Rabu, 01 Juni 2011

Speleologi dan Karstologi Perkembangannya di Luar Negeri dan Kemungkinan Pengembangannya di Indonesia (oleh: Dr. RKT KO)

SPELEOLOGI ialah sains mengenai GUA dan LINGKUNGANNYA.
Berhubung gua dapat terjadi di macam-macam batu-batuan, kami hendak
membatasi diri pada pembicaraan SPELEOLOGI di daerah karst.
Berhubung daerah batugamping – yang telah mengalami proses karstifikasi –
menjadi Lingkungan Gua, maka mau tidak mau, seorang ahli speleologi harus
memahami karstologi.
Bidang-bidang yang menarik dan relevan dengan Speleologi ialah :
- Karst hidrogeologi.
- Karst geomorfologi dan morfogenesis.
- Karst pedologi.
- Karst erosi dan denudasi dan kimia tanah.
- Karst konservasi.
- Klimatologi.
- Vegetasi dan pengaruhnya terhadap curah hujan di daerah karst.
- Tektonisme di daerah karst.
- Pengaruh vulkanisme di daerah karst.
- Litologi.
- Sedimentologi.
Kesemuanya itu dapat dikelompokkan dalam studi EKSOKARST.

Sebelum membicarakan Speleologi, maka tentu harus diketahui dulu apa yang
dimaksudkan dengan “GUA”. Gua ialah setiap ruangan di bawah tanah yang
dapat dimasuki orang (definisi IUS).
Nah, apakah definisi dari rekahan-rekahan, celah-celah yang hanya dapat
dimasuki oleh landak, tikus, semut ? Ada yang menamakannya micro caves atau
gua mikro, tetapi kiranya pengkotakkan ilmu speleologi pada batas ukuran dapat
dimasuki atau tidaknya oleh manusia, ialah pengkotakkan yang salah.

Gua pada umumnya tidak merupakan fenomena tersendiri. Di daerah karst, pada
umumnya tidak hanya ditemukan satu gua saja. Biasanya yang dijumpai ialah
suatu sistem perguaan, dimana gua yang satu (yang sudah dikenal) masih
berhubungan dengan gua-gua yang lain (yang belum dikenal atau bahkan yang
belum dapat dimasuki orang, karena belum ada lubang masuk atau keluarnya).

Gua-gua itu kelihatannya terpisah, karena sudah terpotong-potong (truncated),
namun pada saat gua-gua itu dibentuk, jauh di bawah permukaan tanah saat itu,
gua-gua itu masih berhubungan satu sama lain, bahkan terkadang merupakan
suatu jaringan yang rumit (maze caves, maze pattern).

Inheren dengan sifat batugamping, hampir di semua lapisannya dijumpai
rekahan-rekahan dan celah-celah. Rekahan-rekahan dan celah-celah itu, besar
kecil, saling berhubungan dan membentuk suatu sistem percelahan tersendiri,
yang pada suatu saat JUGA menyatu dengan lorong-lorong gua.

Itu sebabnya ada kecenderungan menurut kami, untuk membahas bukan saja gua
dan sistem perguaan dalam speleologi, tetapi juga sistem percelahan ini, yang
baru kami jumpai dalam literatur tahun 1983 dengan istilah “Cave and Crack
Systems”.

Di dalam gua sendiri ditemukan begitu banyak obyek studi, yang saling
berkaitan, sehingga tidak mungkin dunia di bawah tanah ini dapat dimengerti
tanpa mempelajari :
- Speleogenesis.
- Speleo morfologi.
- Speleo sedimentologi.
- Speleo mikroklimatologi.
- Speleo hidrologi.
- Speleo meteorologi.
- Biospeleologi.
- Kegunaan dan pemanfaatan gua.

Pokoknya setiap kegiatan atau jenis penelitian di luar gua mempunyai kegiatan
atau penelitian sejenis di dalam gua.
Menurut Walter, 1984 :
• GEOGRAFI - SPELEOGEOGRAFI

• MORFOLOGI
• GEOLOGI

-SPELEOMORFOLOGI
-SPELEOGEOLOGI

• KARTOGRAFI - SPELEOKARTOGRAFI
• GEODESI - SPELEOGEODESI

• METEOROLOGI
• KLIMATOLOGI

- SPELEOMETEOROLOGI
- SPELE KLIMATOLOGI

• HIDROLOGI - SPELEOHIDROLOGI
• GLASIOLOGI - SPELEOGLASIOLOGI
• BIOLOGI - SPELEOBIOLOGI

• ZOOLOGI

-SPELEOZOOLOGI

• BOTANI - SPELEOBOTANI
• MINERALOGI -SPELEOMINERALOGI
• KIMIA - SPELEOKIMIA
• FISIKA - SPELEOFISIKA
• GEODINAMIKA -SPELEOGEODINAMIKA

• PALEONTOLOGI
• TERAPI

-SPELEOPALEONTOLOGI
- SPELEOTERAPI

Semua unsur-unsur di dalam gua ini termasuk obyek studi ENDOKARST.
Sebagaimana setiap pakar ilmu mengenal superspesialisasi, maka Karstologi
maupun Speleologi juga mengenal superspesialisasi itu. Pada Karstologi dikenal
Micro Karst Forms, atau bentukan-bentukan kecil akibat erosi dan korosi, seperti
Rillen, Rinnen-Spits-Trit-Meander-Round Karren dlsb. Kamenitza, Grikes,
Runnels, Clints, Solution Cups, Solution Pits yang semuanya dianalisa.

Pada ilmu Speleologi dikenal banyak superspesialisasi, mulai dari
Speleokronologi; Paleomagnetisme sedimen gua untuk mengetahui arah aliran
sungai purba; penentuan umur air fosil di dalam zone phreatik dalam; Micro
Speleomorfologi seperti scallops, flutes dan penentuan kecepatan arah sungai
purba di dalam gua yang menimbulkan scallops dan flutes itu (a. l. oleh Rene
Curl, memakai Reynolds number dlsb), dengan ekuasi (perhitungan) matematis
jarak antara flutes dan scallops itu. Juga dikenal Speleoterapi sebagai
pengetahuan khusus. Speleofotogragi, cinematografi, hasil videonya bahkan
dipertandingkan secara internasional sekali setahun.

Fenomena ENDOKARSTIK memang sangat erat hubungannya dengan
fenomena EKSOKARSTIK dan tidak dapat disangkal, bahwa didapatkan
hubungan yang erat sekali antara permukaan bumi dan alam di bawah tanah.
Karenanya dikenal istilah “the surface-subsurface intimate connection and
interrelation”.

Pembagian ruang di atas gua, yaitu di permukaan tanah, menjadi disiplin khusus,
dan ruang di bawah tanah menjadi disiplin ilmu yang terpisah, hanyalah
merupakan ulah manusia. Juga adanya pengkotakkan ketat dalam pakar-pakar
ilmu, seolah-olah ilmu yang satu tidak ada hubungannya dengan ilmu yang lain.
Bahkan ahli disiplin ilmu tertentu akan merasa skeptis atau ironis, apabila ada
ilmuwan lainnya mempelajari bidang ilmunya, padahal pendidikan formalnya
berbeda.

Dalam Speleologi, SEMUA ilmu yang relevan bukan saja berkaitan, tetapi malah
saling mempengaruhi, jalin-menjalin dan saling menunjang. Itu sebabnya,
seseorang dengan pendidikan formal Arkeologi seperti Michel Siffre, juga dapat
menjadi seorang profesional dalam Speleologi, bahkan berhasil menerbitkan
buku-buku bermutu tinggi dalam bidang geologi dan biospeleologi.

Bidang Karstologi, yang di Indonesia belum berkembang, ternyata sudah maju
pesat di pelbagai negara. Hal ini sungguh disayangkan, karena Indonesia terdiri
dari banyak daerah karst. Dan semua daerah karst pada umumnya menghadapi
problema persediaan air minum dan air irigasi. Seperti misalnya di Pulau Sawu,
Sumba, Madura, Kabupaten Gunung Kidul, dlsb.

Dalam pada itu, kegiatan membuat bendungan di daerah karst (Wonogiri,
Pangkalan, dll) tidak terlepas dari studi pendahuluan yang spesialistis tentang
hidrogeologi karst, denudasi karst, klimatologi, dan di luar negeri, tentunya juga
ilmu speleologi ……..

Gua-gua perlu ditelusuri dan dipetakan, untuk mengetahui apakah tidak akan
terjadi KEBOCORAN air bendungan. Lorong-lorong gua demikian haruslah
dibuat kedap air. Bila hal ini lepas dari perhatian, maka air bendungan tidak akan
naik, bahkan akan dapat berkurang akibat bocor melalui rekahan-rekahan
batugamping dan gua-gua karst di sekitar bendungan itu. Di Spanyol ada
problematika itu dan telah disajikan makalah dalam Kongres Sedunia Union
Internationale de Speleologie.

Kini terjadi problematika pendangkalan bendungan di Wonogiri oleh proses
pelumpuran, yang katanya telah disurvai oleh tim ahli dari Jepang yang memberi
angka 100 tahun untuk kelangsungan pemanfaatan bendungan itu, tetapi kini
ternyata tinggal 30 tahun saja ! Dimanakah letak kesalahan perhitungan itu ?

Apakah dalam Analisa Dampak Lingkungan dan Studi Kelayakan, data-data
Karstologi itu sudah dikumpulkan dan dianalisa secara cermat ?
Juga data klimatologi (curah hujan, surface run-off), hidrogeologi kawasan
tersebut, dan data perihal kecepatan denudasi karst ?
Kami kira bahwa bila tidak diikutsertakan studi dalam bidang karstologi dan
speleologi di suatu proyek yang menangani kawasan karstik, hal ini sungguh
kurang bijaksana.

Sebagai contoh dapat dikemukakan, bahwa salah satu negara yang paling maju
dalam bidang karstologi ialah RRC, karena memang mempunyai kawasan karst
paling luas di dunia. Sayangnya, ternyata pada tahun 1981 hingga kini, Center of
Karst Studies dari RRC juga kurang memperhatikan Speleologi. Berbeda sekali
dengan Pusat-Pusat Karstologi terkenal di dunia seperti di Postojna-Yugoslavia,
di Austria, di Jerman di mana Herbert Lehman telah berhasil mendirikan School
of Karst Studies, di USA yaitu di Universitas Kentucky dan Indiana, di Pusat
Studi Karstologi Perancis, Czechoslovakia, Bulgaria dan Swiss, yang TANPA
KECUALI melibatkan Speleologi sebagai pakar ilmu yang tidak terpisahkan.
Juga di Inggris dan Italia.

Di Indonesia kami ingin mempromosikan karst sebagai obyek studi spesialistik
dan mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlampau lama dapat didirikan
pula Pusat Penelitian Karst Indonesia, setelah dipromosikan oleh suatu Ikatan
Karstologi Indonesia.

Bagi para ahli geologi, yang segan memasuki gua di Indonesia, sayangnya masih
didapatkan keyakinan, bahwa gua dapat diselidiki dari luar gua. Keseganan
memasuki gua karena takut dan mungkin kurang memahami manfaatnya, masih
menyelimuti banyak para ahli geologi di Indonesia. Karenanya untuk melacak
air, cukup diandalkan metode geofisika dan pelacakan air dengan agens-agens
tertentu, daripada menelusuri sungai di bawah tanah secara fisik.

Kiranya cukup jelas uraian kami, bahwa pelbagai aspek endokarstik itu tidak
dapat dipelajari, tidak dapat dikenal apalagi dipahami tanpa menelusuri gua.
Spesialisme SEDIMENTOLOGI gua dengan mengukur ukuran (diameter)
kerikil, yang dapat memberi data tentang bentuk sifon; menentukan umur gua
dengan memilih stalaktit mana yang akan digunakan untuk analisa radioisotopes;
mempelajari hubungan erat antara speleogenesis dan speleomorfologi dan
geomorfologi kawasan karst di atas permukaan tanah; kehidupan binatang di
dalam gua; kesemuanya itu tidak mungkin dapat dipelajari tanpa memasuki gua.

Apalagi untuk memonitori pencemaran lingkungan (antara lain dengan analisa
logam berat di dalam sedimen gua), meneliti potensi suatu gua untuk tujuan
pariwisata, menentukan arah aliran sungai purba dengan metode
paleomagnetisme sedimen gua, kesemuanya itu pun tidak dapat dilaksanakan
tanpa menelusuri gua secara fisik.

Nyata sudah, bahwa Speleologi ialah sains yang berbobot, bahkan setelah
meneliti literatur, banyak sekali ilmu dasar (basic sciences) yang menjadi obyek
studi speleologi dan diterbitkan dalam majalah-majalah CAVE SCIENCE atau
CAVE RESEARCH, yang diterbitkan oleh para ahli Speleologi, Hidrogeologi
Karst, Geomorfologi, Paleontologi, Arkeologi, Biospeleologi.

Gua Holloch adalah gua yang diteliti paling lama dan secara kontinu di dunia.
Penelitinya ialah ahli Geomorfologi Karst, Prof Bogli yang dalam dunia
Speleologi dikenal sebagai sesepuh kontemporer. Umurnya kini 79 tahun, tetapi
masih aktif keluar masuk gua. Di Gua Holloch ini ia telah mengalami kebanjiran
bersama 7 penelusur gua lainnya yang masih muda, selama 9 hari 9 malam.

Gua Holloch ketika itu ialah gua terpanjang. Tetapi kini menjadi gua terpanjang
ketiga, setelah Gua Mammoth dan Flint Ridge Systems dapat dipersatukan. Gua
Holloch kini panjangnya secara total 129 km sedangkan Gua Mammoth-Flint
sudah 450 km.

Di luar negeri tidak ada skeptisisme terhadap penelusur gua amatir. Bahkan
terjalin kerjasama saling menguntungkan antara penelusur gua amatir dan yang
profesional yang telah kami lihat sendiri di AS dan di Austria, yaitu di Pusat
Perhimpunan Speleologi Austria, di Wina tahun yang lalu. Seorang mahasiswa
yang katanya telah menemukan suatu imprint dari ikan yang diduga tapak fosil
dan melaporkannya pada kantor Pusat Perhimpunan itu kepada Dr Mais, ahli
geologi-speleologi, langsung mendapat pengarahan teknis soal paleontologi dan
secara spontan diserahi satu rol film untuk membuat slides disertai kursus kilat
cara membuat fotonya, teknik lightingnya, dlsb
Itu sebabnya pula, mengapa di Wina terkumpul data dan peta dari 5000 gua dari
Austria yang sudah dimasukkan dalam mikrofilm. Di Perancis disimpan data dari
3500 gua dalam komputer, di AS sekitar 2500 gua. Di Indonesia kami baru
dalam taraf memulai memetakan beberapa gua oleh HIKESPI, sedangkan ahli
geologi-speleologi Inggris di Gunung Sewu dalam tahun 1982-1983 dengan
kerja sama resmi dengan Departemen Pekerjaan Umum dapat memetakan sekitar
270 gua hanya dalam jangka waktu 2,5 bulan.

Bahwasanya ilmu speleologi sangat relevan untuk diketahui oleh para penelusur
gua ialah misalnya soal bahaya banjir di dalam gua. Para penelusur seyogyanya
memahami dulu peta curah hujan daerah karst yang mereka kunjungi. Mereka
harus dapat mencatat intensitas hujan sehari atau beberapa hari sebelum mereka
memasuki gua. Kemudian harus meneliti dulu setiap sungai karst yang
autochthonous maupun yang allochthonous. Debitnya, perubahan debitnya,
kekeruhannya, harus diteliti apakah sungai yang keluar dari gua itu suatu sungai
REsurgence atau suatu EXsurgence.

Ada manfaatnya apabila mereka tahu prinsip watertracing menggunakan :
- Dyestuff yang harus biodegradable, non-toxic, murah, non-polutan, efisien
(dapat ditrasir dalam derajat pengenceran sampai 1 : 106). Hingga kini
digunakan bahan kimia zatwarna golongan Rhodamin, Pyranin, Fluorescine.
Tidak cukup dengan hanya melarutkan dan menghanyutkannya, tetapi
diaksentuasi dengan mendeterminasinya memakai activated charcoal, atau
dikombinasi dengan :
- Spora lycopodium, sehingga dua atau lebih swallow holes atau sinking streams
dapat diwarnai berbeda warna, untuk kemudian diteliti kemana mengalirnya.
- Secara bakteriologis, kimiawi, kimia fisik dan radioisotopes dapat pula dilacak
mengalirnya sungai di bawah tanah.

Di luar negeri, kini jauh lebih disukai metode pemakaian zatwarna yang tidak
berwarna, yaitu optical brighteners yang biasa digunakan pada pelbagai merk
detergen (Leucophor, Blankophor, dll). Zat ini bersifat memutihkan bahan
pakaian. Mempunyai afinitas luar biasa terhadap serat kapas atau selulosa, tidak
berwarna pada cahaya terang siang hari, tetapi dapat dipastikan keberadaannya
dengan menyinarinya dengan cahaya ultraviolet. Ia akan berfluoresensi kebiru-
biruan. Bahan ini non-toxic, non-carcinogenetic, biodegradable dan di luar
negeri murah harganya. Juga dipakai pada industri kertas untuk lebih
memutihkan kertas.
Bila ditangkap dalam air oleh serat-serat kapas, maka pengenceran 1 : 106 dapat
dengan jelas terlihat bila memakai sinar ultraviolet.

Yang juga disenangi ialah penggunaan floodpulse. Teknik denyut banjir ini,
karena tidak menggunakan agens-agens kimiawi, tetapi hanya meniru efek dari
banjir oleh hujan lebat, amat digemari oleh mereka yang mendambakan
konservasi lingkungan. Dengan membendung air di mulut gua sebelum mengalir
ke dalamnya dengan cara membuat bendungan, kemudian bendungan itu bila
sudah penuh mendadak dibuka, maka karakteristik fisik dan kurva debit air pada
saat sungai itu keluar dari gua, dapat memberi data yang cukup komprehensif
tentang gua itu. Puncak-puncak maksimal jumlah air yang mengalir keluar dapat
memberi keterangan tentang perkiraan jumlah percabangan yang ada di dalam
gua itu.

Namun metode-metode di atas bagi penelusur gua hanyalah merupakan data
pembantu, bukan substitut dari kegiatan menelusuri gua.

Menelusuri gua akan jauh lebih lengkap untuk mengungkapkan sistem sifon-
sifon yang ada di dalam gua.
Namun metode di atas mempunyai nilai tambah edukatif bagi penelusur gua,
bahwa gua memang merupakan lintasan dan dibentuk oleh aliran sungai di
bawah tanah.

Karenanya kami usulkan secara pribadi, bahwa daripada mengikuti definisi IUS
mengenai gua, yang membatasinya menurut ukuran besarnya manusia, sebaiknya
untuk gua batugamping dipakai definisi :
GUA ialah lintasan suatu sungai di bawah tanah yang masih mengalirinya secara
aktif atau pernah mengalirinya.

Hal ini perlu diresapi, karena hampir semua fenomena di bawah tanah, mulai dari
speleogenesis sampai sedimentasi dan morfologi gua, dapat diuraikan oleh
pengertian di atas. Hubungan antara gua dan aliran sungai memang tidak dapat
dipisahkan, karena sungai merupakan faktor pembentuk dan faktor pemodifikasi
lorong-lorong gua.

Apa perbedaan esensial antara sungai di atas permukaan tanah dan sungai yang
mengaliri gua ?
Perbedaan nyata ialah, bahwa sungai di atas tanah itu mengalamai pelbagai
pengaruh luar yang tidak dapat dihindarkan, seperti iklim, dan lintasannya tidak
dapat direkam secara baik oleh proses pelapukan (weathering), erosi, dll.
Sedangkan di dalam gua kita hadapi suatu sungai yang beratap, beriklim hampir
konstan sepanjang tahun, dengan hasil erosi dan lintasan-lintasan fosil yang
terekam dengan baik.
Sedimen di dalam gua, merupakan data historis dari pedologi, proses denudasi,
kesuburan, vegetasi dan iklim masa lampau di luar gua. Semuanya terekam
karena tidak mengalami pelapukan dan erosi hebat oleh faktor-faktor ekstern.

Perbedaan dengan sungai permukaan ialah adanya pembatasan ruangan
alirannya. Sungai permukaan dapat dengan leluasa, di dataran aluvial berkelak-
kelok membentuk meander secara relatif cepat, namun sifat meanderingnya
sungai di dalam gua karst akan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama,
dengan melibatkan proses korosi disamping erosi (korasi). Juga akan terjadi
oxbow, bahkan juga dikenal apa yang dinamakan pembajakan aliran sungai
(river pirating), bahkan dalam gua batugamping pembajakan itu sering
berlangsung pada level, tingkat yang berbeda. Sungai di dalam gua sering
menghilang ke dalam lubang pada dasar atau lantai lorong gua, untuk muncul
kembali pada lintasan lain yang terdapat di bawah lintasan semula. Dapat
terbentuk air terjun karenanya.

Pengaruh membanjirnya lorong gua juga merupakan proses yang sangat berbeda
dengan sungai permukaan. Sering debit dapat membengkak hingga 10 – 20 kali.
Lorong bisa penuh sampai ke atap hal mana bisa dibuktikan dengan adanya
ranting, batu-batuan, dlsb pada atap gua.

Lorong yang pernah dialiri dan kini ditinggalkan oleh sungai di dalam gua dapat
terisi kembali oleh air pada saat banjir.
Seirama dengan adanya floodpulse yang puncaknya bisa majemuk, banjir di
dalam gua juga dapat terjadi berulangkali.
Adanya sifon-sifon juga mempengaruhi sifatnya banjir. Sifon relatif (tidak
terendam pada musim kemarau) dan sifat sifon absolut (pada musim kemarau
pun terisi air sampai ke atapnya) berbeda sekali. Juga bentuknya sifon akan
memberi pengaruh, demikian pula panjangnya sifon, terhadap bentuk sedimen,
terutama kerikil yang melintasinya.

Sifon hanya dapat ditelusuri oleh penyelam gua, yang membutuhkan pendidikan
dan tingkat keterampilan yang amat berbeda dengan penyelam laut atau danau.
Ada pula beda yang nyata dengan lintasan air di permukaan tanah, karena cave
breakdown, runtuhnya dinding dan atap gua, dapat memodifikasi bentuk dan
sifat aliran sungai di dalam gua.

Bahkan bentuk gua sejak pertama dibentuk, yaitu pada zone phreatik, akan
mempengaruhi sifat lintasan sungai di dalam gua itu. Salah satu tanda phreatisme
lorong gua ialah adanya lantai yang turun naik tidak beraturan. Sungai gua yang
mengalirinya kemudian, yang dikenal dengan aliran vadose, dan tunduk pada
kaidah gaya berat bumi, terpaksa baru dapat mengaliri lorong itu apabila oleh
proses korosi sudah terbuka alur baginya, menembus lorong-lorong yang
mendaki di depannya. Locus minoris resitententiae dalam bentuk joint/diaclase
atau rekahan bedding plane di lantai lorong mendaki itu, menjadi lokasi dini,
yang akan berevolusi menjadi canyon atau siphon.

Hanyutnya sedimen halus dan kasar mengikuti sungai dari luar, atau masuk ke
dalam lorong pada waktu hujan melalui rekahan-rekahan pada dasar doline
misalnya, akan menambah daya erosif sungai di dalam gua. Namun, walaupun
sungai sudah berupa vadose, tetap ada pengaruh korosi pada pembentukan gua
itu. Apalagi kalau ditambah adanya ion magnesium oleh dolomit misalnya
Berkat efek yang dikenal sebagai “common ion effect” yaitu dari sistem CaCO3
dan MgCO3, atau “ionic strength effect” oleh adanya larutan elektrolit lainnya,
bisa terjadi penghambatan atau peningkatan daya korosifnya air di dalam gua.

Kiranya banyak segi dari morfologi di bawah tanah dapat diterangkan oleh daya
korosif dan korasif (erosif) air yang terdapat di dalamnya, ditambah lagi dengan
sifat kedap airnya sedimen-sdimen halus seperti lumpur residu (residual clay),.
Dengan demikian nyata sudah, bahwa gua ialah suatu lingkungan yang dinamis.
Senantiasa melebar atau memanjang, karena proses erosi dan korosi sungai dan
air yang merembesi atap dan dinding gua menyempit oleh proses sedimentasi;
berubah bentuk oleh proses peruntuhan (incasion) lorong gua. Bahkan terbukti
bahwa beberapa jenis bakteri pun dapat mempengaruhi morfologi di bawah tanah
karena dapat menjadi sebab pelapukan batugamping sehingga dapat
memudahkan terjadinya proses runtuhnya lorong gua dan terbentuk sedimen
yang khas, yang dikenal sebagai Moonmilk.

Pengetahuan tentang eksokarst bisa vital bagi survival suatu tim penelusur gua.
Pengertian akan kawasan tadah hujan (rainwater catchment area), kemiringan
tebing batugamping, vegetasi di atas gua, intensitas hujan, lamanya hujan,
porositas lapisan-lapisan batugamping sekitar gua, kejenuhan akan air dari
lapisan-lapisan itu, adalah penting untuk diketahui.

Misalnya saja pada musim kemarau, lapisan-lapisan batugamping di zone aerasi
dan zone fluktuasi itu kering celah-celahnya. Sehingga bila hujan pertama dari
musim hujan tiba, seluruh kawasan tadah hujan itu dapat menyerap air, tanpa
membanjiri gua. Baru kalau seluruh celah-celah itu jenuh akan air hujan, bisa
timbuk aneka pengaruh pada saat hujan jatuh. Vegetasi dengan sistem perakaran
dan dedaunan, juga memegang peranan penting, karena sebagian besar dari hujan
akan dapat diresap kembali untuk dilepaskan ke udara melalui sistem
evapotranspirasi. Namun yang penting adalah bagaimana sifat penutup lantai
kawasan karst itu (groundcover). Nyata bahwa semak belukar mempunyai efek
yang sangat penting, karena secara langsung akan menghindarkan air hujan
mengerosi dan menyebabkan denudasi karst. Derajat kelandaian perbukitan juga
penting, karena bisa menyebabkan surface run-off yang lebih cepat atau lebih
lambat.
Air ini (surface run-off water) biasanya akan terkumpul dalam doline atau
lembah, dan memasuki celah ke dalam lorong gua di bawahnya.

Luas areal tadah hujan juga mempengaruhi timbulnya banjir. Kawasan tadah
hujan yang luas, akan mengumpulkan air ke dalam gua secara lebih kontinu dan
mungkin lebih banyak, tetapi dengan cara yang tidak mendadak. Dalam hai ini,
sungai-sungai permukaan yang memasuki gua (inflow rivers) yang lebih dari
satu, akan menyebabkan timbulnya intensitas banjir secara tidak serempak, tetapi
dapat berkepanjangan, dengan puncak-puncak penambahan debit pada waktu
yang berbeda-beda. Lain halnya bila kawasan tadah hujannya memang terbatas
Dalam hal ini, curah hujan yang deras dapat menimbulkan peningkatan debit
yang mendadak dan sangat berlipat ganda. Banjir akan tiba hanya dalam waktu
lima menit misalnya, tetapi akan lenyap setelah 20 menit. Pada kawasan tadah
hujan yang luas, puncak banjir (yang kadang-kadang berpuncak banyak) baru
dapat tercapai pada intensitas hujan yang sama, setelah satu jam misalnya, dan
baru mereda (bila hujan berhenti) setelah satu hari.

Intensitas hujan juga punya banyak pengaruh pada banjir di dalam gua. Makin
deras, sehingga melebihi kapasitas porositas atau daya tampung celah-celah
batugamping, makin besar bahaya banjirnya. Waktu hujan yang lama, tidak
begitu mempengaruhi debit air seperti intensitas hujan lebat yang datangnya
mendadak.

Pengetahuan akan biota gua juga dapat merupakan soal mati hidupnya penelusur
gua. Kompetisi dengan jutaan atau ratusan ribu kelelawar akan pemanfaatan zat
asam di dalam gua; dihasilkannya jumlah eksesif gas asam arang oleh
metabolisme jutaan atau ratusan ribu kelelawar di suatu lingkungan yang sudah
tinggi kadar CO2-nya oleh karena inheren dengan lingkungan di bawah tanah
batugamping, akan menjadi penyebab timbulnya hypoxemia, gejala
hiperventilasi, halusinasi, dan tanda-tanda keracunan CO2 lainnya. Belum lagi
tambahan gas CO2 oleh tumpukan guano yang mengalami proses fermentasi.
Atau penambahan CO2, bahkan gas metan, oleh proses pembusukan bahan-bahan
organik yang terhanyut ke dalam gua. Kiranya faktor-faktor di atas perlu
dipertimbangkan masak-masak, agar dapat ditentukan strategi, kapan dapat
memasuki gua dan kapan harus keluar dari gua.
Pengaruh gempa bumi juga perlu dipelajari. Pada umumnya dianut teori, bahwa
besarnya gempa bumi tidak dapat menjadi alasan mengapa gua dapat runtuh.
Bukankah seluruh sistem perguaan dalam batugamping itu bergerak en masse,
dan tidak terpisah-pisah ? Dengan demikian menurut teori itu, gua sedikit sekali
dipengaruhi oleh gempa bumi. Namun menurut kenyataan kami sering melihat
perubahan bentuk lorong gua oleh adanya breakdown (incasion) di beberapa gua
selatan Sukabumi, dimana salah seorang penghuni kawasan itu yang sering
menelusuri gua, dapat memberi kesaksian, bahwa runtuhan itu terjadi setelah
kawasan itu digoncangkan oleh gempa bumi.

Kini akan dibicarakan studi komparatif dari EKSO dan ENDOKARST
Morfologi. Di Eropa, studi ini sudah dilaksanakan sekitar 50 tahun yang lalu,
sedangkan di AS baru dikerjakan satu dekade yang lalu

KORELASI ANTARA SPELEOGENESIS – SPELEO / ENDOKARST
MORFOLOGI DAN MORFOGENESIS EKSOKARST

Observasi dari gua Mammoth dan Crystal Cave dengan Green River di
Kentucky:

Major Cave levels in crystal cave have been determined by pauses in the valley
entrenchment when the Green River lay at or near its base level for lengthy
periods of time, and that variation on geology, structure, stratigraphy, and
climate have had little influence of such levels.

Karenanya korelasi dari speleogenesis dan sejarah erosi-deposisi dari Green
River itu, terungkap.
 
Pengikisan Green River yang berlangsung lamban, ada korelasinya dengan
bentuk canyon yang lebar pada lorong gua itu. Didapatkannya lumpur merah
(red-clay rich fill) di lorong-lorong itu diduga ada hubungannya dengan sedimen
tabal pada elevasi yang sama di teras sungai itu.

Pengikisan yang berlangsung cepat dan dalam (deep and rapid stream
entrenchment), ada korelasinya pada elevasi yang sama dengan canyon yang
sempit dan dalam, di lorong lain dari gua itu.
Di dalam gua kadang-kadang ditemukan lorong-lorong bertingkat tiga atau lebih,
misalnya di gua Mammoth itu pada ketinggian 500, 520 dan 550 kaki, yang
nyata korelasinya dengan teras-teras Green River itu pada ketinggian yang sama.
Ketiga tingkat itu sesuai dengan proses base leveling Green River, walaupun
teras-teras pada lembah Green River itu kini tidak begitu nyata lagi akibat
pengaruh erosi.

Dasar dari canyon-canyon yang ditemukan dalam gua, menunjukkan arah
kemiringan yang jelas menuju dasar lembah, ke sungai permukaan, yang
mengikis lembah di luar gua itu.

Backflooding dari Green River menyababkan lorong-lorong gua itu banjir, sering
ke lorong-lorong fosil di atasnya, sehingga cenderung memperkecil diameter
lorong-lorong tertentu dari gua itu oleh pengendapan lumpur, daripada proses
pembesaran lorong. 

Pengikisan sungai permukaan (entrenchment) tidak senantiasa diikuti oleh
pembentukan canyon-canyon di dalam lorong gua yang dialiri sungai. Sungai di
dalam gua dapat juga mengalir, melalui rekahan-rekahan (joints) yang telah
melebar, sehingga terjadi air terjun di dalam gua, yang dilanjutkan dengan sungai
yang mengalir keluar menuju sungai permukaan itu, pada elevasi yang sesuai.

Dalam hal demikian lorong lama tidak dialiri sungai lagi dan ditinggalkan
sebagai lorong fosil. Proses ini dapat diidentikkan dengan  stream pirating dari
sungai permukaan, tetapi mengikuti rekahan vertikal (dalam arti kata vertikal).
Lorong fosil ini kadang-kadang masih dapat terisi air / dialiri kali, pada saat gua
banjir dan celah / lorong vertikal tidak dapat mengakomodasi air yang berlimpah
itu. Keluarnya air dari mulut gua yang lokasinya di atas, menyebabkan
penggunaan istilah “flood overflow spring”.

Karstologi dan Speleologi hendaknya di Indonesia dikembangkan ke arah
praktis, menuju ke arah pemecahan persoalan yang praktis.

Pertama-tama perlu dipecahkan persoalan penyediaan air minum dan air irigasi
untuk kawasan karst. Sudah menjadi kenyataan, bahwa air adalah kebutuhan
vital disamping udara. Di kawasan karst, kebutuhan akan air ini berlipat ganda di
musim kemarau.

Di kabupaten Gunung Kidul, orang-orang berjalan kaki sampai 3 kilometer lebih
untuk mengumpulkan air ke dalam kaleng-kaleng bekas minyak tanah dengan
menciduknya pakai batok kelapa, dari gua, yaitu air perkolasi yang tertampung
dalam empang-empang di dalam gua.

Sudah menjadi kenyataan pula, bahwa di kawasan karst senantiasa terjadi
problema kelebihan penduduk di sekitar lokasi sumber-sumber air. Itu sebabnya,
maka di Yunani, Syria, Turki, Jamaika, dibentuk komisi-komisi internasional
untuk menangani Karst Water Problems ini dan di Ankara diadakan Simposium
Internasional mengenai Problematika Air Karst ini, pada bulan Juli mendatang
 
Derap pembangunan di Indonesia sering menimbulkan konfilk kepentingan. Hal
ini nyata terlihat pada keinginan pemerintah daerah memajukan ekonomi
daerahnya dengan mendirikan pabrik semen, atau kebijakan menggampingi
lahan-lahan pertanian, dengan mengorbankan kawasan-kawasan batugamping.

Persoalan kini timbul di kawasan batugamping Serayu Selatan (sebelah selatan
kota Gombong) yang dikenal dengan formasi batugamping Buayan-
Karangbolong. Minat pendirian pabrik semen di kawasan itu sangat kami
tentang, karena seluruh areal batugamping itu merupakan kawasan tadah hujan
yang penting. Oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung
bahkan telah dikirimkan tim yang mengungkapkan fakta, bahwa seluruh
perbukitan batugamping di tempat itu merupakan “tangki air minum raksasa”.
Mengingat sifat sumber-sumber air karst di kawasan itu lokasinya jauh di atas
dataran aluvial (berbeda dengan di Kawasan Karst Gunung Sewu, yang airnya
berada sekitar 100 meter lebih di bawah permukaan tanah dan secara mubazir
keluar di Pantai Baron), maka sumber-sumber air itu secara efisien dapat
mengaliri sawah-sawah         di sekitarnya (bahkan            pada     musim hujan
membanjirinya). Tidak adanya sumber air alternatif  lainnya menyebabkan kami
berkesimpulan bahwa kawasan ini tidak boleh dirusak untuk pabrik semen. Hal
ini telah didiskusipanelkan di Karanganyar dan disimposiumkan di Semarang,
pada tahun 1984.

Mengingat Cilacap sebagai kota industri dan kota pelabuhan, yang notabene
lokasinya hanya 5 km sebelah barat “tangki air raksasa alamiah” ini, maka kami
mempromosikan, agar kawasan ini dimanfaatkan untuk airnya, suatu sumber
daya alam penting, bermanfaat, bahkan VITAL bagi kehidupan dan lingkungan
hidup, dan tidak akan habis-habisnya oleh usaha pemanfaatan itu dan tidak akan
mengakibatkan perusakan lingkungan atau pengaruh negatif terhadapnya.

Usaha mempopulerkan penelusuran gua oleh kelompok tertentu atas dasar
avonturisme belaka, apalagi memakai dalih “ilmu pengetahuan” amat kami
sesalkan, karena tanpa didasari ETIKA dan MORAL yang baik, tanpa didasari
PENGETAHUAN SPELEOLOGI dan KARSTOLOGI, terutama tentang
konservasinya, maka publikasi berlebihan tentang gua-gua di Indonesia akan
membantu mempercepat perusakan gua-gua yang kita miliki. Polusi dan
vandalisme adalah akibat yang cepat akan tampak. Belum lagi migrasi kelelawar
yang akan terganggu, padahal kelelawar adalah makhluk bermanfaat yang perlu
dilindungi, karena peranan sebagai pembasmi hama (antara lain wereng) dan
penyerbuk pelbagai pohon buah merupakan fakta yang tidak dapat lagi
dipungkiri.

Karenanya kami sekali           lagi     menghimbau, agar SPELEOLOGI dan
KARSTOLOGI di Indonesia dapat memperoleh tempat terhormat dalam dunia
ilmu pengetahuan teori maupun terapan.
Semoga!!
  DAFTAR  KEPUSTAKAAN
1. Beck B. F. – Proceedings of the eight International Congress of Speleology,
Vol. I, 1982.
2. Bogli A. – Karst Hydrology and Physical Speleology, Springer Verlag,
1980.
3. Glover R. R. – International Seminar on Karst Denudation, 1982 : Optical
Brighteners, a new water tracing reagent.
4. Ko, R. K. T. – Hydrological and Speleological differences between the
Gunung Sewu and South Gombong Tropical Karst.
International Symposium on Karst water resources
(Ankara, 1985).
5.  Ko, R. K. T. – Peranan Ilmu Speleologi dalam penyelidikan fenomena
Karstik dan Konservasi sumber daya tanah dan air
(Ceramah di Pusat Penelitian Tanah, Bogor, 1984).
6. Mais, K. et al – Akten Internationalen Symposium zum Geschichte der
Hohlen Forschung, Wien, 1979.
7. Miotke F. D. & Palmer A. N. – Genetic Relationship between Caves and
Landforms in the Mammoth Cave
National Park Area.
8. Siffre M. – Les Animaux des Gouffres et des Cavernes, 1979.
9. Siffre M. – Grottes, Gouffres et Abimes, 1981.
10. Sweeting M. M. – Karst Landforms, Columbia University Press, New York,
1980 

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by Legua Caving & Speleologi