Rabu, 01 Juni 2011

AMDAL DI KAWASAN KARST ( OLEH : EFFENDY A. SUMARDJA Deputi Bidang Penegakan Hukum dan Amdal, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Disampaikan pada acara Lokakarya Pengelolaan Kawasan Karst Gunung Sewu dalam rangka Lustrum Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Dies Natalis PALAWA UAJY tanggal 29 April 2000 di kampus III Babarsari UAJY Yogykarta. )

PENDAHULUAN

Pada awalnya, pengelolaan lingkungan di Indonesia
dilandasi oleh UU No.4 tahun 1982 tentang Pokok-pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan demikian, maka
era pengelolaan lingkungan hidup yang terencana dapat
dikatakan baru dimulai pada tahun 1982 ini. Menyadari hal
tersebut, maka kita dapat mengestimasi sejauh mana
sebenarnya praktek atau pelaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia yang harus melalui tahapan
uji coba, adoptasi, adaptasi, dan kemudian berkembang.
Setelah UU No. 4/1982 ini, berkembanglah tatanan
peraturan dan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup yang disusun untuk mendukung undang-undang
tersebut. Dimulai dari peraturan pemerintah, keputusan
presiden ataupun keputusan menteri-menteri yang
berhubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam
bidang pertambangan, tentunya dapat kita temukan
peraturan dan perundang-undangan terkait. Lebih jauh, UU
lingkungan hidup kemudian mendapat momentum tambahan
ketika mendapatkan penyempurnaan menjadi UU No. 23
tahun 1997.

Diantara sekian banyak peraturan di bidang lingkungan
hidup, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan AMDAL
merupakan suatu mekanisme yang cukup lama dikenal.
Mulai diperkenalkan pada UU NO.4 tahun 1982,
pelaksanaan secara nyata dimulai pada tahun 1986 melalui
PP 29, direvisi melalui PP 51 pada tahun 1993 dan yang
terakhir adalah penyempurnaan melalui PP 27 tahun 1999.
AMDAL sudah diakui sebagai salah satu perangkat
pengelolaan yang cukup baik. Sudah banyak catatan tentang
pelaksanaan AMDAL dengan berbagai perkembangan,
pengalaman ataupun perubahannya, namun perangkat ini

masih terus berkembang dan masih perlu menemu kenali
kendala dan kekurangannya yang terjadi. Dalam konteks
inilah paper ini disusun dimana AMDAL sebagai perangkat
pengelolaan lingkungan dikaitkan dengan upaya pencegahan
dan pengelolaan dampak dari kegiatan pertambangan di
kawasan karst.

Setelah meninjau landasan hukum dan peraturan
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia pada bagian
pendahuluan ini, paper ini akan mengupas permasalahan
pemanfaatan karst dan menyoroti berbagai isu utama pada
kegiatan pertambangan karst. Tinjauan terhadap beberapa
kasus tambang di masa lalu ataupun saat ini akan dilakukan
pada bagian ini. Bagian selanjutnya akan mengupas
AMDAL sebagai salah satu perangkat pengelolaan
lingkungan hidup dengan keterbatasan dan sistem
kontrolnya. Audit lingkungan merupakan perangkat lain
yang mendukung pelaksanaan AMDAL akan turut diulas.
Bagian akhir akan mengkaji beberapa hal yang terkait
dengan kegiatan pengelolaan lingkungan di pertambangan
yang menjadi faktor cukup penting dalam operasi
pertambangan di Indonesia.

EKSPLOITASI KARST DAN ISU-ISU UTAMA

Kawasan karst merupakan suatu kawasan yang unik dan
spesifik, kawasan ini mempunyai keunikan geologis yang
merupakan ciri daerah karst yaitu topografi yang umumnya
mempunyai bentuk bentang alam yang tidak teratur dan
dicirikan dengan adanya goa-goa dalam tanah, sungai bawah
tanah, sumber air bawah tanah, bukit-bukit kapur berbentuk
krucut serta sinkholes (akibat adanya depresi) berupa uvala
dan dolina serta adanya stalaktit dan stalakmit di dalamnya.
Kawasan karst juga mempunyai nilai ilmu pengetahuan yang cukup tinggi, tidak hanya dari sisi cara
pembentukkannya tetapi juga dari sisi ekologi atau
keberadaan habitat yang mampu tumbuh di dalamnya.
Sebagai suatu fenomena bentukan alam yang unik, kawasan
karst mempunyai daya tarik untuk dijadikan objek penelitian
geologi dan biologi, sekaligus sebagai kegiatan wisata alam.

Kawasan karst dari perspektif sumberdaya alam terdiri dari
sumberdaya nonhayati seperti: batugamping, tanah, mineral,
air, bentang alam (eksokarst), goa-goa dan sumberdaya
hayati berupa kakayaan flora dan faunanya (termasuk
berbagai jenis kalelawar dan burung walet). Fauna dan flora
endemik yang hanya bisa hidup dilingkungan karst
merupakan kekayaan alam yang unik dan perlu dijaga
habitatnya. Sumberdaya non hayati, kecuali air bersifat non
renewable (tak terbarukan). Sumberdaya yang sering
ditemukan di kawasan karst adalah sumberdaya/lingkungan
sosial budaya berupa nilai-nilai sejarah, dan sistem sosial-
budaya yang ada. Jadi kawasan karst sebenarnya
mengandung multipotensi sumberdaya (lihat lampiran 1).

Dampak lingkungan akibat penambangan di kawasan karst
yang umumnya terjadi adalah penurunan keanekaragaman
hayati yang terjadi akibat dari kegiatan penebasan vegetasi
dan penggalian. Pengaruh langsung yang dirasakan adalah
adanya penurunan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta hilangnya nilai-nilai ekologi di daerah tersebut.
Vegetasi kawasan karst memegang peranan penting,
terutama pada sistem hidrologi karena dapat menghindari
terjadinya run-off (air larian) yang berlebihan. Kegiatan
penebasan vegetasi, pengupasan tanah penutup, penggalian
batugamping akan mengubah bentang alam/lahan
(eksokarst) di kawasan karst yang juga akan mengubah atau melenyapkan unsur-unsur endokarst seperti goa-goa,
stalagtit dan stalagmit.

Keadaan tersebut memerlukan pengelolaan dan
pengembangan lingkungan hidup yang dapat menjaga
keseimbangan ekosistem kawasan tersebut. Untuk itu
diperlukan suatu kebijaksanaan nasional pengelolaan
lingkungan hidup untuk kawasan karst yang harus
dilaksanakan dari pusat sampai kedaerah.

Kebijakan yang dapat diterapkan terhadap pemanfaatan
kawasan karst, selain meningkatkan daya dukung daerah
harus juga bertujuan melindungi ekositem karst tersebut.
Kegiatan atau usaha yang memanfaatkan sumberdaya alam
kawasan karst terutama pengambilan batugamping
(misalnya untuk industri semen) harus dikaji secara
mendalam mengenai dampak yang ditimbukan akibat
kegiatan atau usaha tersebut. Setiap rencana kegiatan atau
usaha akan mengubah kondisi (geo-bio-fisik-kimia ataupun
sosial ekonomi-budaya) disekitar lokasi kegiatan, sejak
tahap perencanaan sudah harus mempersiapkan langkah-
langkah penangulangan dampak negatif yang diperkirakan
akan terjadi dan pengembangan dampak positif kegiatan
tersebut dalam suatu studi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL).

Pesatnya berbagai kegiatan pembangunan di Indonesia telah
menyebabkan permintaan akan semen dari tahun ke tahun
senantiasa meningkat, disamping itu ternyata kebutuhan
akan semen tersebut belum dapat dipenuhi oleh produksi
dalam negeri. Kondisi tersebut merupakan pendorong
dibangunnya pabrik-pabrik semen baru dalam jumlah yang
tinggi dan kapasitas yang besar. Di sisi lain pemerintah pun
telah memberikan kesempatan seluas-Iuasnya kepada pihak swasta untuk berperan aktif dalam memenuhi kebutuhan
tersebut, hal ini ditunjukkan dengan tingginya eksploitasi
batu gamping di berbagai daerah kawasan karst.

Rencana peningkatan pembangunan industri semen dalam
rangka menanggulangi kekurangan pasokan semen tersebut
tentunya akan menimbulkan dampak tersendiri bagi
lingkungan baik yang bersifat positif maupun negatif.
Beberapa dampak negatif yang sering dihadapi atau
ditimbulkan oleh suatu kegiatan pembangunan industri
semen yang penting menjadi sorotan diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Terjadinya konflik pengunaan lahan hutan yang
diperuntukkan bagi penambangan bahan baku,
misalnya masih berstatus sebagai hutan lindung atau
daerah resapan air;
b. Menipisnya jumlah ketersediaan air;
c. Berkurangnya sumber keanekaragaman hayati karst
terutama flora dan fauna endemik yang hidup di
kawasan karst;
d. Terganggunya kelestarian goa-goa karst yang
berfungsi sebagai penyimpan air;
e. Berubahnya bentang alam akibat penambangan batu
gamping;
f. Terjadi amblesan atau depresi akibat terganggunya
sungai bawah tanah dan akuifer.

Dalam studi AMDAL pembangunan pabrik semen, banyak
ditemukan isu-isu lingkungan yang menganggu ekosistem
kawasan karst dan meresahkan masyarakat, seperti contoh
kasus pembangunan pabrik semen dibawah ini :

PT Semen Nusantara yang berlokasi di Cilacap - Jawa
Tengah, area lokasi penambangan batu gamping di Pulau
Nusakambangan merupakan area cagar alam yang telah
dikembangkan untuk wisata dimana objek-objek wisata goa-
goa seperti Goa Ratu banyak dikunjungi masyarakat, akibat
penambangan batu gamping dikhawatirkan objek wisata
tersebut akan terganggu. Pada kasus PT Semen Grobogan di
Jawa Tengah isu lingkungan yang mencuat adalah di lokasi
penambangan gamping banyak terdapat mata air/sendang
yang dimanfaatkan oleh masyarakat, penambangan akan
mempengaruhi potensi akuifer terutama di Sendang Mundal
sebagai mata air yang terbesar didaerah tersebut. Di daerah
Karawang-Jawa Barat yang dekat dengan Kota Jakarta akan
dibangun pabrik semen PT Semen Makmur Indonesia,
permasalah pada area penambangan gamping merupakan
hutan tanaman industri yang dalam RTRW Kabupaten
merupakan daerah resapan air. Pada goa-goa yang terdapat
di penambangan gamping banyak ditemukan sarang burung
walet yang merupakan mata pencaharian penduduk. Untuk
isu lingkungan yang masih hangat saat ini adalah rencana
pembangunan pabrik semen PT Semen Andalas di Langkat -
Sumatera Utara dimana lokasi penambangan batugamping
berjarak 2 Km dari batas Taman Nasional Gunung Louser
(TNGL) yang dikhawatirkan akan banyak terjadi eksploitasi
hutan sekitar TNGL, juga berdampak terhadap satwa liar
yang hidup disana dan goa-goa yang terdapat sungai bawah
tanah.

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by Legua Caving & Speleologi