Sabtu, 04 Juni 2011

ASPEK EKOLOGI KAWASAN KARST (Oleh : Otto Soemarwoto)

Ringkasan
Kawasan karst umumnya mengalami kekurangan air secara
berkala, mempunyai risiko erosi yang besar dan potensi
produktivitas yang rendah. Penduduknya umumnya melarat,
tingkat pendidikannya rendah. Karena tekanan penduduk, banyak
kawasan karst mengalami kerusakan lingkungan. Oleh karena itu
kawasan karst yang berpenduduk, memerlukan pembangunan.
Pembangunan itu harus bijaksana, yaitu yang terlanjutkan
(sustainable), sehingga pembangunan itu harus memenuhi syarat :

1. Dapat memberikan manfaat yang wajar kepada penduduk
kawasan karst itu.
2. Dapat menciptakan lingkungan biofisik yang terus
mampu mendukung kehidupan penduduk pada tingkat
yang Makin tinggi.
Dalam perencanaan pembangunan perlu dilakukan Analisis
Dampak Lingkungan , dengan memperhatikan tidak saja dampak
potensial yang lokal, melainkan juga dampak potensial secara
luas.

Kawasan karst banyak terdapat di Indonesia, tersebar di banyak
pulau. Di banyak tempat batugamping, kawasan karst telah lama
dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku industri kapur yang
dikerjakan dengan cara tradisional dengan teknologi yang
sederhana. Akhir-akhir ini pemanfaatan batugamping Makin
meningkat, yaitu sebagai bahan baku pabrik semen dengan
teknologi modern. Adapula goa di kawasan karst yang
dimanfaatkan sebagai
sumber bahan pupuk guano. Akhir-akhir ini kapur juga mulai
digunakan untuk pengapuran tanah masam di daerah transmigrasi.
Kecuali itu goa juga Makin banyak digunakan untuk
pariwisata. Dengan Makin meningkatnya laju
pembangunan, dapat diperkirakan akan kapur dan semen sebagai

bahan bangunan, kapur untuk pengapuran tanah masam, pupuk
dan obyek wisata akan meningkat pula. Karena itu pemanfaatan
kawasan karst juga akan makin banyak. Akan tetapi disayangkan
pemanfaatan yang Makin meningkat itu tidak disertai oleh
penelitian yang memadai untuk dapat menjamin pembangunan
yang terlanjutkan (sustainable).

Makalah ini menguraikan beberapa aspek ekologi yang berkaitan
dengan kawasan karst untuk sekedar menunjukkan, perlunya
adanya penelitian yang lebih luas daripada yang langsung
berhubungan dengan pemanfaatannya, agar pembangunan itu
dapat terlanjutkan. Penulis sama sekali tidak bermaksud untuk
mempertentangkan antara pemanfaatan, yaitu pembangunan, dan
pencagaralaman (nature conservation). Keduanya saling
membutuhkan dan saling mengisi. Tanpa pemanfaatan,
pencagaralaman akan gagal. Sebab, desakan akan sumber daya
Makin meningkat sehingga justru akan terjadi pemanfaatan
sumber daya yang berencana dan tak terkendali.

Sebaliknya pemanfaatan tanpa pencagaralaman juga akan
membawa kegagalan. karena pemanfaatan itu berjangka
pendek, sehingga tidak meninggalkan apa-apa untuk anak
cucu-kita. Bahkan dapat terjadi dampak lingkungan yang
luas yang dapat menyebabkan keambrukan pembangunan.
Oleh karena itu yang menjadi pertanyaan bukanlah setuju
atau tidak setuju memanfaatkan kawasan karst, melainkan
bagaimana memanfaatkan kawasan karst itu secara
bijaksana.. Sebab daerah karst pun adalah sumberdaya dan
karena itu sudah selayaknya kita memanfaatkannya untuk
pembangunan. Tetapi pemanfaatan itu harus menghasilkan
pembangunan yang terlanjutkan.

Aspek Biofisik
Di kawasan karst sering terdapat lereng yang terjal. Tidak jarang
lereng itu tegak lurus. Hal ini dapat kita lihat, misalnya, dari jalan
raya Bandung - Jakarta di daerah Padalarang. Dinding yang terjal
itu sering runtuh dan runtuhan itu terdapat di kaki lereng. Struktur
geologi tertentu, misalnya adanya patahan, sering pula
menjadikan bagian tertentu kawasan karst tidak stabil dan tanah
mudah bergerak atau longsor, sehingga hubungan jalan Bandung -
Jakarta terputus.

Karena proses fisik-kimiawi tanah di kawasan karst mengandung
banyak celah di batugampingnya. Dengan demikian air hujan
mudah meresap ke dalam dan hanya sedikit saja yang tinggal di
atas atau dekat permukaan tanah. Sebaliknya tanah yang
terbentuk sering mengandung tanah liat dan sukar untuk
meresapkan air, sehingga air hujan banyak yang mengalir
sebagai air larian (run-off) di permukaan tanah. Kombinasi
antara hilangnya air ke dalam tanah melalui celah-celah
batugamping dan hilangnya air sebagai air larian, menyebabkan
di kawasan karst umumnya kekurangan air pada musim
kemarau, yang merupakan masalah yang serius. Di samping itu
besarnya air larian juga menyebabkan adanya risiko erosi yang
besar. Lereng yang curam membuat masalah ini menjadi lebih
parah, apalagi di tanah yang berlereng itu lapisan tanahnya tipis.
karena kekurangan air secara berkala dan risiko erosi yang besar,
daerah karst umumnya mempunyai kapasitas produksi yang
rendah.

Di lereng yang curam, tumbuhan sering mengalami kekurangan
air. Di daerah itu terdapat tumbuhan yang mempunyai sifat
poikilohidri, yaitu mempunyai ketahanan yang besar terhadap
kekurangan air secara berkala. Pada waktu kekurangan air
tumbuhan kehilangan sebagian besar cairannya tanpa mengalami
kematian. Pada waktu hujan jatuh, dengan segera tumbuhan itu
menjadi segar kembali.

Di daerah yang lerengnya tidak begitu terjal, dapatlah
terbentuk hutan. Tetapi jumlah jenis per satuan luas di hutan
kawasan karst tidaklah besar dan lebih kecil jika
dibandingkan dengan hutan meranti-merantian ataupun
bahkan hutan kerangas. Kepadatan pohon di hutan kawasan
karst juga relatif rendah. Dengan adanya sifat lingkungan
yang khas di kawasan karst, tumbuhan yang ada di kawasan
itu juga banyak yang khas. Misalnya, Anwar dkk. (1984)
mengutip laporan, sebanyak 1.216 jenis tumbuhan yang
terdapat di bukit gamping di Semenanjung Malaya. Dari
sejumlah itu 254 jenis atau 21 % hanya terdapat di bukit
batugamping dan 130 jenis dari 254 jenis itu (51%) adalah
endemic untuk semenanjung Malaya. Fauna di daerah karst
juga menunjukan kekhasan.

Di kawasan karst umumnya terdapat banyak goa besar atau kecil.
Goa itu terbentuk karena merembesnya air hujan yang
mengandung C02 dan bersifat asam melalui celah-celah di
batugamping. Goa mempunyai sifat yang khas, terutama goa
yang besar, karena pengaruh siang dan malam, angin dan
sebagainya makin berkurang makin dalam kita masuk ke dalam
goa. Misalnya, kelembaban di dalam goa yang dalam adalah
tinggi dan tidak banyak berfluktuasi. Suhu juga hampir konstan
sepanjang hari. Di dalam goa yang dalam sinar matahari tidak
terlihat, sehingga terdapat kegelapan yang terus menerus. Jadi
fluktuasi diurnal tidak terdapat di dalam goa yang dalam. Hal ini
tidak berarti bahwa keadaan lingkungan di seluruh goa adalah
homogen. Sebaliknyalah. Perbedaan lingkungan yang besar
dapat terjadi antara bagian goa yang satu dengan bagian yang
lain. Ada bagian yang mempunyai pergantian udara yang lebih
cepat daripada bagian yang lain. Adapula bagian yang lebih
terisolasi daripada bagian yang lain. Periode waktu terisolasi pun
berbeda-beda (Poulson and White, 1969). Stalaktit dan stalagmit
juga tidaklah tersebar secara merata. Karena itu luas habitat juga
berbeda-beda. Demikian pula hewan yang hidup dalam goa
tidaklah tersebar secara merata (Anwar dkk.,1984). Kelelawar
dan walet, misalnya, hanya terdapat di tempat-tempat tertentu
saja. Kelelawar dan walet mempunyai pengaruh yang besar
terhadap penyebaran hewan yang lainnya dan bakteri serta
jamur. Sebab di dalam goa yang gelap itu, energi untuk
kehidupan tidak langsung tersedia di dalam goa karena tidak
adanya fotosintesis. Energi itu berasal dari luar goa. Sebagian
energi dibawa oleh akar tumbuhan yang menembus dinding goa.
Sungai di bawah tanah yang semula mengalir di atas tanah
mengandung pula bahan organik. Kandungan bahan organik
tinggi, apabila bahan organik jatuh ke dalam goa melalui lubang
goa (luweng). Hewan yang sebagian hidupnya berlangsung di
dalam goa, seperti kelelawar dan walet, membawa energi untuk
kehidupan di dalam goa. Kelelawar tertentu dan walet hidup dari
insekta. Ada pula kelelawar yang hidup dari tepung sari dan
madu bunga. Pada waktu kelelawar ini mengunjungi bunga itu,
terjadilah pula penyerbukan. Beberapa jenis bunga yang
diserbuki oleh kelelawar ialah durian, petai, pisang dan
tumbuhan bakau tertentu. jadi kelelawar dan walet merupakan
bagian jaring-jaring kehidupan di luar goa. Energi yang terdapat
dalam makanan hewan itu dibawa oleh kelelawar dan walet dari
luar goa ke dalam goa. Kotoran hewan itu menjadi makanan
hewan yang lain, misalnya kecoa dan kumbang jenis tertentu.
Juga jamur dan bakteri hidup dari kotoran itu. Ada pula
kelelawar dan walet yang mati dan bangkainya menjadi makanan
hewan, misalnya lalat dan bakteri serta jamur. Di dalam goa juga
terdapat pemangsa kelelawar dan walet, serta ada pula pemakan
telur walet. Organisme lain lagi hidup dari akar pohon yang
menembus dinding, baik dari sekresi yang keluar dari akar itu,
dari akarnya sendiri, maupun dari sisa akar yang mati, dan dari
bahan organik yang terbawa oleh arus air. Dengan demikian
terjadilah suatu jaring-jaring makanan yang rumit di dalam goa
yang didasarkan pada energi yang berasal dari fotosintesis di luar
goa. Jaring-jaring rnakanan itu terdiri atas komunitas yang hidup
di langit-langit goa dan komunitas yang hidup di lantai goa yang
saling berkaitan. Jaring-jaring makanan itu tidak berdiri sendiri,
melainkan tak terpisahkan dari jaring-jaring makanan di luar goa.
Karena itu perubahan di luar goa akan mempengaruhi kehidupan
di dalam goa dan sebaliknya.

Karena adanya lingkungan goa yang khas dengan mudah dapat
dimengerti bahwa organisme goa juga mempunyai kekhasan
tertentu. Organisme itu melalui proses evolusi telah
mengadaptasikan diri pada lingkungan yang khusus itu (Poulson
dan White, 1969). Karena itu goa juga merupakan suatu bank gen
Aspek Sosia1 Budaya
Kehidupan manusia di suatu daerah berkaitan erat dengan sifat
bio-fisik daerah tersebut. Kawasan karst umumnya merupakan

daerah yang sulit

untuk kehidupan manusia. Kekurangan

air secara berkala, risiko erosi yang besar dan kemiringan lereng
yang besar yang mempersulit pengembangan pertanian,
merupakan faktor kendala yang serius untuk kehidupan manusia
di daerah itu. Walaupun demikian, sejak jaman purbakala goa
yang banyak terdapat di kawasan karst telah digunakan oleh
manusia sebagai tempat pemukiman, karena goa memberikan
perlindungan terhadap angin, hujan, terik matahari serta serangan
hewan dan manusia lain. Karena itu kawasan itu pada umumnya
dan goa pada khususnya mempunyai arti penting untuk penelitian
arkeologi.

Karena tingkat produktivitas yang rendah, di daerah yang
berpenduduk, tekanan penduduk dengan cepat meningkat
pertumbuhannya. Hutan pun dijamah oleh penduduk untuk
mempertinggi produksi pangan agar dapat berpacu dengan laju
pertumbuhan penduduk. Luas hutan makin lama makin
berkurang, sehingga akhirnya hampir seluruh daerah menjadi
gundul tak berhutan. Erosi pun makin menjadi-jadi. Dengan ini
kesuburan tanah makin menurun. Terjadilah lingkaran setan
yang tak ada habisnya : penduduk makin melarat, erosi makin
bertambah, produksi makin turun dan penduduk makin melarat
lagi.
Pemanfaatan batugamping untuk dijadikan kapur juga tidak
banyak menolong. Kebanyakan pengusaha, terutama para
buruhnya, hidupnya pas-pasan saja atau bahkan serba
kekurangan. Untuk bahan bakar digunakan kayu-kayuan di
daerah itu. Karena regenerasi pohon-pohon berjalan lambat, laju
penebangan melampaui laju regenerasi, sehingga dalam waktu
yang tidak terlalu lama daerah itu menjadi gundul. Dengan
demikian industri kapur itu mempercepat penggundulan kawasan
karst.
Berdasarkan uraian di atas itu tidaklah mengherankan, di
kawasan karst banyak terjadi tanah kritis yang mengalami erosi
yang berat. Dengan adanya pertumbuhan penduduk, laju erosi
itupun meningkat dengan waktu. Penduduknya melarat dan
bahaya kekurangan pangan sering terjadi. Daerah Yogyakarta
selatan merupakan contoh yang nyata walaupun akhir-akhir ini
nampaknya ada perbaikan.
Karena kemelaratan penduduk di kawasan karst, produktivitas
kerja penduduk itu adalah rendah. Lagi pula kemelaratan
penduduk itu juga mengakibatkan, mereka tidak mampu utuk
menyekolahkan anaknya. Ketidakmampuan itu melainkan
terutama karena anak-anak sudah sejak sangat muda harus ikut
bekerja untuk membantu mencari makan. Tingkat pendidikan
yang rendah ini mempunyai akibat, penduduk itu tidak mampu
untuk menolong diri sendiri. Tidak hanya itu saja kesulitannya.
Merekapun tidak mampu untuk melihat adanya kesempatan baru,
apabila di daerah itu diadakan pembangunan, misalnya dengan
didirikannya sebuah pabrik semen. Atau apabila mereka melihat

adanya kesempatan baru itu,

mereka tidak mampu

untuk memanfaatkannya karena mereka tidak mempunyai
keterampilan yang diperlukan. Demikian pula efek ganda
(multiplier effects) yang diciptakan oleh pembangunan itu,
misalnya warung, transport, dll. tidak teraih oleh mereka. Sebab,
di samping mereka tidak mempunyai keterampilan, mereka juga
tidak mempunyai modal yang diperlukan. Alhasil mereka hanya
dapat menonton saja. Atau bahkan dapat lebih parah lagi, karena
mereka kehilangan sumber daya yang dipakai untuk
pembangunan itu, terutama lahan. Walaupun pemilik lahan yang
terpakai itu mendapat ganti rugi, namun secara keseluruhan luas
lahan yang tersedia untuk penduduk berkurang, sehingga tekanan
penduduk meningkat (lihat rumus 2). Dengan demikian
pemerataan pembangunan secara geografis, tidaklah selalu
membawa pemerataan pembagian manfaat pembangunan. Jadi
dengan pemerataan pembangunan secara geografis itu dapat
terjadi kesenjangan dalam tingkat pendapatan dan tingkat hidup
menjadi lebih besar antara penduduk kawasan karst dan terutama
penduduk kota.
Uraian diatas menun,jukkan pembangunan diperlukan di kawasan
karst. Pembangunan itu diperlukan untuk menaikkan tingkat
hidup penduduknya. Tanpa adanya pembangunan, penduduk akan
makin menjadi melarat. Dan dengan makin dalamnya jurang
kemelaratan, kerusakan lingkungan juga akan makin parah. Jadi
tanpa pembangunan, lingkungan karst itu akan hancur. Dengan
hancurnya ligkungan karst itu akan ambruklah masyarakat yang
hidup di daerah itu. lnilah alasan yang paling kuat untuk tidak
mempertentangkan perlu atau boleh tidaknya diadakan
pembangunan di daerah karst. Yang menjadi masalah ialah
bagaimana melakukan pembangunan yang bijaksana. Sebab
pembangunan yang - tidak bijaksana justru akan mempercepat
keambrukan.

Pembangunan yang bijaksana di daerah karst menyangkut dua hal
penting yang menentukan terlanjutkannya pembangunan, yaitu :
1. Pembangunan itu harus dapat memberikan manfaat yang
wajar kepada penduduk kawasan karst itu. Ini
menyangkut permasalahan ekologi manusia (human
ecology) dan
2. Pembangunan itu harus menciptakan lingkungan biofisik
yang terus mampu mendukung kehidupan penduduk pada
tingkat yang makin tinggi. lni menyangkut permasalahan
pencagaran proses ekologi yang esensial dan menghindari
terjadinya kepunahan jenis, baik yang telah
dibudidayakan maupun yang masih liar.

Permasalahan Ekologi Manusia
Permasalahan ini sebagaian telah diuraikan di atas.
Permasalahan utamanya ialah adanya hokum ekologi yang
menyatakan: Bila dua sistem yang berbeda tingkat
perkembangannya dihubungkan, sistem yang kurang
berkembang akan dieksploatasi oleh sistem yang lebih
berkembang (Margalef, 1968). Oleh karena itu
pembangunan sistem komunikasi yang menghubungkan
kota dan desa kawasan karst mempunyai dua fungsi yang
saling berlawanan. Fungsi pertama ialah sebagai sarana
pembangunan, sedangkan fungsi kedua ialah sebagai sarana
eksploatasi desa oleh kota, karena kota lebih berkembang
daripada desa. Fungsi pertama kita ketahui, tetapi fungsi
kedua tidak pernah kita sadari. Oleh karena itu
pembangunan di pedesaan selalu mengandung risiko, yang
mendapat keuntungan bukanlah orang desa melainkan orang
kota (Soemarwoto, 1979). Untuk menghindari hal ini, pada
waktu perencanaan pembangunan di kawasan karst,
haruslah direncanakan pula agar fungsi sistem komunikasi
sebagai sarana pembangunan dapat diperbesar, sedangkan
fungsi sebagai sarana eksploatasi dapat diperkecil menjadi
sekecil-kecilnya. Untuk mencapai tujuan ini, semua proyek
pembangunan di daerah pedesaan kawasan karst dalam fase
perencanaannya harus mengidentifikasi :

a. Manfaat sebanyaknya yang dapat diraih oleh rakyat
pedesaan dan persyaratan apa saja yang harus dipenuhi,
agar manfaat itu dapat dinikmati oleh rakyat pedesaan.
Pada umumnya syaratnya ialah adanya latihan dan
pendidikan untuk mendapatkan keterampilan yang
diperlukan, kredit untuk dapat memanfaatkan efek ganda
proyek pembangunan, latihan pengelolaan modal dan usaha
serta pengembangan pasaran produk yang dihasilkan dalam
usaha tersebut.
b. Pengaturan untuk membatasi manfaat yang berlebihan
mengalir ke kota dan menyalurkannya ke penduduk desa di
kawasan karst itu.

Butir a dan b di atas tidak berarti bahwa seluruh manfaat hanya
diperuntukkan rakyat pedesaan, melainkan diusahakan adanya
pembagian manfaat yang lebih adil antara des a dan kota.
Dengan demikian penduduk desa itu akan merasa
bertanggungjawab atas keselamatan kawasan karst pada
umumnya dan atau goa pada khususnya, karena keselamatannya
itu adalah untuk kepentingannya sendiri. Dengan pembagian
manfaat yang lebih adil itu kesejahteraan antara desa dan kota
juga dapat diperkecil, sehingga keresahan sosial dapat dikurangi.
Semuanya itu akan lebih menjamin pembangunan yang
terlanjutkan.
Pencagaran Proses Ekologi Yang Esensial dan
Pencagaran Jenis
Fungsi hidro-orologi hutan merupakan salah satu proses ekologi
yang esensial. Karena kawasan karst umumnya mempunyai
risiko kekurangan air secara berkala dan erosi yang besar, segala
usaha harus dilakukan agar fungsi hidro-orologi tidak mengalami
kerusakan. Kawasan karst yang masih alamiah dan belum
terjamah oleh manusia perlu dijaga untuk tidak mengalami
kerusakan, karena hutan alam mempunyai fungsi hidro-orologi
yang baik. Hutan alam juga penting untuk pencagaran fauna dan
flora. Dalam pembangunan, paling sedikit sebagian kawasan
karst yang alamiah itu harus dicagar. Di daerah yang telah
mengalami kerusakan harus diusahakan agar fungsi itu dapat
ditingkatkan. Dalam hubungan dengan yang akhir ini perlu
diperhatikan bahwa hutan, di samping mempunyai sifat yang
baik, juga mempunyai sifat yang merugikan, yaitu hutan
mengurangi jumlah air karena laju evapotranspirasinya yang
besar. Hal ini dapat terlihat dari rumus umum neraca air
Q=P-E-+AS
Q= hasil air (water yield)
P= Curah Hujan
E= Evapotranspirasi
S= Simpanan air tanah
Pada kondisi P dan S yang sama Makin besar E, Makin
kecillah Q. Dengan demikian untuk daerah yang telah rusak
dan ingin kita rehabilitasi, pengembangan hutan di tempat
yang salah satu berlebihan justru akan membuat masalah
kekurangan air menjadi lebih parah. Mengingat hal ini, perlu
dipertimbangkan untuk mengembangkan tipe vegetasi yang
mempunyai fungsi melindungi tanah terhadap erosi dengan
baik, tetapi mempunyai laju evapotranspirasi yang
rendah. Pada umumnya semak mempunyai laju
evapotranspirasi yang lebih kecil daripada hutan dan
rumput-rumputan mempunyai laju evapotranspirasi yang
lebih kecil daripada semak.

Banyak penelitian menunjukkan, fungsi perlindungan
terhadap erosi tidaklah tergantung pada adanya pohon-
pohonan, melainkan terutama oleh seresah dan tumbuhan
bawah (Coster, 1938; Lembaga Ekologi, 1980). Fungsi
seresah lebih penting daripada fungsi tumbuhan bawah.
Tetapi pohon yang berakar dalam sangat berguna
mengurangi bahaya tanah longsor. Berdasarkan pengetahuan
ini kita dapat menempatkan pohon yang berakar dalam di
daerah yang mudah longsor. Salah satu contoh ialah pohon
lamtoro. Di tempat lain cukup kita kembangkan semak dan
rumput-rumputan. Yang akhir ini di daerah yang kita
perlukan makanan ternak. Lamtoro seyogyanya tidak
dikembangkan di daerah ini atau hanya secara terbatas saja,
karena lamtoro mempunyai laju evapotranspirasi yang
tinggi (Coster, 1937). Apabila ingin mengembangkan
lamtoro juga, misalnya untuk kayu bakar atau makanan
ternak, lamtoro itu harus dipangkas pada akhir musim
hujan, sehingga pada musim kemarau hanya ada sedikit
daun dan evapotranspirasinya lalu rendah. Seyogyanya
kotoran ternak dikembalikan ke daerah itu, agar tidak terjadi
kemerosotan kesuburan dan juga agar kotoran itu dapat
membantu mengurangi tanah dari erosi.

Penelitian juga menunjukkan pulihnya fungsi hidro-orologi hutan
yang rusak dapat terjadi dengan cepat, yaitu dalam waktu
beberapa bulan saja (Coster, 1937). Akan tetapi pulihnya hutan
menjadi hutan yang dewasa sangatlah lama. Oleh karena itu
harus dibedakan antara pulihnya hutan dan pulihnya fungsi
hidro-orologi. Apabila hutan yang rusak dapat dijaga untuk tidak
dirusak lagi oleh penduduk, fungsi hidro-orologi itu dapat dengan
cepat pulih lagi tanpa adanya reboisasi. Bahkan reboisasi itu
dapat memperlambat pulihnya fungsi hidro-orologi, apabila
reboisasi itu dilakukan dengan tumpang sari yang membersihkan
semak dan herba penutup tanah yang ada untuk ditanami dengan
tanaman pangan atau sayuran. Untuk menjaga agar hutan tidak
rusak oleh penduduk, haruslah tekanan penduduk dikurangi.
Tekanan penduduk dapat dinyatakan dengan rumus
(Soemarwoto, 1984)


TP=Z f Po (1+r)t
L
Dalam rumus ini
TP = Tekanan Penduduk
Z = Luas lahan yang diperlukan untuk hidup pada tingkat
yang dianggap layak (Ha/orang),
f = Fraksi petani didalam populasi total,
Po = Jumlah penduduk pada waktu acuan,
r = Laju tahunan pertumbuhan penduduk,
t = Periode waktu perhitungan,
L = Luas lahan pertanian petani


Berdasarkan rumus ini tekanan penduduk dapat diturunkan
dengan menurunkan nilai Z, f dan r serta memperbesar nilai L.
karena memperbesar nilai L berarti mengurangi luas hutan yang
akan memperbesar risiko erosi tanah dan erosi gen, cara ini
sedapat-dapatnya dihindari. Apalagi karena di kawasan karst
terdapat endemisme yang tinggi, sehingga jenis-jenis yang ada
mempunyai nilai yahg tinggi sebagai sumber day a gen. Menurut
teori biogeografi pulau, makin kecil luas suatu daerah, makin
rendah letak keseimbangan jumlah jenis (Pianka, 1974).

Memperkecil nilai Z berarti harus diadakan intensifikasi
pertanian, yaitu memperbesar hasil per satuan luas dan per
satuan waktu. Walaupun ini merupakan cara yang kita
ingini, namun harus dilakukan dengan hati-hati, terutama
dalam penggunaan bahan agrokimia. Sebab, residu bahan
agro-kimia dengan mudah akan terbawa oleh air meresap ke
dalam celah-celah batu gamping, sehingga akan tersebar
denga amat luas ke air tanah. Dengan demikian di kawasan
karst risiko penyebaran pencemaran amat tinggi, sehingga
air yang digunakan oleh penduduk untuk keperluan sehari-
hari juga akan dapat tercemar. Seyogyanyalah diusahakan

untuk menekan penggunaan bahan agro-kimia

sampai

sekecil kecilnya, misalnya dengan pemberantasan hama
terpadu (integrated pest control) dan penggunaan pupuk
hijau.

Penurunan nilai f berarti sebagian petani harus disalurkan ke
sektor non pertanian dengan menciptakan lapangan pekerjaan
baru di sektor ini. Sektor yang dikembangkan seyogyanya yang
bersifat non-destruktif. Misalnya, dengan perencanaan yang baik
dan pengendalian yang ketat, pariwisata dapat merupakan
industri yang tidak merusak kawasan karst. Dengan syarat ini
pariwisata lebih sesuai untuk dikembangkan daripada untuk
industri semen. Demikian pula industri yang di dasarkan pada
kayu, misalnya jati yang banyak terdapat di kawasan karst, dan
pengolahan hasil ternak, misalnya kulit, tidak akan merusak
lingkungan. Yang penting ialah untuk mengeksplorasi dahulu
semua potensi yang ada dan mengintegrasikan potensi-potensi
itu dalam suatu rencana pembangunan yang terpadu. Misalnya,
intensifikasi pertanian dikaitkan dengan pengembangan
peternakan untuk mendukung

pariwisata, antara lain produksi telur dan daging serta kerajinan
kulit untuk cindera mata. Dengan demikian intensifikasi pertanian
tidak harus berorientasi pada beras, melainkan harus melihat pula
potensi palawija untuk industri makanan ternak danbuah-buahan,
sayur mayur serta bunga-bungaan untuk para wisatawan. Rencana
itu harus pula memperhitungkan dampak apa yang akan terjadi
dari pembangunan itu. Dampak yang diperhitungkan bukanlah
hanya dampak lokal saja, melainkan juga dampak penting yang
dapat terjadi di tempat yang jauh. Misalnya rusaknya goa, akan
dapat menurunkan produksi durian dan petai di daerah yang luas,
karena bunga tumbuh-tumbuhan itu diserbuki oleh kelelawar
yang tinggal di dalam goa yang mengalami kerusakan itu. Dapat
pula terjadi sedikit atau banyak hutan bakau akan mengalami
kemunduran, karena adanya jenis tumbuhan bakau yang
bunganya diserbuki oleh kelelawar itu. Kemunduran hutan bakau
dapat menyebabkan penurunan hasil ikan para nelayan, sehingga
menimbulkan masalah sosial ekonomi pada para nelayan.
Kemunduran hutan bakau juga dapat menimbulkan masalah
pengikisan pantai oleh arus dan ombak laut. Demikian pula
rusaknya goa dapat mengurangi atau melenyapkan populasi
kelelawar dan burung yang memakan serangga yang akan
mengakibatkan naiknya populasi serangga hama atau faktor
penyakit. Karena itu dapatlah terjadi ledakan hama atau penyakit.

Penulis tidak ingin menyatakan bahwa dampak di atas pasti akan
terjadi, melainkan ingin menekankan perlunya diperhatikan dan
diteliti kemungkinan terjadinya dampak itu, sebelum
pembangunan dilaksanakan. Jadi di dalam fase perencanaan
pembangunan itu, perlu dilakukan analisis dampak lingkungan.
Sebab apakah gunanya kita mendapat keuntungan dari kawasan
karst, tetapi bersamaan dengan itu terjadi penurunan produksi
durian, petai dan ikan, terjadi erosi pantai dan ledakan hama dan
penyakit..? Apalagi jika keuntungan dari pembangunan kawasan
karst itu bersifat jangka pendek.

Dalam pembangunan itu benar-benar perlu diperhatikan agar
penduduk kawasan karst itu dapat mendapatkan lapangan
pekerjaan baru. Apabila tidak, tekanan penduduk tidak akan
turun, melainkan justru akan naik, seperti telah diuraikan di
muka.

Tekanan penduduk dapat dihambat laju kenaikannya dengan
menurunkan laju tahunan pertumbuhan penduduk. Apa
bila kita berhasil menyalurkan sebagian petani ke sektor
non-pertanian, kemungkinan besar laju pertumbuhan
penduduk juga akan menurun. Salah satu teorinya ialah
karena anak tidak lagi dianggap sebagai tenaga kerja,
melainkan sebaliknya orang tua harus menginvestasikan
modal untuk pendidikan anaknya. Sebab, tanpa pendidikan
itu anak tidak akan mendapatkan pekerjaan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam dan A.J. Whitten, 1984.
Ekologi Ekosistem Sumatra, 653 pp. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
2. Coster, Ch.,1937. De verdamping van verschillende
vegetatievormen van java. Tectona 30: 1 – 124.
3. Coster, Ch.,1938. Bovengrondse afstroming in erosi van java
(K.M. No. 64). Tectona 31 : 613 – 718.
4. Lembaga Ekologi, 1980. Vegetation and Erosion in the
jatiluhur catchment area. Cooperative research between
agricultural University, wigeningen, and the Institute of
ecology Pajajaran University, Bandung.
5. Margalef, R., 1968. Perspectives in ecological theory, 111 pp.
The University of Chicago Press, Chicago.
6. Pianka, E.R., 1974. Evolutionary ecology, 356 pp. Harper and
Row Publisher, New York.
7. Poulson, T.L. and W.B. White, 1969. The cave environment.
Science 165 : 971 - 981.
8. Soemarwoto, O., 1979. Exploitative city - rural relationship : a
human ecological problem and development in Indonesia.
Oikos 33 : 190 - 195.
9. Soemarwoto, 0., 1984. Tekanan terhadap lingkungan
khususnya lahan, dan tanggungjawab dunia usaha dan industri.
Manajemen 4 (21) : 81 - 87.

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by Legua Caving & Speleologi