R. K. T. – Peranan Ilmu Speleologi dalam penyelidikan fenomena
Karstik dan Konservasi sumber daya tanah dan air
(Ceramah di Pusat Penelitian Tanah, Bogor, 1984).
6. Mais, K. et al – Akten Internationalen Symposium zum Geschichte der
Hohlen Forschung, Wien, 1979.
7. Miotke F. D. & Palmer A. N. – Genetic Relationship between Caves and
Landforms in the Mammoth Cave
National Park Area.
8. Siffre M. – Les Animaux des Gouffres et des Cavernes, 1979.
9. Siffre M. – Grottes, Gouffres et Abimes, 1981.
10. Sweeting M. M. – Karst Landforms, Columbia University Press, New York,
1980.
Ditulis oleh dr.R.K.T.Ko

Selengkapnya...

Selasa, 11 November 2008


Keindahan tersembunyi




Angker dan keramat......begitulah kesan kebanyakan orang terhadap gua, memang tidak salah apabila masyarakat beranggapan demikian, selain sebagai salah satu bentuk local wisdom akibat masih lekatnya nilai-nilai budaya dan kepercayaan nenek moyang, anggapan tersebut setidaknya turut menjaga gua dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak bertanggungjawab.

Tanpa kita sadari....betapa banyak gua-gua yang tersebar di negeri kita ini, melalui proses yang sangat panjang gua-gua tersebut mulai terbentuk, dalam keheningan dan kegelapan abadi. Selama ribuan tahun air bekerja siang dan malam melarutkan gram demi gram batugamping, menoreh....memotong....mengikis, semua berjalan begitu tenang. Sungguh sangat berbeda dengan pembangunan mall-mall atau jembatan oleh manusia, begitu berisik dan terkadang mengganggu siapapun yang ada di sekitarnya.
Menelusuri gua, bagi manusia sebenarnya sangat membahayakan. Kondisi lorong gua yang berlumpur, berair dalam, sempit, gelap gulita dan kadang membentuk sumuran dengan kedalaman puluhan hingga ratusan meter memaksa setiap penelusurnya memiliki ketrampilan khusus, dari teknik penelusuran biasa hingga Single Rope Technique (teknik melewati tali tunggal). Ketrampilan khusus lain seperti berenang, panjat tebing dan menyelam akan sangat membantu setiap penelusur gua,
Beragam latar belakang ketika manusia memutuskan untuk menelusurinya, sekedar petualangan, pemetaan gua, penelitian ilmiah, survey kelayakan wisata, hingga penggalian potensi air bawah tanah, semuanya sah dilakukan selama pelakunya bertanggungjawab terhadap faktor keselamatan diri dan lingkungannya.

Bagian dari pilihan hidup
Sebagai seseorang yang memiliki hobi memotret, gua merupakan obyek yang sangat menarik perhatian saya selama ini. Kondisi medan yang serba ekstrem baik bagi penelusur maupun peralatan fotografi, membawa konsekuensi logis yang cukup berat, setidaknya kita harus merelakan properti kita berperang dengan kelembaban yang tinggi, belepotan lumpur, tercelup air dan kadang terbentur sesuatu, sehingga pilihan terakhir yang tidak bisa di tawar adalah mem-packing segala sesuatu yang berhubungan dengan pemotretan dengan ekstra baik.
Menyadari potensi bahaya yang ada merupakan sebuah langkah bijak, apapun bisa terjadi dalam penelusuran kita, karena itu penelusuran gua tidak bisa dilakukan seorang diri. Jumlah minimal yang direkomendasikan adalah 3-4 orang, masing-masing tentunya dengan 3 buah sumber cahaya (carbide lamp atau electric lamp) dan seperangkat alat safety seperti helm, sepatu boot, coverall serta SRT set untuk lorong vertikal.
Sebuah kamera SLR analog dengan lensa zoom 35-70 mm masih menjadi sahabat saya dalam pemotretan gua hingga saat ini, selain ringkas dan “bandel”, kebutuhan akan efisiensi pasca pemotretan masih belum begitu mendesak, meskipun beberapa kali eksperimen dengan kamera saku digital mampu memberikan hasil “bersaing” dalam hal kepraktisan maupun kualitas gambar. Bahkan secara jujur saya akui ada beberapa kelebihan pada kamera digital seperti kekayaan warna dan tingkat kekontrasan gambar yang lebih baik.

Open Flash
Jarak pandang yang hanya beberapa meter ke sekitar kita, dengan lorong yang terkadang hanya muat sebatas badan tidaklah begitu saja membuat seorang pemotret gua menyerah. Dunia fotografi sedemikian luwesnya, begitu fleksibel. Tidak ada satu kondisi pun yang tidak dapat didokumentasikan selama masih ada kemauan yang kuat dari fotografer.
Tiga buah flash yang telah dibungkus plastik transparan….dengan slave units, kamera yang terpasang pada modus bulb dan tersandar kokoh pada tripod, dengan satu komando dari fotografer, maka gambar demi gambar akan segera terekam.
“Open Flash” begitulah kita menyebutnya, tidak ada satu pun flash yang kontak dengan body kamera, sebagai gantinya rekan satu tim bertugas sebagai operator flash.
Pengarahan dari fotografer menjadi penting bagi operator flash, berkaitan dengan konsep foto yang direncanakan dan pencahayaan. Menjaga mood operator flash menjadi tantangan tersendiri bagi fotografer gua, karena bekerja dalam kondisi yang sulit dan tertekan oleh situasi dan kondisi akan cepat membuat sifat asli seseorang muncul ke permukaan.
Open flash membuat kita lebih leluasa memunculkan beberapa efek pencahayaan, termasuk kedalaman dimensi dalam gambar, frontlight….sidelight…backlight…atau bahkan kombinasi antara ketiganya. Dalam beberapa hal saya masih terkesima dengan efek dramatis yang dihasilkan oleh backlight.

Try and Error
Banyak hal yang akan memaksa kita beberapa kali harus menekan tombol shutter untuk obyek yang sama, faktor kegelapan total sering membuat hasil bidikan kita tidak fokus, penggunaan speed lambat membuat camera shake, kabut dari tubuh kita membuat flash tak mampu menembus objek dengan kualitas cahaya cukup sehingga gambar under exposure, dinding gua yang terlapisi mineral kalsit (yang berwarna putih) memantulkan cahaya berlebihan menyebabkan over exposure, kelembaban sering membuat kamera kita macet dan flash cepat lowbatt.
Ketenangan, kesabaran dan tim yang memahami konsep yang diinginkan fotografer setidaknya harus menjadi prioritas disamping faktor safety procedure penelusuran. Beberapa kali toleransi dan perubahan setting pencahayaan juga perlu di lakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Gua menyediakan semua hal yang menarik untuk di potret, bentuk lorong, ornamen gua, aktivitas penelusur, biota gua dan lain sebagainya. Namun jangan pernah terlena oleh dramatisnya hasil pemotretan kita di gua, karena setiap saat potensi bahaya selalu mengancam keselamatan jiwa kita dan rekan-rekan kita. Peraturan tak tertulis dalam kegiatan alam bebas mengatakan “Setiap langkah kita dari pintu rumah menuju alam liar membawa kita pada suatu batas tipis ketidakpastian” Selengkapnya...

FOTOGRAFI GUA

Pendokumentasian kegiatan penelusuran gua memerlukan persiapan yang lebih merepotkan daripada melakukan dokumentasi dilokasi lain. Dalam kesempatan kali ini bentuk dokumentasi yang akan kita lakukan adalah dokumentasi foto.

Kemajuan teknologi yang telah dicapai bidang fotografi dewasa ini sungguh amat mencengangkan, ditinjau dari beberapa hal, fotografi digital diakui atau tidak semakin jauh meninggalkan fotografi konvensional. Beberapa penggemar fotografi yang sebelumnya memutuskan untuk tetap mempertahankan kamera analognya, satu persatu runtuh dan akhirnya harus berdamai dengan keadaan, bermigrasi ke teknologi digital.

Tak terkecuali Fotografi Gua…

Hambatan terbesar yang masih harus dihadapi oleh fotografer gua adalah kondisi ektrem yang tidak pernah berubah dari dulu. Kondisi gelap total tanpa cahaya, kelembaban ekstra tinggi, lumpur, medan berair dan kabut yang seringkali muncul ketika sesi pemotretan berlangsung masih merupakan tantangan yang memiliki nilai tersendiri, terutama bagi mereka yang menggemari pemotretan bawah tanah ini.

Tak ada persyaratan khusus yang harus dimiliki oleh kamera untuk memotret didalam gua, meskipun secara ideal kamera yang ringkas, tahan air, tahan lumpur, tahan benturan dan memiliki pengaturan fungsi secara manual ketika dioperasikan baik sistem fokusnya ataupun sistem pengaturan pencahayaannya (exposure) masih menjadi dambaan fotografer gua, namun tak semua mampu memilikinya, karena dapat dipastikan kita harus mengeluarkan uang dengan nilai cukup tinggi untuk mendapatkan segala yang ideal tersebut.


Solusinya…marilah kita uji seberapa kreatifnya “sel-sel kelabu” kita, karena produsen kamera terbukti masih berbaik hati menyediakan fitur-fitur sederhana yang masih dapat kita manfaatkan untuk menyalurkan hobi kita, memotret dalam gua.

Kamera, yang relatif murah pun jadi….

Jika anda pengguna kamera Digital SLR (Single Lens Reflex), berbahagialah …karena dalam beberapa hal kamera jenis ini memang terbukti handal dalam fotografi bagaimanapun bentuk medannya, hanya tinggal keberanian anda membawanya menuju medan se-ektrem gua, tapi bagi anda yang hanya memiliki kamera digital pocket (kamera saku digital) atau kamera dari jenis compact digital, tak usah berkecil hati…kedua kamera dari jenis terakhir ini pun ternyata cukup bandel dalam menghasilkan gambar-gambar yang “cukup cantik” didalam gelapnya gua.

Yang kita butuhkan pada kamera jenis digital Pocket/Compact, hanyalah fitur yang mengatur kamera tersebut dapat membuka tirai rana-nya lebih lama dari 1 detik. Biasanya fitur ini tersimpan dalam modus pemotretan malam hari (Night Landscape), bisa juga kita mengaktifkan fitur ini hanya dengan mematikan “lampu kilat” internal dalam kamera kita, maka secara otomatis tirai rana dalam kamera kita akan ter-setting lebih lama dari atau setidaknya 1 de
Pada SLR digital (DSLR), tentu saja kita akan lebih leluasa dalam mengatur exposure yang kita inginkan, karena kamera jenis ini dilengkapi dengan fasilitas pengaturan exposure secara terpisah (speed dan diafragma) dengan rentang yang lebih luas dari kamera pocket/compact digital.

Aturlahfungsi kamera secara manual, matikan sistem autofokusnya, setting whitebalance sesuai sumber cahaya, gunakan ISO/ASA-nya dengan nilai yang terendah, (misalkan ISO 100), dan gunakan selftimer untuk mengaktifkan tombol shutternya sehingga bisa mengurangi goncangan yang akan membuat gambar kabur/blur, setting kualitas gambar pada nilai terbagus, kamera anda pun siap untuk digunakan.

Tripod, sahabat yang tidak boleh dilupakan…

Dalam setiap sesi pemotretan di gua, seorang fotografer seharusnya menyediakan sebuah tripod yang kokoh, ringan dan ringkas untuk dibawa-bawa. Tripod dengan bahan dasar karbon atau aluminium alloy merupakan pilihan terbaik karena ringan dan kuat. Usahakan mencari tripod yang memiliki kepala dengan ruang gerak lebih banyak, sehingga kita dapat dengan leluasa memposisikan kamera kita ketika hendak memotret.

Fungsi tripod ini adalah untuk menyangga kamera ketika pengambilan gambar berlangsung, sehingga kamera kita benar-benar tenang tidak ‘terintervensi” oleh gerakan tubuh kita, dan gambar yang kita ambil terekam tanpa adanya gambar yang blur karena camera shake.

Flash/lampu kilat tambahan

Lengkapi diri anda dengan beberapa lampu kilat tambahan, setidaknya 2 atau 3 buah. Carilah lampu kilat yang memiliki GN (Guide Number) besar serta dapat dioperasikan secara manual, jika kondisi finansial mendukung, flash/lampu kilat yang memiliki ”built in slave” (pemicu nyala terintegrasi) akan lebih praktis daripada anda menggunakan slave unit yang terpisah, keuntungannya adalah kita dapat meminimalkan kontak arus terbuka sehingga meminimalkan kemungkinan korlseting ketika flash kita nyalakan di tempat yang memiliki kelembaban tinggi.

Bungkuslah masing-masing flash ini dengan plastik transparan, dan sisipkan 2 buah silika gel untuk mengantisipasi kelembaban berlebih dalam flash kita. Periksa secermat mungkin dan usahakan jangan ada kebocoran pada plastik pembungkus flash kita.

Kenali kekuatan cahaya masing-masing flash (dapat kita baca pada tabel dibelakang flash atau dengan membaca seri yang terdapat dibagian depan), tentukan mana mainflash kita dan mana yang akan digunakan sebagai fill in flash.

Fotografi Kit…

Yang satu ini, tentunya secara logika sudah dapat ditebak, perlengkapan pendukung pemotretan. Banyak fotografer melewatkan momen-momen berharganya ketika terkendala dengan permasalahan-permasalahan yang sebenarnya dapat diantisipasi sewaktu persiapan, seperti kehabisan batere kamera/flash, kehabisan film/memory card, lensa kamera berembun, tertutup lumpur, tertetesi air atau kamera macet dan ngambek, dan lain sebagainya.

Dalam fotografi gua, selain peralatan utama sebagaimana diatas, fotografer gua harus melengkapi dirinya dengan fotografi kit yang terdiri atas kotak kedap air (jika tidak ada dapat digantikan dengan ammobox/kotak peluru milik TNI), tissue lensa, senter kecil, lap tangan, batere cadangan untuk kamera dan flash, payung kecil, plastik transparan cadangan, selotip, pisau lipat atau gunting serta silika gel, jika ingin lebih nyaman lagi, fotografer hendaknya memakai sarung tangan karet yang dapat menjaga tangannya tetap kering dan bersih saat mengoperasikan kamera.

Mencapai hasil maksimal dengan “Tim Work”

Pemotretan didalam gua membutuhkan tim yang solid, inilah yang menjadi tugas berat fotografer selain “urusan teknis” fotografi. Dalam kondisi ideal, setidaknya seorang fotografer membutuhkan 2 – 4 orang asisten, namun ini jumlah tentatif, tergantung berapa banyak sumber cahaya yang akan kita gunakan.

Satu orang bertindak sebagai pendamping fotografer dalam mempersiapkan peralatan memotretnya, selebihnya menjadi operator flash. Menjaga suasana hati tim bukanlah perkara yang mudah, karenanya setidaknya asisten yang membantu fotografer memiliki keahlian dibidang penelusuran gua serta memahami instruksi fotografer tentang bagaimana pencahayaan dilakukan terhadap objek.

Salah satu hal penting yang harus dilakukan oleh fotografer adalah memberikan arahan tentang teknis pengambilan gambar, fotografer harus memaparkan kepada seluruh anggota timnya bagaimana hasil yang diinginkannya, termasuk arah dan sudut pencahayaan, serta jarak sumber cahaya ke objek. Jika semua flash dilengkapi pemicu otomatis (slave unit) tentunya akan semakin memudahkan fotografer, tetapi seorang fotografer juga harus membuat suatu kode-kode tertentu yang harus dipahami oleh anggota timnya berkenaan dengan pengoperasian sumber cahaya/flash.

Mulai memotret…

Setelah semua persiapan beres, masuklah kedalam gua (jumlah minimal yang direkomendasikan adalah 4 orang) sampaikan kepada seluruh tim jika anda ingin mendokumentasikan sesuatu, sebuah ornamen yang menarik misalnya.

Sebelum anda memutuskan mengeluarkan kamera dari “tempat aman”, telitilah sekali lagi apakah tempat anda berpijak benar-benar aman bagi anda maupun properti anda. Letakkan kamera pada tripod, aturlah komposisi sedemikian rupa dengan menggunakan bantuan cahaya yang tim anda bawa (masing-masing orang diharapkan membawa minimal 2 sumber cahaya beserta cadangan energinya), bagi anda yang tidak terbiasa akan terasa sangat sulit meletakkan dimana objek anda seharusnya di dalam frame, apalagi ketika anda mengatur titik fokus. Pengguna DSLR dengan lensa yang memiliki gelang pengukur jarak akan lebih mudah dalam memfokuskan benda yang akan dibidiknya, tapi jika anda masih ragu…gunakan saja diafragma kecil (misal bukaan 8 atau 11).

Untuk kamera pocket/compact, tentu saja akan susah untuk menghindari penggunaan autofolus, yakin saja…pencet tombol release setengah dan pertahankan sampai kamera mengeluarkan indikator bahwa objek telah fokus, bisa dengan suara atau indikator lampu, jangan lupa atur kamera pada modus landscape, pada modus ini kamera anda akan dipaksa untuk menggunakan diafragma sempit sebagaimana layaknya kamera SLR.

Aturlah tim anda dengan masing-masing flash yang dibawa, tentukan dari sebelah mana objek akan anda cahayai, untuk lebih mudahnya…tentukan dulu mana mainflash anda, kemudian letakkan flash-flash alain untuk mengisi ruang-ruang gelap tentunya dengan intensitas cahay yang lebih lemah dibandingkan flash utama anda. Kemudian tekanlah tombol release anda setelah terlebih dulu mengaktifkan self timer pada kamera…ketika tirai rana membuka nyalakan seluruh flash anda (pada kamera pocket digital yang tidak memiliki pengaturan speed manual, jeda buka tirai rana akan sangat sempit waktunya, cahayailah segera begitu terdengar tirai rana membuka). Setelah tirai menutup…anda bisa melihat hasilnya pada LCD kamera, jika kurang puas…bisa anda ulangi lagi dengan merubah-rubah posisi pencahayaan sesuai keinginan/konsep yang ingin anda munculkan.

Praktis dan cukup mudah,
Selamat berkarya….

Diposkan oleh AB Rodhial
Selengkapnya...

Mengenal Gua

Gua (atau disebut “goa” dalam beberapa media cetak) merupakan sebuah bentukan alami berupa ruangan dibawah tanah baik yang berdiri sendiri maupun saling terhubung dengan ruangan-ruangan lain sebagai hasil proses “pelarutan” oleh air maupun aktivitas geologi yang terjadi pada suatu daerah. Gua yang dikenal secara luas oleh masyarakat umum di Indonesia sebagian besar berupa gua-gua kapur, disebut demikian karena gua-gua ini terbentuk di wilayah yang notabene sebagian besar tersusun oleh batukapur (dalam istilah geologi disebut batugamping). Selain terbentuk di daerah kapur, gua juga dapat terbentuk pada daerah vulkanik (atau daerah yang tersusun oleh batuan asal gunung api), biasanya gua-gua vulkanik ini muncul sebagai lorong-lorong yang dulunya merupakan jalan aktivitas magma yang gagal ketika hendak keluar menuju permukaan.

Gua pada batukapur terbentuk akibat aktivitas air purba, secara mudahnya gua-gua batukapur tersebut ada yang terbentuk ketika suatu tempat lokasi gua tersebut ada masih berada dibawah level air tanah (disebut sebagai zona phreatik) dan ada gua-gua batukapur yang terbentuk setelah lokasinya berada di atas level air tanah (zona vadose).

Kenapa gua-gua ini bisa terbentuk ?

Batugamping tersusun atas mineral-mineral yang oleh ahli kebumian disebut sebagai mineral karbonat (rumus kimianya CaCO3), mineral ini memiliki sifat reaktan terhadap larutan asam (sebagai gambaran sederhana batugamping akan berbuih dan tergerus habis/larut ketika bersentuhan dengan larutan asam). Air yang ada di alam ini selalu mengandung asam meskipun memiliki kadar yang berbeda-beda, termasuk air hujan. Ketika air-air tersebut bersentuhan dengan batugamping, baik di permukaan maupun dibawah permukaan, lambat laun batugamping tersebut akan terkikis sedikit demi sedikit, dan tentunya pelarutan oleh asam ini memiliki nilai percepatan yang berbeda-beda di setiap tempatnya.

Apa yang menyebabkan berbeda ?

Kita perlu mengingat kembali bahwa bumi tersusun oleh lempeng-lempeng, seperti biskuit yang kita letakkan diatas bubur yang kental. Lempeng-lempeng tersebut di bedakan menjadi lempeng benua dan lempeng samudra, perbedaan berat jenis material penyusun kedua lempeng tersebut menjadikan lempeng samudra memiliki berat jenis yang lebih besar dari lempeng benua, sehingga dalam skala horizontal ia selalu terletak dibawah lempeng benua. Lempeng-lempeng penyusun bumi ini tidak diam, mereka bergerak secara dinamis meskipun kita tidak pernah menyadarinya. Lempeng samudra selalu terdorong mendekati lempeng benua sebagai akibat pemekaran lantai dasar samudra, sehingga karena berat jenisnya lebih besar, lempeng samudra akan menyusup kebawah lempeng benua, peristiwa inilah yang disebut sebagai subduksi (dalam bahasan lebih mendalam, subduksi ini yang kemudian menciptakan gunung api), sementara gerakan-gerakan lempeng tersebut di sebut sebagai gerak tektonik.

Batukapur/batugamping selain memiliki sifat mudah larut oleh asam, juga bersifat britle, keras tapi mudah patah (nilai elastisitasnya rendah). Gerakan-gerakan tektonik yang ada di bumi (seperti gempa tektonik misalnya) membuat batugamping ini pecah-pecah dan memiliki banyak retakan-retakan, baik retakan dalam skala besar maupun kecil. Pada tempat-tempat yang banyak retakannya inilah proses pelarutan menjadi lebih cepat dibandingkan tempat-tempat yang tidak cukup banyak memiliki retakan. Retakan pada batugamping ada yang telah mengalami pergeseran, baik kearah vertikal maupun horizontal, retakan yang telah mengalami pergeseran disebut sebagai sesar (sesar ini juga bisa terjadi wilayah manapun yang bukan batugamping) sedangkan retakan yang masih belum mengalami pergeseran disebut sebagai kekar.

Berapa lama proses pembentukan gua?

Secara sederhana proses pembentukan gua tersebut memerlukan waktu ribuan tahun, dengan melakukan penelitian yang lebih intensif kita dapat mengetahui secara pasti kapan rentang waktu sebuah gua mulai terbentuk. Karena melibatkan banyak proses, bagian per bagian gua tentunya akan memiliki nilai waktu yang berbeda-beda. Dalam sebuah penelitian yang pernah penulis ikuti di Liang Bua, Flores, kerjasama tim arkeologi nasional dengan sebuah universitas dari Australia, dengan menggunakan radioaktif dapat diketahui bahwa Liang Bua terbentuk dalam kurun waktu 9.000 – 11.000 tahun yang lalu. Kemudian peneliti yang sama juga meneliti sebuah stalaqmit di Gua Jaran, Jawa Timur memiliki umur sekitar 3000 tahun. Bayangkan betapa lambatnya proses tersebut berjalan? Jika umur rata-rata manusia 60 tahun, sebuah stalaktit yang terbilang muda saja membutuhkan 50 generasi manusia dalam proses pembentukannya.

Lalu bagaimana kita memperlakukan gua?

Banyak diantara gua-gua tersebut telah dibuka dan dikelola pemerintah menjadi tempat-tempat wisata, bahkan kehadiran gua sebagai tempat wisata bagi sebuah wilayah seperti Kebumen (dengan gua Jatijajarnya) atau Tuban (dengan gua Akbarnya) atau juga Pacitan (dengan gua Gong dan Tabuhannya) atau daerah-daerah lain seolah menjadi berkah tersendiri karena mampu mendongkrak PAD dimana gua-gua tersebut berada.

Sayangnya…belum ada satupun dari wisata gua tersebut yang dapat dijadikan percontohan sebagai wisata yang berbasis ekosistem dengan baik (atau ekowisata). Pemerintah dan Pengunjung dalam hal ini sama-sama memegang peranan, pemerintah sebagai pengelola belum mampu menggali potensi gua wisata secara maksimal, hampir semua gua yang “dijual” kepada konsumen hanya bermodalkan keindahan ornamen serta bumbu-bumbu mistis yang dibangun dari generasi ke generasi, belum menyentuh nilai-nilai ilmiah yang mampu menjual pengetahuan tentang gua secara lebih logis kepada pengunjung. Pengelola wisata gua, juga belum menyentuh aspek keamanan pengunjung seperti menyediakan perangkat perlindungan konsumen (helm, sepatu boot, dan senter), pengelola lebih tertarik membuat desain yang “over kill” daripada mempertahankan bentuk asli gua namun meningkatkan kualitas pelayanan terhadap konsumen.

Pengunjung, dalam hal ini wisatawan…juga seringkali lupa diri (atau memang belum tahu nilai historis sebuah gua wisata) hingga berbuat vandalis (kerusakan), seperti mencoret-coret dinding gua, melempar-lempar lumpur di dinding gua, bahkan mengambil ornamen tertentu sampai meninggalkan sampah sembarangan.

Alangkah bahagianya jika suatu saat kita membawa anak istri kita berwisata ke sebuah gua, dimana lingkungan guanya masih asli dengan perlengkapan perlindungan diri yang memadai, serta ditemani dengan guide profesional yang mampu memenuhi kebutuhan ilmiah (rasa keinginantahuan) anak kita tentang bagaimana gua tersebut bisa terbentuk, tentang ornamen-ornamen, tentang binatang-binatang gua, dengan disisipi cerita-cerita mistis sebagai bahan selingan selama penelusuran.

“MAMPUKAH ANGAN-ANGAN KECIL INI TERWUJUDKAN…?”
Diposkan oleh AB Rodhial Falah
Selengkapnya...

Bahaya Penelusuran

Sebagai lingkungan yang asing bagi manusia, gua tentu saja menyimpan berbagai potensi bahaya yang harus diwaspadai oleh siapa saja yang hendak menelusurinya, tak terkecuali oleh mereka yang paling berpengalaman sekalipun. Berbagai faktor bahaya yang sering dikemukakan dalam berbagai teori kegiatan alam bebas selalu ber-unsur pada 2 hal yang secara umum dikenal sebagai Objektif Danger (bahaya yang berasal dari lokasi kegiatan) dan Subyektif Danger (bahaya yang berasal dari diri sendiri). Kenyataan dilapangan membuktikan bahwa potensi bahaya yang berasal dari diri sendiri memiliki perbandingan lebih besar terjadi daripada potensi bahaya yang berasal dari gua sebagai lokasi kegiatan, namun tidak berarti kita boleh memandang remeh potensi bahaya yang di miliki oleh sebuah gua, dalam kegelapan dan kesunyiannya…sebuah gua bisa saja menyimpan sesuatu yang mematikan tanpa kita sadari.


Teknik Penelusuran Wajib Di Miliki & Di Kuasai

Sebagai antisipasi terhadap potensi bahaya yang bisa muncul dari diri sendiri, seseorang yang berniat ingin menelusuri gua hendaknya membekali diri dengan pengetahuan teknik penelusuran gua, baik teknik penelusuran gua horizontal maupun vertikal.

Untuk sekedar bisa memasuki gua dengan aman dan nyaman (tanpa ada misi tertentu seperti pemetaan gua, memotret, membuat film, tindakan penyelamatan, dsb), seorang calon penelusur gua diharapkan menguasai ketrampilan gerak seperti berjalan biasa (walking), berjalan membungkuk (bear walking), merangkak (crawling), merayap (creeping), merayap melewati bongkah besar dilorong sempit (squezing) dan berjalan jongkok (ducking), kelihatannya sepele…namun jangan salah, jika kita tidak biasa melakukannya (atau setidaknya tidak biasa melatih kelenturan otot-otot tubuh kita) dijamin akan merupakan siksaan tersendiri selama melakukan “aktivitas-aktivitas biasa” tersebut di dalam gua, bahkan ketika kita harus melakukannya dalam durasi yang cukup lama, seperti ketika kita harus merangkak atau merayap atau jalan jongkok sejauh 2 kilometer dalam kondisi lorong berlumpur.

Kondisi lorong gua yang bervariasi juga menuntut kita untuk menguasai berbagai gerakan dasar pemanjatan tebing, seperti berjalan diantara celah yang dalam (bridging dan chimneying), juga teknik-teknik pegangan seperti laybacking, undercuting, jamming, mantleselfing hingga kemampuan rock climbing dalam arti sebenarnya.

Ketika gua yang akan ditelusuri berupa lorong-lorong vertikal, ketrampilan SRT (single rope technique) dan simpul harus dilatih sedemikian rupa, hingga semua ketrampilan tersebut menjadi kebiasaan dan gerak reflek kita akan terbentuk serta terarah dengan benar. Dalam kondisi panik dan tertekan, seorang penelusur gua yang sedang bergantung pada seutas tali, tanpa memiliki pengendalian emosi yang baik dan gerak reflek yang terarah dengan benar, sering berbuat sesuatu yang konyol sehingga berakibat buruk bagi keselamatan yang bersangkutan.

Bahkan seorang yang memiliki tingkat mahir sekalipun, sebaiknya melakukan refresing teknik SRT setidaknya sehari atau dua hari sebelum kegiatan penelusuran dilakukan.


Waspada Pada Lorong Berair

Dalam kondisi tertentu, tak jarang seorang penelusur gua menemukan lorong berair berupa kolam-kolam yang tak jelas berapa dalamnya, bahkan sungai-sungai bawah permukaan baik yang berarus tenang maupun berarus liar. Tentu saja kemampuan berenang menjadi kebutuhan vital dalam kasus ini. Jika kita biasanya berenang menggunakan pakaian renang, dalam penelusuran gua berenang akan berubah menjadi sebuah aktivitas yang cukup memakan energi, perangkat keamanan yang kita kenakan seperti sepatu boot, coverall (pakaian penelusuran yang mirip seragam mekanik/wearpack), helm serta alat penerangan tentu saja akan membuat kita sedikit kerepotan. Mengenakan pelampung yang baik dan layak akan menjadi solusi terbaik meskipun kita memiliki kemampuan berenang bagus, bentukan lorong yang sempit dengan atap rendah terkadang membatasi gerakan kita, juga barang-barang yang kita bawa seperti tas (tacklebag) yang berisi logistik maupun box perlengkapan pemetaan atau peralatan fotografi.

Scouting, istilah yang dikenal dalam kegiatan arung jeram ketika membaca arus utama sungai, merupakan salah satu kemampuan yang sebaiknya dimiliki oleh penelusur gua ketika hendak menelusuri sungai bawah tanah yang berarus kuat. Bentukan dinding sungai di dalam gua tidak berbeda jauh dengan sungai di permukaan, istilah undercut yang memiliki arus hidrolik akan banyak ditemui oleh penelusur gua, belum lagi jika ditambah dengan bebatuan runcing yang menjadi ciri khas batugamping ketika tergerus oleh arus sungai. Perahu atau kayak yang sering kita pakai, sebaiknya dikendalikan oleh skipper terlatih jika tidak ingin terkoyak oleh bebatuan runcing tersebut, selain itu stalaktit yang menggantung di atap gua, terkadang menjadi ancaman tersendiri ketika ujung-ujungnya yang tajam menjuntai hingga menyentuh permukaan air.

Banjir, Monster Menakutkan Di Lorong Bawah Tanah

Musim hujan biasanya membuat penelusur gua kebanyakan memilih “gantung coverall” daripada melakukan aktivitas caving. Logikanya sederhana, gua yang semula berfungsi sebagai zona larian air dari permukaan menuju bawah permukaan, akan kembali menjadi fungsinya semula selama musim hujan berlangsung, terutama gua-gua yang memiliki entrance di dasar-dasar lembah. Seberapa besar banjir didalam gua sebenarnya dapat di monitor dari berapa luas daerah tangkapan air hujan dilokasi entrance berada, juga dengan melihat jejak-jejak banjir di dalam gua, biasanya berupa sampah atau ranting-ranting yang menempel di dinding hingga atap gua.

Seorang penelusur, (jika terpaksa caving di musim hujan) sebaiknya melakukan orientasi detail terhadap hal tersebut diatas, juga harus mampu menentukan tempat-tempat yang dirasa aman ketika banjir sewaktu-waktu datang menerjang. Persiapan logistik darurat mesti diperhitungkan, karena kadang ketika banjir datang dan kita terjebak di “tempat aman” bisa jadi akan memakan waktu berhari-hari hingga air kembali normal. Kepekaan intuisi seorang penelusur bisa jadi akan menyelamatkan seluruh anggota tim, seperti mengenali tanda-tanda ketika banjir datang, air yang mulai berubah menjadi lebih keruh, bau lumpur pekat yang menyengat, hingga suara gemuruh yang menciutkan nyali. Namun, terkadang intuisi kita tak mampu memberikan sinyal apa-apa ketika banjir mengancam, hingga semuanya serba terlambat dan kita hanya bisa menyerah pada nasib dan keberuntungan semata.

Batu-Batu Pun Bisa Runtuh

Dinding dan atap gua tersusun atas batuan gamping yang memiliki sifat britle, keras tapi mudah patah, sehingga memiliki pola-pola retakan sedemikian rupa yang tidak semua dari kita menyadarinya. Sebagai bagian dari batuan sedimen, batugamping ada yang bersifat masif (pejal) dan ada yang memiliki bidang-bidang perlapisan, yang membuatnya seperti kue lapis. Ada batugamping yang berlapis tipis-tipis dan sejajar atau dikenal dengan laminasi, tapi ada juga yang berlapis tebal-tebal membentuk bedding. Batuan sedimen penyusun gua ini tidak begitu saja terendapkan tanpa gangguan apapun, Pada daerah yang memiliki banyak struktur geologi, tentunya akan memiliki susunan batugamping yang porak-poranda, misalkan saja pada daerah-daerah yang terpotong oleh sesar.

Kembali pada kedetailan orientasi seorang penelusur, gua yang terletak pada daerah yang memiliki sesar, seorang penelusur akan banyak melihat reruntuhan bebatuan dan banyak diantara boulder atau bongkah batu justru masih tergantung diatap-atap gua atau dinding gua., biasanya bebatuan yang siap jatuh tersebut hanya terganjal oleh bebatuan lain yang lebih kecil, bahkan hanya terganjal oleh lumpur. Kondisi seperti ini juga dimungkinkan ketika gua terbentuk oleh proses runtuhan (collapse doline) dan proses pelarutan (solutional doline)

Jatuhnya bebatuan yang menggantung diatap atau di dinding gua tersebut, bisa dipicu oleh getaran yang cukup besar, seperti gempa, atau bahkan hanya oleh gema suara penelusur yang terlalu berisik.

JANGAN PERNAH MELEPASKAN HELM yang kita kenakan akan menjadi pilihan bijak ketika kita berada dalam gua, jika kita terpaksa akan membuka helm untuk keperluan tertentu, carilah tempat yang benar-benar dirasa aman dari potensi runtuhan.

Dalam beberapa kasus, seorang penelusur yang memegang disiplin tetap menggunakan helm penelusuran, ketika sebuah batu menimpanya, beberapa ada yang selamat tanpa luka sedikitpun, dan beberapa ada yang mengalami luka serius, karena tulang leher dan tulang punggungnya mengalami dislokasi atau patah, karena memang tulang kita tidak didesain untuk menerima beban kejut yang besar dari sebuah batu yang berat.
AB Rodhial Falah
Selengkapnya...

Awas Binatang Berbisa

Dalam sebuah ekpedisi pendataan dan pelacakan sistem hidrologi karst akhir tahun 2006 lalu di kawasan karst Grobogan - Jawa Tengah, saya sempat terperangah ketika menelusuri sebuah gua yang ternyata menjadi (semacam) kerajaan ular. Tidak tanggung-tanggung, dalam gua itu puluhan ekor ular berdiam dan tersebar di beberapa titik, mulai dari mulut gua (yang dikenal sebagai zona terang), ruangan di bawah mulut gua (atau dikenal sebagai zona peralihan, kebetulan gua itu tergolong gua vertikal) hingga jauh di dalam lorong yang dikenal sebagai zona gelap abadi.

Beberapa jenis ular yang mampu saya kenali rata-rata memiliki racun tinggi, seperti ular welang (bungarus fasciatus), ular bandotan tanah (Vipera russelli) dan ular kobra (Naja Sputatrix). Diantara mereka ada juga jenis ular pembelit seperti ular sanca kembang (Python reticulatus) yang ukurannya sudah sebesar lengan orang dewasa.

Yang menggelitik penulis dan beberapa rekan penelusur dari ASC (Acintyacunyata Speleological Club) adalah beberapa teori yang ada tentang biospeleologi selama ini selalu menyebutkan bahwa ular adalah biota yang masuk pada kategori trogloxene alias binatang tamu, dimana siklus hidupnya tidak berlangsung sepenuhnya didalam gua. Paling sial, jika ia berada jauh kedalam zona gelap abadi, kemungkinan karena faktor accidental, seperti terjatuh atau terbawa banjir. Menyimak perilaku mereka, seperti tingkat agresivitas ketika melihat cahaya, ular-ular ini sepertinya “adem ayem” saja, seperti bilang “Asal jangan senggol gue aja, lu jual…gua beli deh” begitu kira-kira gambaran sederhananya.

Hipotesa sementara, ular-ular yang melimpah ini barangkali sudah memiliki tingkat adaptasi pada lingkungan yang cukup mapan, diimbangi dengan daya dukung makanan yang melimpah seperti katak dan kelelawar. Untuk lebih jelasnya, kajian yang lebih mendalam perlu dilakukan lebih lanjut terhadap fenomena ini (penulis hanya memiliki pengetahuan sedikit tentang biota dan perilakunya).

Selain ular, binatang seperti kalajengking dan lipan juga berkali-kali muncul dalam perjalanan dilorong bawah tanah. Sengatan kalajengking atau lipan tidak kalah menyakitkannya dibandingkan gigitan ular, meskipun jarang menyebabkan kematian.

Uropighi atau sering dikenal sebagai Psedoscorpion dengan semprotan asam cukanya tergolong biota yang patut kita waspadai, jika kita gegabah bisa saja mata kita dijadikan pedih dan buta sesaat akibat terkena semprotan cairan dari ekornya.

Catatan :

- Ular Kobra (Naja Sputatrix), memiliki racun neurotoksin yang menyerang syaraf dan racun hemotoksin yang merusak jaringan darah yang menyebabkan rasa terbakar dan rasa sakit yang luar biasa, apabila tidak lekas tertolong, korban bisa meninggal dunia. Ular Kobra cenderung agresif dibandingkan ular berbisa lainnya. Warnanya hitam legam, bila merasa terancam akan menegakkan badan dan mengembangkan lehernya seperti di film-film India.

- Ular Welang (Bungarus Fasciatus), memiliki racun neurotoksin. Tercatat sebagai pembunuh paling mematikan dibandingkan Kobra. Sebab utamanya adalah kecenderungan korban tidak sadar kalau telah tergigit ular jenis ini. Penderita baru menyadari jika telah merasakan sesak nafas, sementara racunnya telah menyebar ke seluruh tubuh. Ular ini tergolong pemalu dan sulit di deteksi keberadaannya secara sekilas pandang. Warna gelang-gelang hitam putih, dan ukurannya biasanya tidak melebihi besar ibu jari, namun hati-hati, jangan pernah menyentuh ular ini tanpa menggunakan tongkat. Ular Welang senang berdiam di dinding-dinding gua.


AB Rodhial Falah
Yogyakarta, Indonesia
Penelusur & Praktisi Fotografi Goa
Selengkapnya...

Minggu, 09 November 2008

pola diksar yang tepat??

sebuah organisasi memerlukan regenerasi agar roda organisasi dapat terus berjalan sesuai dengan apa yang mendasari terbentuk nya organisasi tersebut. MAPALA merupakan salah satu
organisasi kepecinta alaman yang banyak berkegiatan di alam bebas.berawal dari satu hobi atau kegemaran yang sama maka terbentuk lah wadah atau organisasi.
MAPALA dalam perekrutannya memiliki beberapa macam tahap agar dapat menjadi anggota nya.
tiap tiap MAPALA mempunyai masing masing cara dalam tahap pengrekrutannya.
Pedidikan dasar atau lebih sering di sebut DIKSAR merupakan tahap yang harus dilalui agar
dapat menjadi salah satu anggota MAPALA.
tujuan dari diksar itu sendiri adalah agar calon anggota tersebut memiliki basic dalam organisasi kepecinta alaman.
tapi apakah hanya sekedar agar calon anggota tersebut memiliki basic?
apa yang didapat kan nya dari DIKSAR itu?
DIKSAR itu sendiri memiliki sistim tersendiri dan juga bebagai macam adat dan adab..
apakah ketika calon tersebut berada dalam sistim DIKSAR dapat menerima materi dengan maksimal?

sudah menjadi rahasia umum bahwa sistim diksar mapala merupakan hampir mendekati semi militer.
ketika kita berada di bawah tekanan, ku rasa kita tidak dapat menerima sesuatu dengan maksimal.
dan itu merupakan bawaan tiap manusia.kecuali dia telah terbiasa melewati keadaan di bawah tekanan.
bagai mana dengan kelelahan ? ketika tubuh dalam kondisi lelah kerja otak berkurang lebih dari 30 %.

penguasaan materi yang di berikan pada saat diksar tak semuanya dapat di terima dengan baik oleh anggota.
seperti orang bijak mengatakan kerja 100% belum tentu dapat 100%
jadi apa yang di cari dari diksar tersebut?

diksar bukan sekedar pemberian materi tentang keoraganisasian tetapi juga bertujuan yang lain.

pembentukan karekter mungkin? loyalitas organisasi? jati diri?pola pikir? ikatan batin antar anggota?
menurut ku itu semua merupakan tujuan dari diksar itu sendiri.
tapi muncul pertanyaan,sejauh mana targetan itu telah di capai?

sulit untuk di kesampingkan bahwa fakta yang ada adalah seleksi alam lebih berperan dalam pembentukan semua targetan itu.
pasca diksar lebih berpengaruh di bandingkan pada saat diksar itu sendiri. Selengkapnya...

Kamis, 06 November 2008

Gua suruman besak


ini merupakan entrace dari gua suruman besak, gua suruman besak meupakan gua horizontal yang memiliki beberapa entrace.
terdapat 2 mulut vertikal dan 2 mulut horizontal.
secara geografis goa suruman besak terletak di kawasan karst kikim lahat dengan kondisi alam perbukitan.dan juga merupakn kawasan karst tertutup.

pondok ini terdapat tepat di samping atas mulut gua suruman besak,kawan kawan legua mengunakannya sebagai tempat camp.

entrace gua suruman besak memiliki chamber yang cukup besar saat pas ketika kita masuk. memiliki diameter 30 an meter dengan tinggi atap gua mencapai 80-an meter.
di chember ini terdapat mulut horizontal yang terdapat diatas nya. terlihat sublinght memancar di kegelapan.
Selengkapnya...

Kebersamaan sungguh sangat terasa indah......
aku mengenal kawan 2 legua dengan berbagai macam karakter
dan aku akan tetap terus mencoba memahami mereka....

legua nian

legua nian

light

light
Powered By Blogger

Pilar Bumi

Pilar Bumi

Stalagmit

Stalagmit

interior goa

interior goa
allah menciptakan keindahan dalam kegelapan abadi.

Followers

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by Legua Caving & Speleologi