Sabtu, 04 Juni 2011

MASALAH VEGETASI KARST YANG PERLU DIPERHATIKAN OLEH SEKOLAH PASCA SARJANA KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN (by:: R. K. T. Ko)

RINGKASAN

Nilai tambah suatu kawasan karst ialah manfaatnya sebagai
suatu akifer. Pada umumnya, kawasan karst justru
kekurangan air di musim kemarau karena sumber-sumber
air berkurang luahnya. Besar kecilnya luah dan cadangan
air, sangat tergantung pada jumlah dan jenis vegetasi yang
tumbuh pada kawasan tadah hujan kawasan karst tersebut.
Hingga kini pakar kehutanan belum cukup memperhatikan
tanaman endemis karst, terutama yang tidak memiliki nilai
ekonomis, namun besar peranannya dalam memelihara
tatanan air yang baik.

PENDAHULUAN

Semua pulau besar di Indonesia memiliki kawasan karst,
yaitu hamparan batugamping yang telah mengalami proses
pelarutan oleh air hujan. Beberapa pulau kecil bahkan terdiri
dari kawasan karst semata-mata. (Madura, Sawu, Muna,
Kai, Togian dlsb). Kawasan karst terkenal sebagai akifer
atau bentukan geologis yang dapat menyimpan air.
Beberapa kota sudah sejak lama mendapat air bersihnya dari
sumber air karst. Contoh: Biak, Kupang, Gombong, Tuban
dslb. Jumlah cadangan air karst, yang sangat dibutuhkan di
musim kemarau, pada saat mana tidak ditemukan lagi air
permukaan, sangat tergantung pada kondisi vegetasi
kawasan tadah hujannya. Semakin lebat vegetasinya,
semakin besar air yang dapat ditampung dan disimpan
disistem percelahan-rekahan air karst. Namun harus diingat,
bahwa bukan hanya jumlah vegetasi yang memegang
peranan, tetapi justru jenisnya. Jenis vegetasi yang dapat
memperbaiki tatanan air karst tidak boleh memiliki daya
penguap peluhan tinggi, harus bernilai ekonomis rendah
(supaya tidak ditebangi penduduk), dan tentunya yang harus
mudah tumbuh di kawasan karst tertentu. Jadi yang sifatnya
endemis.


POKOK PERMASALAHAN

Hingga kini, pakar kehutanan dan pertanian maupun pakar
botani hanya tertarik pada tanaman yang bernilai ekonomis.
Hal ini terbukti pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional
ke-V, Jakarta 3-7 September 1991, di mana penyaji makalah
tentang Plasma Nutfah juga hanya menyinggung adanya
7000 jenis tanaman keras yang bernilai ekonomis di dunia.
Ketika oleh penyaji makalah ini ditanyakan apakah sudah
ada daftar vegetasi karst yang tidak bernilai ekonomis, tetapi
bermanfaat untuk memperbaiki tatanan air kawasan karst,
dijawab bahwa hal ini belum ada, karena belum dijadikan
prioritas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Penghijauan oleh Perum Perhutani senantiasa dilakukan
dengan menanami pepohonan yang mempunyai nilai
komersial. Hal itu dapat dibenarkan, bila masih ada sumber
air alternatif non-karstik seperti di bagian Utara Jawa
Tengah dan Jawa Timur (Tectona Grandis), dan memang
tujuan berdirinya Perum Perhutani ialah menghasilkan kayu
yang dapat dipasarkan. Namun, tetap mempertahankan jenis
pepohonan yang kurang cocok dengan tanah maupun
lingkungan, di suatu kawasan karst, tidak akan bermanfaat,
bahkan berarti penghamburan dana. Contoh: Tectona
Grandis di Perbukitan Karst Karangbolong atau pegunungan
Karst Gombong Selatan.

Menanami kawasan karst dengan Pinus Mercusii atau jenis
Eucalyptus, mungkin dapat menguntungkan dari segi
eksploitasi, tetapi sangat merugikan dari segi hidrologi,
karena kedua jenis tanaman ini memiliki laju penguap-
peluhan tinggi. Akibatnya, sumber-sumber air karst dapat
menurun luahnya di musim kemarau, bahkan dapat
mengering.

Seyogyanya dilakukan pendataan vegetasi karst endemis, di
seluruh Indonesia. Hal ini telah dilakukan di Serawak,
maupun di semenanjung Malaysia oleh dua pakar
kehutanan. Di Indonesia, dengan hamparan karst yang jauh
lebih luas dari negara Malaysia, pendataan ini belum
dilakukan secara intensif maupun ekstensif.

Hutan Pendidikan Gunung Walad IPB, telah dikembangan
selama 17 tahun lamanya sebelum diidentifikasi, bahwa di
bawah hutan damar terdapat sistem pergoaan karst. Stasiun
hidrologis sungai permukaan sama sekali tidak dihubungkan
dengan pengukuran karakteristik dan luah air dibawah tanah
yang mengalir dalam sistem pergoaan. Hal ini sangat
disayangkan, karena data neraca air, dapat dengan mudah
diperoleh, apabila data air permukaan digabungkan dengan
data air karst dalam goa Cipeureu, yang baru kami temukan
pada tahun 1985.

Di Wana Gama, telah dilakukan usaha penuh kesulitan,
untuk menanami kawasan karst Gunung Sewu dengan
berbagai tanaman bernilai ekonomis pula. Antara lain kayu
Cendana dari NTT. Karena bukan tanaman endemis, maka
laju pertumbuhannya semula memang amat lambat. Hingga
kinipun kandungan minyak atsirinya jelas berbeda dari jenis
sama yang tumbuh di NTT.

Sebaiknya para pakar kehutanan, yang sudah menaruh
perhatian begitu besar pada penghijauan DAS sungai-sungai
besar, berupaya pula untuk menaruh perhatian pada
meningkatkan kualitas dan kuantitas air karst.

Cukup banyak kawasan karst yang mudah dicapai, dan besar
manfaatnya untuk diteliti korelasi antara vegetasi dan
hidrologi. Contoh: Kawasan karst Selatan Gombong, yang
notabene merupakan kawasan tadah hujan untuk sumber air
karst Banyumudal, sungai-sungai bawah tanah besar seperti
sungai dalam Goa Banyu, Goa Barat, Goa Petruk, Sumber-
sumber air Redisari, Buayan, Banyu urip, Langenujung,
namun ada usaha gencar merusak seluruh kawasan tadah
hujannya untuk pabrik semen (karst wilayah Buayan 400
ha).
Sejak dini hendaknya dilakukan identifikasi, apa tujuan dari
penghijauan itu. Apakah untuk tanaman industri, untuk
wana wisata, untuk hutan pendidikan atau untuk
memperbaiki hidrologi.

Agaknya perhatian para pakar terhadap perbaikan hidrologi,
khususnya hidrologi kawasan karst, yang justru begitu kritis,
kurang memadai.

Kekurangan air melanda hampir seluruh pulau Jawa di
musim kemarau yang baru lewat. Bahkan beberapa daerah
masih mengalami kekurangan air menahun.

Kita tidak perlu menunggu sampai tahun 2000 untuk
mengantisipasi kekurangan air. Saat ini dampaknya sudah
amat serius. Kota-kota besar seperti Bandung sudah
merasakannya.

Ironisnya, kota Gombong yang berlimpah ruah airnya,
karena mendapat suplai dari sumber air karst, besar
kemungkinannya akan merasakan akibatnya bila karst
Buayan, yaitu kawasan tadah hujan dengan begitu banyak
sumber air karst dan sungai bawah tanah dibongkar untuk
pabrik semen.

Khususnya mengenai sumber air Banyumudal. diketahui.
bahwa sepanjang tahun airnya cukup melimpah, padahal
vegetasi yang ada kurang subur. Sebaliknya sungai bawah
tanah seperti yang mengalir dalam Goa Barat, Petruk, Banyu
Jatijajar sangat tergantung pada musim. Mengecil luahnya di
musim kemarau, banjir di musim hujan.

Hal ini memang menandakan kurang baiknya vegetasi di
kawasan tadah hujannya. Dengan demikian suplai airnya
yang merupakan campuran, antara air perkolasi dan air
vadosa, lebih didominasi oleh faktor vadosa. Jadi yang
memegang peranan mutlak dalam menentukan buaian
luahnya ialah faktor masukan (input) dari air permukaan,
melalui sistem perekahan dan percelahan. Bukan faktor
tetesan air perkolasi melalui celah-celah mikroskopis yang
menjadi sifat khas lapisan batugamping.

Hal ini, khususnya di kawasan Karst Gombong Selatan,
disebabkan karena PERUM PERHUTANI tidak
mengidentifikasinya sebagai akifer raksasa. Orientasi

PERUM PERHUTANI

dan

semua

KANWIL

KEHUTANAN senantiasa hanya pada nilai ekonomis
tanaman keras yang ditanaminya. Karenanya segala usaha
akan dilakukan untuk membuang tanaman bawah (under-
growth) seperti penutup tanah dan semak belukar “tidak
berguna”, bahkan dianggap gulma, demi untuk
menyuburkan tanaman bernilai ekonomis tadi.

Ironisnya, tanaman bernilai ekonomis juga menjadi sasaran
penduduk setempat, yang akan mencurinya untuk:
1) Sumber nafkah.
2) Sumber energi.

Paling mencolok ialah penebangan hutan atau tanaman
keras untuk keperluan pembakaran batugamping, yang
digali untuk membuat batukapur. Penggundulan hutan
kawasan karst, sudah merupakan modus di mana-mana.
Vegetasi endemis bernilai ekonamis dibabat habis. Disusul
pula oleh pembabatan hutan di wilayah non-karst. Bila di
tanami tanaman industri, maka tanaman inilah yang menjadi
sasaran penduduk setempat atau pendatang.

Untuk sumber energi juga dibutuhkan banyak kayu. Antara
lain untuk membuat gula aren oleh penduduk setempat di
samping untuk menanak nasi dan memasak.

Namun, bila kegiatan ini dilakukan di kawasan yang tidak
dikelola oleh Dinas Kehutanan, maka pembabatan tanaman
keras oleh penduduk ini tidak akan menyebabkan gangguan
berarti pada hidrologi karst. Yaitu selama penduduk
setempat tidak membabat semak belukar dan penutup tanah
yang tidak bernilai ekonomis, tetapi memegang peranan
sangat penting untuk hidrologi karst.

Baru setelah penduduk melakukan kegiatan agraris, seperti
di seluruh kawasan Gunung Kidul. khususnya Gunung
Sewu, maka tanah yang dibiarkan terbuka, dan hanya
ditanami di musim hujan, menjadi kurang menunjang
hidrologi karst. Malah ditambah bahaya pencemaran oleh
penggunaan pestisida dan pupuk buatan maupun organik.

Dengan demikian kembali persoalannya pada identifikasi
potensi pemanfaatan kawasan karst tertentu. Apakah untuk
agrikultur, untuk kehutanan, untuk pariwisata, untuk
pendidikan (sains) untuk peternakan, perikanan atau untuk
hidrologi.

USULAN PEMECAHAN PERMASALAHAN

1) Memasukkan masalah karst dan vegetasinya ke dalam
kurikulum semua Fakultas Kehutanan. Termasuk kuliah
lapangan oleh para pakar geologi-karstologi pariwisata
dan sosioekonomi, peternakan, pertanian dan
pertambangan. Masalah karst diakui harus didekati
secara terpadu, multi dan interdisipliner.

2) Pada sekolah Pasca Sarjana, dilakukan penelitian lebih
mendalam, seperti korelasi antara vegetasi, hidrologi dan
biospeleologi. Endemisme vegetasi karst. Dapat
dilakukan penelitian palinologi sedimen goa.

3) Oleh para pakar dilakukan penelitian penutup tanah dan
semak belukar mana yang tidak bernilai ekonomis, tetapi
cepat tumbuh (endemis) dan dapat memperbaiki tatanan
air.

4) Departemen Kehutanan melakukan identifikasi
pemanfaatan kawasan karst. Tidak semua lahan karst
patut ditanami tanaman industri.

5) Semua instansi terkait dalam bidang kehutanan, agar
memprioritaskan perbaikan hidrologis kawasan karst
yang amat sangat dibutuhkan airnya, dengan prioritas
utama Kawasan Karst Karangbolong (Gombong
Selatan). Air karst kawasan ini amat sangat dibutuhkan
untuk Kota Cilacap (Pelabuhan, Industri dan Pariwisata).

KEPUSTAKAAN
Ko R. K. T. (1985) -
Idem (1985) -
Idem (1987) -
Idem (1987) -
Idem (1987) -
Peranan karstospeleologi dalam
memonitori lingkungan hidup,
dengan perhatian khusus pada
hutan pendidikan Gunung Walad,
dengan sistem pergoaannya
(sekolah Pasca Sarjana IPB).
Vegetasi daerah Karst (WARTA
SPELEO I:33-39).
Permasalahan kawasan karst dan
potensi pemanfaatannya sebagai
sumber air, khususnya di Jawa
Timur (seminar mengenai sumber
air di Pemda Tk I JAWA
TIMUR).
Permasalahan air karst yang
dibutuhkan untuk sumber air
menjelang tahun 2000 (Seminar
sehari perihal air bersih
Puslitbang Pengairan Bandung).
Prospek pengembangan air karst
di Indonesia (Seminar Puslitbang
Pengairan Bandung).

Pardiyan dkk (1985) - Hamparan Karst di
WANAGAMA I.
Suseno O.H dkk (1985) - Pembangunan hutan didaerah
batugamping WANAGAMA I.


Blog Archive

 

Copyright © 2009 by Legua Caving & Speleologi