Rabu, 01 Juni 2011

PERKEMBANGAN PARADIGMA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (oleh: EFFENDY A. SUMARDJA )

Pada saat ini kepedulian terhadap masalah pengelolaan
lingkungan hidup menjadi sangat dominan. Hal ini terlihat
dari perilaku para birokrat (di tingkat pusat ataupun tingkat
daerah) yang sudah jauh lebih memahami aspek lingkungan
dalam kegiatan sehari-harinya. Demikian pula pada
kalangan masyarakat luas yang sudah lebih memahami akan
hak-haknya untuk dapat hidup sehat dan menikmati
lingkungan hidup yang lebih baik. Sayangnya kepedulian
tersebut belum diimbangi dengan pemahaman yang
memadai untuk melakukan serta menerapkan kewajibannya
dalam pengelolaan lingkungan hidup. Padahal, sebagai suatu
komponen dalam penerapan peraturan pengelolaan
lingkungan, masing-masing pihak memiliki peran tersendiri
dalam kerangka kerja stakeholder dari suatu kegiatan:
pemerintah, LSM, masyarakat, pengusaha, dll.

Client Management

Selain sebagai pembuat peraturan dan pengambilan
keputusan dalam pengelolaan lingkungan, pemerintah
memiliki tugas untuk membina usaha/kegiatan dalam
pelaksanaan pengelolaan lingkungan. Penerapan prinsip-
prinsip good governance, pemahaman yang sama tentang
suatu masalah, komitmen dan konsistensi penerapan
peraturan merupakan hal yang sangat penting dilakukan
oleh pemerintah. Pemerintah memang memiliki hak untuk
memeriksa dan melakukan aksi koreksi terhadap suatu
pelanggaran lingkungan hidup, namun itu semua dapat
dilakukan dengan prosedur yang baik tanpa perlu
menimbulkan keresahan dan persepsi yang keliru dari
masyarakat luas dan stakeholder tertentu.

Tugas pemerintah tidak hanya memutuskan dan memberi
ijin terhadap suatu usaha, tetapi di dalamnya melekat
kewajiban untuk melakukan pembinaan. Jika tugas
pembinaan ini dapat dilakukan, nampaknya kesalahan
pengusaha atau penanggung jawab kegiatan dalam

pengelolaan lingkungan tidak perlu terjadi atau tidak terlalu
jauh menyimpang. Demikian pula tumpang tindih atau
kesalahpahaman antar instansi terkait tidak perlu terjadi.
Dengan cara pendampingan (liaison) yang berorientasi pada
penyelesaian/penanganan masalah lingkungan sebelum
masalah tersebut menjadi besar dan tidak terkendali,
pemerintah dapat memperhatikan satu persatu kegiatan
besar yang diperkirakan berpotensi menimbulkan masalah,
lingkungan.

Voluntary Base Management

Menteri Negara Lingkungan Hidup pada saat
memperkenalkan perangkat audit lingkungan tahun 1993-
1994 menyebutkan bahwa pada saat itu kebijaksanaan
tentang lingkungan hidup di Indonesia lebih banyak bersifat
regulatif. Oleh sebab itu perlu diimbangi dengan
kebijaksanaan yang dapat merangsang peran serta
pengusaha. Demikian pula bahwa meningkatnya kepedulian
masyarakat menyebabkan pengaturan regulatif tidak cukup
lagi sehingga perlu memberikan porsi yang lebih besar
kepada peran serta masyarakat. Demikian pula yang
disampaikan oleh Prof. Otto Soemarwoto bahwa pendekatan
command and control (CAC) atau pengelolaan lingkungan
yang didasarkan pada kekuatan hukum sangatlah kaku,
mahal dan bersifat menggeneralisir seluruh jenis kegiatan
atau usaha. Lebih jauh, pendekatan CAC ini sulit
diselesaikan jika terjadi sengketa dan proses peradilan.

Untuk itu pada era sekarang, telah diperkenalkan
pendekatan yang bersifat self regulation atau mengatur diri
sendiri. Walaupun pendekatan ini berdasarkan asas sukarela
dari suatu usaha atau kegiatan, tetapi manakala penanggung
jawab telah menyatakan komitmennya, maka kebijakan
tersebut harus dapat dipenuhi. Pendekatan ini diantaranya
yang didasari oleh market based instrument yang sejalan
dengan kaidah-kaidah perdagangan bebas dan globalisasi.
Suatu topik diskusi yang memerlukan pembahasan lebih
jauh, namun relevansinya disini adalah bahwa perangkat
sukarela itu mungkin untuk dikembangkan.

Sebenarnya, Pemerintah Indonesia sudah sejak lama
menyadari hal tersebut. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya program-program yang didasarkan asas sukarela
dan sesuai dengan kemampuan penanggung jawab usaha
untuk mencapainya. Contoh program pemerintah yang tidak
didasarkan pad a CAC adalah: program prokasih, program
peringkat lingkungan, adipura, dukungan dan penerapan
ISO 14000, audit lingkungan, dsb. Dengan adanya
kesempatan ini, penanggung jawab usaha sebagai pengusaha
diharapkan dapat berperan lebih aktif dalam pengelolaan
lingkungan.

Peran Serta Masvarakat

Pembagian peran dan tugas masing-masing anggota
stakeholder haruslah didefinisikan dengan jelas. Pemerintah
memiliki tugas pembuatan peraturan, pengambil keputusan,
penegakan hukum, dan pembinaan terhadap suatu kegiatan.
Demikian pula penanggung jawab usaha atau kegiatan yang
memiliki peran diantaranya untuk memenuhi peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku, mematuhi perijinan,
berupaya untuk memaksimalkan produksi dan menjaga
lingkungan hidup.

Demikian halnya dengan masyarakat. Disamping memiliki
hak untuk hidup sehat di lingkungan yang baik, masyarakat
juga memiliki beberapa kewajiban dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Tugas untuk mempertahankan kondisi
lingkungan di masa lalu sebagian besar ditangani oleh
lembaga swadaya masyarakat (LSM) karena masyarakat
tidak dimungkinkan untuk berperan secara maksimal. Pada
saat ini, disamping peran LSM yang tetap menyuarakan dan
mewakili kepentingan masyarakat, masyarakat sudah mulai
bisa menyuarakan kepentingannya secara langsung.

Undang-undang tentang otonomi daerah No. 22 tahun 1999
sebenarnya tidak melulu mengatur masalah kewenangan
daerah namun harus dilihat sebagai wujud peraturan yang
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan
serta. Hal yang dipandang sebagai akses dari UU No. 22
tahun 1999 akan di bahas di bagian selanjutnya. Lebih jauh,
mengantisipasi kondisi sosial kemasyarakatan yang
berkembang selama dua tahun terakhir ini, di bidang
pengelolaan lingkungan telah diterbitkan suatu Keputusan
Kepala Bapedal tentang keterlibatan masyarakat dan
keterbukaan informasi dalam proses AMDAL (Kep NO.8
tahun 2000). Dengan adanya pedoman keterlibatan
masyarakat ini, diharapkan masyarakat lebih berdaya dalam
menyuarakan kepentingannya yang berkaitan dengan
perencanaan dan pengelolaan lingkungan hidup.



Environmental Safeguard (Baku Mutu)

Satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan lingkungan
hidup adalah adanya nilai ambang batas yang dapat diacu
dengan baik oleh suatu kegiatan. Ambang batas atau baku
mutu ini dimaksudkan untuk menjaga lingkungan dari
potensi pencemaran, oleh karenanya disebut sebagai
Environmental Safeguard. Suatu baku mutu yang disusun
berdasarkan kajian yang mendalam dan pertimbangan yang
matang merupakan suatu hal yang penting dan memudahkan
penanggung jawab kegiatan dalam memenuhi persyaratan
pengelolaan lingkungan. Lebih jauh lagi, hal tersebut dapat
memberikan kepastian hukum bagi penanggung jawab
kegiatan.

Sebagai kaidah umum, penyusunan baku mutu disusun
untuk mutu keluaran dari suatu kegiatan dan mutu
lingkungan hidup. Keduanya memiliki penerapan yang
berbeda dan menuntut tindakan yang berbeda pula dari
masing-masing pihak terkait. Baku mutu lingkungan yang
biasanya dikenal dengan baku mutu ambient adalah baku
mutu yang menjadi kewajiban pemerintah untuk
pencapaiannya sehingga dalam menyusun peraturan dan
mengambil keputusan harus selalu memperhitungkan baku
mutu lingkungan ini. Sementara itu baku mutu keluaran
suatu kegiatan (effluent standard) adalah baku mutu yang
ditetapkan pemerintah agar suatu kegiatan tidak
melampauinya.

Aspek Politis

UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah sebagai
kerangka kerja administrasi baru di Indonesia masih
memerlukan pemikiran dan exercise. Walaupun telah
banyak kajian dan telaahan yang memberikan banyak
prospek menuju ke arah masa depan yang dicita-citakan,
namun kebijakan ini masih diinterpretasikan secara berbeda
khususnya dalam mengartiikulasikan ketentuan kewenangan
daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Di satu pihak, urusan pemerintahan di bidang lingkungan
secara parsial dan terpisah-pisah telah diserahkan kepada
pemerintah daerah atau secara implisit tercantum pada
berbagai PP tentang Penyerahan Sebagian Urusan
Pemerintahan di Berbagai Sektor (seperti Kehutanan, Ke-
PU-an, Perindustrian, Kesehatan dan sebagainya). Bahkan
penyerahan urusan pemerintahan di bidang lingkungan
hidup ada yang diatur dalam PP yang sifatnya khusus dan
salah satu diantaranya adalah PP tentang AMDAL. Di sisi
lain, terdapat interpretasi yang menyatakan bahwa urusan
pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan belum
diserahkan kepada Daerah, karena belum ada PP yang
khusus mengatur hal tersebut. Dengan demikian dapat
diartikan bahwa pengelolaan lingkungan hidup selama ini
masih dianggap sebagai tugas pembantuan (medebewined).

Akibat perbedaan persepsi ini sering terjadi kevakuman
kewenangan apabila timbul masalah besar dalam praktek di
lapangan. Seringkali terjadi bahwa Pemerintah daerah
mengelak untuk menanganinya. Sebaliknya seringkali
terjadi pula perebutan penanganan karena masing-masing
merasa mempunyai kewenangan atau merasa berkompeten.
Yang sering terjadi adalah adanya kasus lingkungan hidup
di daerah yang tidak dapat ditangani dan diselesaikan secara
cepat. Akibat lain yang terjadi pada penyerahan urusan
pemerintahan adalah mengakibatkan masih terbatasnya
kewenangan Daerah sedangkan akses intervensi Pusat
kepada Daerah sangat dominan.

Namun dengan terbitnya TAP MPR No XV Tahun 1998
tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
Pembagian dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang
Berkeadilan serta Pertimbangan Keuangan Pusat dan daerah
dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dimana Pasal 5 menyebutkan: "Pemerintah Daerah berhak
memanfaatlsan sumberdaya nasiona/ dan bertanggung
jawab atas kelestarian lingkungan hidup”, hal ini
menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah akan memiliki
kewenangan dan tanggung jawab yang lebih luas dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pembangunan
yang tercakup di dalamnya pengelolan lingkungan. Sangat
penting untuk menyatukan kepentingan-kepentingan
Pemerintah Daerah, Sektor yang bersangkutan dan
Pemerintah Pusat agar berjalan bersama-sama tanpa harus
merugikan masyarakat lokal/setempat. Untuk itu pembagian
tugas yang, transparan, obyektif dan adil atas keuntungan
yang diperoleh harus menjadi landasan pokok dalam
penetapan kebijakan yang akan keluar. Dengan demikian
pelaksanaan UU No 25/1999 menjadi sangat relevan untuk
di implementasikan

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by Legua Caving & Speleologi